Hukuman Mati
untuk Koruptor
Hamidulloh Ibda ; Peneliti di Centre for Democracy and
Islamic Studies
IAIN Walisongo Semarang
|
SINAR
HARAPAN, 06 Oktober 2012
Baru-baru ini, Fatwa Majelis Ulama (MUI)
tentang hukuman untuk koruptor mendapat sorotan berbagai kalangan. Fatwa MUI
tersebut adalah penegasan bahwa korupsi merupakan salah satu kejahatan luar
biasa (extra ordinary crime).
Karena itu, sang pelaku harus mendapatkan
hukuman penjara seberat-beratnya dan harta hasil korupsi dirampas negara.
Namun, fatwa ini dinilai masih setengah hati dalam memberantas korupsi.
Padahal, banyak kalangan mendamba adanya hukuman mati untuk koruptor.
Keluarnya fatwa itu sebenarnya berlatar
belakang hasil Ijtima Ulama Komisi
Fatwa se-Indonesia IV yang berlangsung pada 29 Juni-2 Juli 2012 di Pondok
Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat (Kompas, 5/9/2012). Meskipun sudah
ada instrumen hukum memberikan hukuman berat dan tegas terhadap koruptor,
faktanya korupsi semakin merajalela.
Hukuman yang dijatuhkan rupanya tak cukup
memberikan efek jera. Padahal, dalam konsep Hukum Islam, hukuman (‘uqubah) harus berfungsi sebagai zawajir dan mawani' yang artinya membuat pelaku “jera” dan orang yang belum
melakukan menjadi “takut melakukannya.”
Maka, sidang Komisi B-1 Ijtima Ulama kemudian menegaskan bahwa korupsi adalah tindakan
pengambilan sesuatu yang ada di bawah kekuasaannya dengan cara tak benar
menurut syariat Islam. Aset koruptor merupakan harta kekayaan yang dikuasai
koruptor. Sebagai upaya membuat jera para koruptor, MUI melalui forum itu
mengeluarkan fatwa terkait perampasan aset koruptor.
Poin Penting
Secara mendetail, Komisi B-1 menelurkan
beberapa poin penting. Pertama, aset pelaku tindak pidana korupsi yang terbukti
secara hukum berasal dari tindak pidana korupsi adalah bukan milik pelaku
karena diperoleh dengan cara tidak sah.
Karena itu, aset itu harus disita dan diambil
negara. Kedua, aset koruptor yang terbukti bukan berasal dari tindak pidana
korupsi tetap menjadi milik pelaku dan tak boleh disita negara.
Ketiga, aset koruptor yang tak dapat
dibuktikan secara hukum berasal dari tindak pidana korupsi, maka pelaku
dituntut membuktikan asal-usul aset tersebut.
Jika tak bisa membuktikan kepemilikannya
secara sah maka diambil negara. Keempat, aset koruptor yang disita negara
dimanfaatkan untuk masyarakat. Namun, apakah cukup dengan penyitaan aset hasil
korupsi? Tentu tidak. Penulis yakin korupsi akan tetap merajalela.
Kita semua menyambut gembira fatwa itu
mengingat sifat kejahatan korupsi yang luar biasa. Betapa tidak, praktik
korupsi telah merusak sendi-sendi penopang pembangunan bangsa. Pendidikan,
kesehatan, dan infrastruktur yang seharusnya meningkat pesat dan dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat secara luas, menjadi terhambat karena praktik
korupsi.
Hal ini pun diakui secara universal, seperti
terlihat dalam Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nation Againts Corruption/UNCAC). Hampir setiap negara,
(reformasi) peraturan perundangannya yang berkaitan dengan korupsi mengacu pada
UNCAC.
Tak terkecuali Indonesia. Selain sudah
memiliki UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), UU tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi, UU tentang Pengadilan Tipikor, Indonesia juga
tengah menyiapkan UU Perampasan Aset Koruptor.
Kita berharap, peraturan perundangan itu
benar-benar memberikan manfaat sebesar-besarnya dalam upaya melawan korupsi.
Karena itu, kita mengapresiasi salah satu rekomendasi Rapat Kerja Nasional MUI
2012, yakni mendukung KPK. MUI menolak perubahan UU KPK sebagai bentuk
pelemahan institusi ini, mendukung sanksi yang berat bagi koruptor, dan
perampasan harta hasil korupsi.
Hukuman Mati
Fatwa MUI harus kita beri apresiasi. Namun,
langkah MUI masih setengah hati dalam upaya memberantas korupsi. Sebenarnya,
hukuman apa pun untuk koruptor tak akan pernah menghasilkan “efek jera”, selain
hukuman mati.
Selama ini, korupsi justru semakin
merajalela. Bahkan, tak mengenal batas ruang dan waktu. Seperti contoh dengan
tertangkapnya para hakim nakal, penegak hukum, serta korupsi pengadaan Alquran.
Karena itu, sudah saatnya pemerintah mengeluarkan kebijakan “hukuman mati”
untuk koruptor.
Bukankah hukuman mati melanggar HAM? Iya
benar, namun untuk koruptor tidak. Kenapa demikian? Karena perbuatan koruptor
sangat melanggar HAM. Uang yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat, mereka
curi dengan cara keji.
Maka, hukuman mati sangat pantas untuk
koruptor yang bejat. Sudah saatnya Indonesia mencontoh China yang sukses
memberantas korupsi, karena di sana menerapkan hukuman mati untuk koruptor.
Kita tentu tak ingin semua itu selesai sampai
keluarnya fatwa saja. Diperlukan upaya sinergis mengimplementasikan fatwa itu
dalam kehidupan masyarakat. Jika perlu, MUI harus menfatwakan hukuman
mati untuk koruptor. Jika tidak sekarang, lalu kapan lagi? Jika hanya
perampasan harta koruptor maka korupsi pasti tetap abadi. Itu pasti. Karena
itu, hukuman mati untuk koruptor menjadi suatu keniscayaan. Wallahu a’lam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar