Kamis, 11 Oktober 2012

Oasis Jiwa dalam Kesumpekan


Oasis Jiwa dalam Kesumpekan
Nalini Muhdi ;  Psikiater di RSUD dr Soetomo-FK Unair;
Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI)
JAWA POS, 11 Oktober 2012


LENGKAP nian sumber stres di negeri ini. Sumpek. Itulah yang banyak dikatakan orang saat ini. Dan kesumpekan bisa meledak ketika ruang benak tak mendapat jendela ventilasi.

Segala peristiwa yang terhambur di media cenderung menggunung. Baru saja kita ribut soal tawuran antarpelajar yang membuat terperanjat karena kian sadis dan menular. Sulit memahaminya, bahkan baru pada tataran shock: apa yang terjadi. Nalar belum sampai pada ''mengapa bisa terjadi'' dan ''bagaimana mengatasi''.

Kekerasan lain menjadi tontonan di media, terutama televisi, yang perlahan akan terinternalisasi sebagai proses pembelajaran: kekerasan bisa dipakai untuk menyelesaikan masalah. Masyarakat seakan tak punya pilihan untuk tidak terpapar apa yang dilihat dan didengar tiap saat.

Kita juga melihat tanpa malu dan sungkan, para pemangku kekuasaan mempertontonkan permusuhan lewat cara verbal dan emosional di depan rakyat. Berbagai kejahatan kerah putih dibela mati-matian. Korupsi menjadi sesuatu yang biasa dan ditoleransi, bahkan berupaya dilindungi. Logikanya, sesuatu yang merugikan orang banyak semestinya menjadi prioritas untuk diberantas.

Minggu ini kita disuguhi unjuk kekuasaan yang diragukan untuk menegakkan kebenaran. Seolah bertujuan mengalihkan perhatian dengan membalut kejahatan dengan kejahatan lain yang kerap tidak menyentuh akar masalah. Bagaikan membalut masalah dengan kulit bawang.

Kekerasan lain ditujukan pada diri sendiri. Makin banyak orang yang menikam kebahagiaan dan masa depannya lewat perilaku membahayakan. Yakni, pemakaian obat-obatan terlarang, melukai diri sendiri, sampai memutuskan pilihan untuk mengakhiri hidup. Tragis. Kita begitu mudahnya melemparkan kesalahan, kepada diri sendiri maupun orang lain, sebagai jalan keluar mengatasi kenyerian dan ketidaknyamanan batin. Kita binasakan diri sendiri atau orang lain.

Begitu banyak pembiaran yang disengaja atau tidak, tampaknya sesaat tertangani, namun dampaknya akan melanggengkan perilaku negatif. Yang lebih parah, hal tersebut akan menyeret orang lain yang sesungguhnya baik ikut arus terhadap kondisi buruk. Atau, memicu kemarahan bahkan tindak kekerasan dari mereka yang frustrasi. Tak pelak, kondisi tertekan dalam ketidakpastian dan ketidakadilan akan memicu depresi masal yang manifestasinya amat nyata dalam keseharian kita saat ini.

Potensi Kebaikan dan Syukur

Tema Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 10 Oktober tahun ini amat relevan bagi seluruh dunia yang memang sedang terlanda krisis berbagai dimensi. Yakni, Depresi, Sebuah Krisis Global. Tema itu tidak semata menyodorkan masalah yang membuat gelisah, namun juga tawaran untuk mengatasi dan mengantisipasi dampak bukan hanya kekinian, namun juga kualitas manusia dalam jangka panjang. Yang lebih penting, bagaimana kita bisa menggali kembali potensi yang seolah selama ini tersembunyi.

Modal sosial yang dikonsepkan sebagai gambaran kehidupan sosial yang terdiri atas tersedianya jejaring atau keterhubungan, norma dan nilai-nilai, serta rasa percaya. Itu semua membuat kita merasa mampu berpartisipasi bersama-sama untuk menggapai tujuan yang diinginkan. Pada gilirannya, kombinasi tersebut sangat efektif untuk menguatkan kepaduan kelompok sosial. Hal tersebut akan memunculkan rasa saling percaya, kesetiaan, dan merasa saling bertanggung jawab.

Dukungan sosial yang positif juga akan memberikan perlindungan dari kerusakan mental serta mampu menawarkan penyembuhan, personal maupun kelompok masyarakat. Rasanya, modal tersebut kita miliki. Sikap gotong royong dan keguyuban yang dahulu marak dalam kehidupan masyarakat terasa tenggelam akhir-akhir ini oleh kompetisi hebat untuk memperebutkan nafsu duniawi yang tak akan habis. Akibatnya, selalu ada sekelompok manusia yang amat kaya raya di negeri ini, namun ada pula yang berada di bawah garis layak standar hidup manusia. Ketidakadilan yang meluas seperti itu juga akan mengendurkan kohesi sosial dalam menata kehidupan yang tenang dan sehat.

Di tengah hiruk pikuk masalah bangsa yang mendera kenyamanan, potensi kebaikan itu harus kita kuatkan. Tapi, tidak berarti kita menyangkal bahwa keadaan memang buruk. Kita harus berfokus pada aspek positif dari situasi yang menekan sambil memilih mencari dukungan daripada permusuhan. Orang optimistis melihat kue donat, orang pesimistis hanya melihat lubang.

Berlatih lebih positif dan bisa mengapresiasi apa yang kita atau orang lain lakukan kendati kecil akan membuat kita tetap sadar, antusias, optimistis, bersemangat, dan gembira. Kita pun tidak mudah stres, apalagi depresi. Memang, kenyataannya sulit untuk bisa bersyukur ketika keadaan berjalan tidak sesuai dengan harapan. Tapi, itu masalah pilihan yang memang terkadang tak banyak.

Jangan korbankan kebebasan kita untuk memilih bahagia dengan merasa marah terus-menerus. Merupakan kebajikan bila kita mampu mendorong impuls kebaikan di seluruh negeri. Langkah itu lebih baik daripada mempertontonkan bagaimana mudahnya orang-orang yang sesungguhnya baik justru tertular menjadi pelaku kejahatan pula karena lingkungan tidak mendukung promosi bagaimana kebaikan bisa dijadikan tren dan gaya hidup.

Kita mesti yakin, sebagian besar umat manusia mempunyai sisi karakter baik yang harus dipoles lewat apresiasi agar lebih cemerlang. Seperti Abraham Lincoln yang lebih dari seratus lima puluh tahun lalu menyerukan pernyataan yang fenomenal, ''Better angels of our nature'', untuk mengekspresikan keyakinan dan harapannya bahwa sesungguhnya masyarakat secara alamiah akan melakukan dan menggali potensi kebaikannya. Tentu amat relevan dengan keadaan masa kini yang pengap dengan kebisingan perubahan yang menuntut adaptasi yang keras.

Ketika keadaan masih sulit berubah untuk menjanjikan hidup yang tenang dan nyaman, pilihannya adalah kita yang harus berubah untuk kebaikan. Juga tetap berfokus pada tujuan untuk memperbaiki kenyataan yang masih berantakan. Buang sikap cuek, asal aku senang, atau tidak peduli yang tentu saja bukan modal keberadaban suatu bangsa. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar