Kamis, 11 Oktober 2012

Setelah Pidato SBY

Setelah Pidato SBY
Bambang Soesatyo ;  Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Golkar
SINDO, 11 Oktober 2012


Sebagai sebuah pertunjukan politik, aksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bolehlah dibilang memukau dan menjadi bintang panggung dalam pidato di Istana Negara, Senin, 8 Oktober 2012. 

Presiden berhasil menciptakan klimaks setelah energi negeri ini dihabiskan berbulan-bulan dalam kemelut di antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mabes Polri. Dalam pidatonya Presiden SBY memberikan solusi taktis ihwal penyelesaian konflik antara KPK-Polri. Pernyataan SBY dalam pidato itu,kabarnya, mendapat panen pujian. Presiden melansir lima solusi ini setelah terjadi konflik terbuka antara Polri dan KPK, yang sudah berlarut-larut, dan sebelumnya cenderung dibiarkan.

Rakyat terpaksa berunjuk rasa dan berteriak “Where are You, Mr.President?” Di sejumlah daerah secara simultan. Seperti diketahui, berlarut-larutnya konflik KPK versus Polri menjadi penjelasan yang paling mudah dicerna oleh siapa pun bahwa efektivitas pemerintahan Presiden SBY terus menurun. Jika Presiden independen, persoalan yang memerangkap KPK dan Polri terbilang sederhana dan mudah diselesaikan. Presiden tersandera atau sekadar menerapkan manajemen konflik?

Insiden di Gedung KPK, Jumat (5/10) pekan lalu,semestinya tidak perlu terjadi jika Presiden sejak awal bisa mengendalikan situasi dan kondisi dalam negeri, khususnya yang berkait dengan friksi antara KPK versus Polri. Kehadiran sejumlah perwira Polri di Gedung KPK hari itu otomatis melahirkan banyak tafsir karena mereka tiba di lokasi Gedung KPK tak lama setelah penyidik KPK memeriksa tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan simulator berkendara di Korps Lalu Lintas Polri, Inspektur Jenderal Djoko Susilo.

Sekali pun benar bahwa kedatangan para perwira Polri itu bertujuan menjemput penyidik Polri yang ditugaskan di KPK, kesan yang mengemuka tetap saja tidak elok. Kini publik sudah telanjur mengasumsikan peristiwa itu sebagai tindakan jemput paksa. Karena jemput paksa itu dilakukan pada hari pemeriksaan Djoko Susilo di KPK, Polri pun dianggap marah, melampiaskan dendam,serta dituduh macammacam. Dalam konteks lebih luas, utamanya tata kelola negara, berlarut-larutnya konflik Polri versus KPK, berikut insiden Jumat pekan lalu itu, lebih menggambarkan kemunduran.

Juga mengindikasikan buruknya tata kelola pemerintahan. Bayangkan, merespons insiden Jumat pekan lalu itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto hanya bisa memberi penjelasan kepada pers bahwa tidak ada perintah Kapolri untuk aksi jemput paksa itu. Respons seperti ini tentu saja tidak menyelesaikan masalah. Dalam persepsi banyak orang, Menko Polhukam seharusnya mendesak Kapolri untuk mencegah atau segera mengakhiri insiden itu.

Tidak salah jika Menko Polhukam turun langsung ke lapangan untuk menetralisasi situasi saat itu. Sebuah kesimpulan bisa dikedepankan dari insiden Jumat pekan lalu itu bahwa Presiden ternyata tidak pernah berinisiatif menggunakan wewenangnya sebagai kepala eksekutif pemerintahan menyelesaikan hingga tuntas konflik KPK versus Polri. Publik tentu masih ingat bahwa pada acara buka puasa bersama di Mabes Polri yang diselenggarakan pada pekan kedua Agustus 2012 terjadi pertemuan dan pembicaraan yang melibatkan Presiden SBY, Ketua KPK Abraham Samad, dan Kapolri Jenderal Timur Pradopo. Momen ini mendapat publikasi yang luas.

Pertemuan dan pembicaraan itu terlaksana ketika suasana sedang panas-panasnya menyusul langkah penggeledahan oleh penyidik KPK di Kantor Korlantas Mabes Polri pada 30 Juli 2012 hingga keesokan harinya. Dari pertemuan dan pembicaraan itu, publik berasumsi bahwa Presiden telah menggunakan kewenangannya menyelesaikan dan menuntaskan persoalan di antara KPK dan Polri.Apalagi,setelah pertemuan itu,suasana sempat tenang kembali.Ternyata, pertemuan itu tidak menyelesaikan persoalan.

Harus Terkendali

Mengapa tata kelola negara harus tampak kacau seperti sekarang ini? Sudah jelas bahwa KPK dan Polri gagal menemukan jalan untuk menyelesaikan persoalan. Karena itu, kita sesalkan Presiden hanya menunggu dan baru bergerak setelah didesak publik. Presiden seharusnya tanpa didesakdesak segera mengambil inisiatif menyelesaikan persoalan agar segala sesuatunya terkendali. Jangan sampai berbagai elemen masyarakat telanjur bergerak seperti yang terjadi kemarin dan jangan anggap remeh fakta ini.

Persoalan KPK dengan Polri harus dikelola dengan penuh kearifan guna mencegah ekses yang lebih besar. Sebelumnya muncul anggapan bahwa Presiden yang belakangan ini sering bepergian ke luar negeri itu tidak peduli dengan ragam persoalan yang terus bermunculan di dalam negeri. Lebih dari itu, publik pun semakin yakin bahwa efektivitas pemerintahan sekarang ini terus menurun sebab potret negara kini tampak amat buram karena sarat konflik, termasuk konflik berdarah.

Ada konflik antarorganisasi kemasyarakatan (ormas), konflik horizontal berdarah di sejumlah daerah yang tak jarang menelan korban jiwa, tawuran antarpelajar, sampai dengan konflik antarinstitusi negara. Kekuatan pemerintah untuk mengendalikan ketertiban umum tampak terus merosot. Padahal,pemerintah memiliki wewenang dan peralatan untuk mewujudkan suasana kehidupan yang kondusif. Mengacu pada penjelasan Menko Polhukam atas insiden di Gedung KPK,jangan-jangan persoalannya sudah tereskalasi di tubuh Polri.

Karena Polri menganut sistem komando, pergerakan sejumlah perwira tanpa sepengetahuan Kapolri tentu saja menjadi masalah tersendiri dan terpisah. Ini menjadi bukti bahwa jika masalahnya tidak dikelola dengan arif, situasi bisa tak terkendalikan. Di berbagai tempat dan kesempatan sering dimunculkan pertanyaan ini; mengapa Presiden tidak juga bisa menyelesaikan konflik KPK dengan Polri? Karena tidak mudah menjawabnya, yang mengemuka adalah dugaan-dugaan.

Pertama, dugaan Presiden menerapkan manajemen konflik untuk menciptakan ketergantungan dan menggelembungkan kekuasaannya. Kedua, dugaan Presiden tersandera oleh kepentingannya sendiri sehingga kesulitan menawarkan jalan tengah yang bisa mengharmonisasi KPK dan Polri. Kemungkinan menerapkan manajemen konflik sangat kecil karena sangat berisiko. Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa Presiden sangat mementingkan dan menjaga citra yang baik atas pemerintahannya.

Logikanya, kalau Presiden membiarkan KPK dan Polri hanyut dalam konflik yang berkepanjangan, pemerintahannya akan dinilai tidak efektif.Konsekuensi yang satu ini rasanya tidak diinginkan SBY. Kemungkinan paling besar adalah Presiden tersandera oleh kepentingannya sendiri. Namun, tidak ada yang tahu persis seperti apa kepentingan Presiden di balik konflik KPK versus Polri. Logikanya, sederhana saja.Presiden berani mereshuffle kabinet-nya, mengganti sekaligus sejumlah menteri.Padahal,risiko politik mengganti menteri jauh lebih besar dibanding risiko menggunakan kewenangan Presiden menyelesaikan konflik KPK versus Polri.

Kita berharap pidato Presiden SBY soal solusi kisruh KPK dan Polri tidak ditafsirkan seperti tukar-guling kasus antara kedua lembaga penegak hukum itu. Presiden SBY dalam pidatonya meminta kasus simulator kemudi diserahkan ke KPK,namun dugaan kasus korupsi pengadaan barang dan jasa yang lain di tubuh Polri ditangani sendiri oleh Polri. Apalagi, Presiden juga sama sekali tidak berbicara soal sanksi yang akan diberikan jika instruksinya tidak dilaksanakan.

Termasuk kepada mereka yang sudah menciptakan kisruh politik ini. Padahal, tanpa sanksi yang proporsional, masalah semacam ini berpotensi akan terus terulang nanti. Kalau sudah begini, tak ubahnya Presiden seolah tidak mematikan sumbu bom waktu, yang bisa meledak hebat, kelak, di suatu hari di masa yang akan datang—mungkin setelah ia tak lagi berkuasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar