Aksi Teroris
di Solo Tempo Doeloe
Heri Priyatmoko ; Peminat Sejarah
|
KORAN
TEMPO, 13 Oktober 2012
Sebuah harian
lokal Solo memberitakan bahwa Badan Nasional Penanggulangan Teroris mengatakan
Solo merupakan basis teroris. Stigma yang disematkan ke tubuh Kota Bengawan
itu menempel sedemikian rapat seiring adanya sederet aksi radikal dan para
terduga teroris yang dibekuk di kota ini. Tetapi terus terang, hati siapa
yang tidak mangkel (kesal) manakala kuping ini kerap mendengar cap negatif
yang dibubuhkan pada Surakarta itu secara berulang-ulang.
Jelas citra
buruk itu merugikan masyarakat dan pemerintah lokal, merusak image bagus yang
susah payah dianyam lewat gagasan genial dan juga guyuran uang ratusan juta
rupiah dari kas daerah untuk menggelar ragam acara seni-budaya. Wacana
"sarang teroris" merupakan bentuk dari kekerasan epistemis yang
terus direproduksi dan turut menyuburkan rasa tak enak yang tertanam di dasar
hati warga.
Kata
"teroris" sesungguhnya telah menghantui masyarakat Solo sejak
permulaan abad XX. Bila kita mau sedikit berkeringat membuka dokumen sejarah,
terorisme bukanlah barang baru bagi kota yang berumur dua setengah abad lebih
ini. Kota yang ditemploki sebutan "tempat jantung Jawa berdetak"
ini pada masa silam telah digegerkan oleh aksi pengeboman. Dan, yang dituding
sebagai pelaku adalah Haji Mohammad Misbach bersama komplotan. Tokoh
fenomenal Sarekat Islam kelahiran kampung batik Kauman tahun 1876 tersebut
kala itu memang sempat bikin pemerintah Londo dan bangsawan kerajaan kalang
kabut. Bahkan suasana ritual Sekaten yang seharusnya semarak dan gayeng
mendadak bersalin menjadi mencekam, dijaga aparat kepolisian, gara-gara
tersiar ancaman bahwa Bangsal Sitinggil, tempat duduk para hadirin, bakal
dibakar. Ternyata ancaman itu bukan isapan jempol.
Misbach, yang
sohor sebagai mubalig lulusan pesantren, menabuh genderang perang akibat
kebijakan eksploitasi kolonial di lahan pertanian dan pajak tinggi dari
kerajaan yang menyengsarakan kehidupan wong cilik di Vorstenlanden. Kajian
sejarawan Jepang, Takashi Shiraishi, bertajuk Zaman Bergerak: Radikalisme
Rakyat di Jawa, meriwayatkan bahwa titik puncak perlawanan Misbach ialah saat
Surakarta diguncang rentetan aksi pengeboman pada periode 1923. Bom-bom
dilemparkan ke dalam tembok Mangkunegaran, mobil-mobil para sentana dalem,
rumah aristokrat di Kepatihan, mobil milik Paku Buwana X, dan rumah
peristirahatan Woerjaningrat yang mantan Ketua Budi Oetomo. Meski kebanyakan
bom tak meledak dan kerusakannya sedikit, hal itu mampu memanaskan suasana
kota dan membuat polisi kelimpungan. Hasil rapat petinggi kolonial bermuara
diciduknya Misbach, Soewarno, Maoetokalimoen, Hardjodiwongso, dan
Hardjosoemarto.
Setelah
ditelusuri, bom yang dipakai untuk meneror pejabat itu terbuat dari bahan
potasium klorat, nitrat, sulfur, nitro lead, kapur asam karbon, dan realgar.
Tempo doeloe, semua barang ini gampang diperoleh di toko-toko kimia.
Algemeene Recherchedienst atau Dinas Reserse Umum Belanda menyelidiki,
insiden pengeboman bertubi-tubi ini merupakan bagian dari operasi teroris
besar. Tinimbang membahayakan keamanan masyarakat dan mengganggu ketertiban
umum, pemerintah tidak ragu membuang Misbach ke sebuah tempat terpencil di
luar Jawa. Lebih-lebih mengantongi informasi bahwa Misbach membentuk
Bandieten Bond (Serikat Bandit) dan menyuruh bawahannya melemparkan bom ke
Kepala Distrik Delanggu. Dilengkapi juga pengakuan seorang narasumber yang
menyebut Misbach ialah komandan operasi pengeboman dan mengutus rekannya ke
Semarang serta Yogyakarta guna mengajarkan cara merakit bom.
Aksi di
Pedesaan
Di era
pergerakan, kondisi Kota Solo terbilang gawat. Pergolakan politik, aksi garis
keras, sabotase rel kereta api oleh buruh, dan teror bom membuahkan kepanikan
penduduk. Itulah yang terjadi di kota, sementara wilayah pedesaan Surakarta
sempat pula digemparkan oleh tokoh radikal Imam Sampurno dengan periode
berlainan.
Imam Sampurno
atau Imam Rejo ialah mantan santri cerdas di pesantren desa. Sempat belajar
agama ke Ngawi dan bertapa di hutan Alas Tuwo. Dia bermukim di Girilayu dan
punya nafsu besar mendirikan "kerajaan langit". Gerakan militan
Imam Sampurno kian menguat selepas membentuk tentara untuk berjihad.
Kakaknya, yang bernama Nitomenggolo, didapuk sebagai panglima dan diberi nama
baru, Imam Hanafi. Rajin memberi ceramah keagamaan kepada penduduk dan
mengklaim dirinya sebagai ulama yang mengajarkan Islam secara benar. Dasar
sial, para pendengar khotbah makin terpesona gara-gara penampilan si penceramah
yang khas, mengenakan jubah dan sorban putih. Dari hari ke hari, jumlah
pengikutnya membengkak. Mereka berasal dari pedesaan lain di kawasan
Karanganyar.
Bermula dari
11 Oktober 1888, rombongan yang terdiri atas 80 orang ini bersenjatakan
tombak dan pedang, turun dari Girilayu seraya berzikir di sepanjang
perjalanan. Bala tentara Imam Sampurno mengincar Pesanggrahan Srikaton di
Tawangmangu, berniat menganeksasi tempat tetirah keluarga Mangkunegaran itu
lantaran dianggap tempat musyrik. Para penjaga sukses dilumpuhkan, dan
pesanggrahan mereka diduduki. Selang sehari kemudian, Mangkunegara V
menerjunkan prajurit Legiun, membasmi gerakan kelompok radikal tersebut.
Pasukan kebanggaan praja Mangkunegaran dapat memukul mundur
"tentara" jihad. Imam Sampurno bersama Imam Hanafi dinyatakan tewas
di sana.
Masih di area
Mangkunegaran, pada 1929 kota ini kembali dihangatkan oleh aksi Gunawirya,
guru ngelmu yang menobatkan diri menjadi Ratu Adil dengan beragama limang
wektu. Ajaran yang disebarluaskan adalah gabungan panteisme Islam dan Jawa
dengan praktek perdukunan. Rapal yang diajarkan menggambarkan adanya
penyatuan diri dengan Tuhan. Disertasi Wasino, Kapitalisme Bumiputera (2008),
menerangkan, markas operasi Gunawirya di distrik Gondang Rejo, dan sejumlah
orang berhasil direkrut menjadi murid. Janji ditebarkan: bila ia kelak
menjadi raja, kawula alit dibebaskan dari pajak tanah, dan desa diensten
(kerja wajib desa) dihapuskan. Penguasa Mangkunegaran geram bukan kepalang.
Tindakan Gunawirya bisa membahayakan stabilitas pemerintahan praja, lalu
polisi dikerahkan untuk meringkusnya. Sewaktu ditangkap, Gunawirya menyerah
tanpa perlawanan berarti.
Dari kilas balik sejarah ini,
kita tahu bahwa, dari masa ke masa, aksi teroris bersenjatakan bom--walau
berdalih ingin menegakkan agama sekalipun--tetap saja meresahkan masyarakat
umum. Ketenangan dan kedamaian sosial warga merupakan impian bersama. Kalau
kita masih mengikuti nasihat Cicero bahwa sejarah adalah guru kehidupan,
pelajaran yang dapat kita petik dari penjelasan di atas ialah bahwa
masyarakat yang acuh tak acuh terhadap gerakan radikal justru akan menjadi
bom waktu. Masyarakat juga harus kritis terhadap warga pendatang yang kiranya
mencurigakan. Sebab, kewaspadaan merupakan modal awal dari upaya
deradikalisasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar