Minggu, 07 Oktober 2012

Hukuman Mati untuk Koruptor


Hukuman Mati untuk Koruptor
Hamidulloh Ibda ;  Peneliti di Centre for Democracy and Islamic Studies
IAIN Walisongo Semarang
SINAR HARAPAN, 06 Oktober 2012


Baru-baru ini, Fatwa Majelis Ulama (MUI) tentang hukuman untuk koruptor mendapat sorotan berbagai kalangan. Fatwa MUI tersebut adalah penegasan bahwa korupsi merupakan salah satu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

Karena itu, sang pelaku harus mendapatkan hukuman penjara seberat-beratnya dan harta hasil korupsi dirampas negara. Namun, fatwa ini dinilai masih setengah hati dalam memberantas korupsi. Padahal, banyak kalangan mendamba adanya hukuman mati untuk koruptor.

Keluarnya fatwa itu sebenarnya berlatar belakang hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV yang berlangsung pada 29 Juni-2 Juli 2012 di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat (Kompas, 5/9/2012). Meskipun sudah ada instrumen hukum memberikan hukuman berat dan tegas terhadap koruptor, faktanya korupsi semakin merajalela.

Hukuman yang dijatuhkan rupanya tak cukup memberikan efek jera. Padahal, dalam konsep Hukum Islam, hukuman (‘uqubah) harus berfungsi sebagai zawajir dan mawani' yang artinya membuat pelaku “jera” dan orang yang belum melakukan menjadi “takut melakukannya.”

Maka, sidang Komisi B-1 Ijtima Ulama kemudian menegaskan bahwa korupsi adalah tindakan pengambilan sesuatu yang ada di bawah kekuasaannya dengan cara tak benar menurut syariat Islam. Aset koruptor merupakan harta kekayaan yang dikuasai koruptor. Sebagai upaya membuat jera para koruptor, MUI melalui forum itu mengeluarkan fatwa terkait perampasan aset koruptor.

Poin Penting

Secara mendetail, Komisi B-1 menelurkan beberapa poin penting. Pertama, aset pelaku tindak pidana korupsi yang terbukti secara hukum berasal dari tindak pidana korupsi adalah bukan milik pelaku karena diperoleh dengan cara tidak sah.
Karena itu, aset itu harus disita dan diambil negara. Kedua, aset koruptor yang terbukti bukan berasal dari tindak pidana korupsi tetap menjadi milik pelaku dan tak boleh disita negara.

Ketiga, aset koruptor yang tak dapat dibuktikan secara hukum berasal dari tindak pidana korupsi, maka pelaku dituntut membuktikan asal-usul aset tersebut.
Jika tak bisa membuktikan kepemilikannya secara sah maka diambil negara. Keempat, aset koruptor yang disita negara dimanfaatkan untuk masyarakat. Namun, apakah cukup dengan penyitaan aset hasil korupsi? Tentu tidak. Penulis yakin korupsi akan tetap merajalela.

Kita semua menyambut gembira fatwa itu mengingat sifat kejahatan korupsi yang luar biasa. Betapa tidak, praktik korupsi telah merusak sendi-sendi penopang pembangunan bangsa. Pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang seharusnya meningkat pesat dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat secara luas, menjadi terhambat karena praktik korupsi.

Hal ini pun diakui secara universal, seperti terlihat dalam Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nation Againts Corruption/UNCAC). Hampir setiap negara, (reformasi) peraturan perundangannya yang berkaitan dengan korupsi mengacu pada UNCAC.

Tak terkecuali Indonesia. Selain sudah memiliki UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU tentang Pengadilan Tipikor, Indonesia juga tengah menyiapkan UU Perampasan Aset Koruptor.

Kita berharap, peraturan perundangan itu benar-benar memberikan manfaat sebesar-besarnya dalam upaya melawan korupsi. Karena itu, kita mengapresiasi salah satu rekomendasi Rapat Kerja Nasional MUI 2012, yakni mendukung KPK. MUI menolak perubahan UU KPK sebagai bentuk pelemahan institusi ini, mendukung sanksi yang berat bagi koruptor, dan perampasan harta hasil korupsi.

Hukuman Mati

Fatwa MUI harus kita beri apresiasi. Namun, langkah MUI masih setengah hati dalam upaya memberantas korupsi. Sebenarnya, hukuman apa pun untuk koruptor tak akan pernah menghasilkan “efek jera”, selain hukuman mati.

Selama ini, korupsi justru semakin merajalela. Bahkan, tak mengenal batas ruang dan waktu. Seperti contoh dengan tertangkapnya para hakim nakal, penegak hukum, serta korupsi pengadaan Alquran. Karena itu, sudah saatnya pemerintah mengeluarkan kebijakan “hukuman mati” untuk koruptor.

Bukankah hukuman mati melanggar HAM? Iya benar, namun untuk koruptor tidak. Kenapa demikian? Karena perbuatan koruptor sangat melanggar HAM. Uang yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat, mereka curi dengan cara keji.

Maka, hukuman mati sangat pantas untuk koruptor yang bejat. Sudah saatnya Indonesia mencontoh China yang sukses memberantas korupsi, karena di sana menerapkan hukuman mati untuk koruptor.

Kita tentu tak ingin semua itu selesai sampai keluarnya fatwa saja. Diperlukan upaya sinergis mengimplementasikan fatwa itu dalam kehidupan masyarakat. Jika perlu, MUI harus menfatwakan hukuman mati untuk koruptor. Jika tidak sekarang, lalu kapan lagi? Jika hanya perampasan harta koruptor maka korupsi pasti tetap abadi. Itu pasti. Karena itu, hukuman mati untuk koruptor menjadi suatu keniscayaan. Wallahu a’lam. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar