Minggu, 14 Oktober 2012

Akar Filosofis Depresi


Akar Filosofis Depresi
Satrio Wahono ;  Magister Filsafat UI dan Pengajar FE Universitas Pancasila
SINAR HARAPAN, 13 Oktober 2012



Walaupun terjadi di AS, peristiwa tragis penembakan para penonton film Batman: The Dark Knight Rises di Bioskop Century 16 Aurora, Colorado pada 20 Juli 2012 lalu tak ayal membekaskan dampak signifikan bagi kita di Indonesia.

Betapa tidak, seorang mahasiswa doktor cerdas bernama James Holmes bisa-bisanya mengalami depresi berat hingga demikian kerasukan tokoh komik, seorang badut musuh Batman bernama Joker, dan tega menembaki puluhan manusia hingga tewas di sebuah tempat hiburan. Boleh jadi ancaman serupa menyeruak di tengah-tengah kita.

Paling tidak, salah satu harian terbesar di Indonesia juga mensinyalir bahaya tersebut hingga memuatnya sebagai headline selama dua hari berturut-turut. Maka itu, menelaah akar filosofis dari depresi sebagaimana mewujud dalam peristiwa Colorado tersebut menjadi penting.

Budaya Apollo Versus Dionisian

Sebenarnya, tokoh Joker dalam komik Batman memang karakter penjahat (villain) yang demikian menarik perhatian dan digemari. Bahkan, edisi khusus majalah berita komik tersohor Wizard sempat menahbiskan Joker sebagai penjahat komik terhebat sepanjang masa.

Joker begitu memukau karena ia mampu bertransformasi secara radikal, yakni dari penjahat kelas teri ketika kali pertama dimunculkan oleh kreator Batman, Bob Kane dan Jerry Robinson, menjadi penjahat dengan pandangan filosofis luar biasa kompleks buah karya penulis-penulis komik kontemporer, seperti Dennis O’Neil (A 
Death in the Family, 1988), Alan Moore (The Killing Joke, 1988), dan Frank Miller (The Dark Knight Returns, 1986).

Dalam tiga komik revolusioner di atas, perilaku Joker menggila hingga ia bertiwikrama menjadi pembunuh dan penyiksa sinting yang membuat cacat Barbara Gordon, anak Komisaris Gordon, dan juga secara membabi buta melakukan pembunuhan massal, termasuk terhadap mitra (sidekick) Batman, Robin II (Jason Todd).

Pada fase ini, Joker berubah menjadi representasi dari kekacauan (kaos) sebagai lawan abadi (archnemesis) bagi Batman yang mewakili ketertiban (order). Sang badut yang tidak lucu ini digambarkan murni berbuat jahat karena memang dia sejatinya sudah “jahat” dari sananya.

Bukan karena didorong oleh faktor psikologis atau sosiologis, seperti pelecehan semasa kanak-kanak, latar belakang keluarga miskin, mendapatkan pengaruh dari teman sebaya (peer pressure), dan lain sebagainya. Joker adalah tokoh yang merayakan kegilaan dan keonaran dalam bentuknya yang paling murni.

Dalam khazanah filsafat, tokoh Joker melambangkan apa yang disebut sebagai kebudayaan Dionisian (Yasraf Amir Piliang, Hiperrealitas Kebudayaan, 1999); yaitu kebudayaan yang mengagungkan unsur permainan, kegilaan, emosionalitas, kekacaubalauan, dan keacakan berpikir.

Ini merupakan lawan dari Budaya Apollonian yang terlalu rasional, tertib, dan serius, suatu budaya yang direpresentasikan oleh tokoh jagoan Batman sebagai seorang detektif super yang sangat mendewakan akal.
 
Bisa dibilang, budaya Apollonian adalah bapak kandung dari modernitas yang mementingkan dominasi rasio atas kenyataan dan beranggapan bahwa segala sesuatu—termasuk kebenaran (Being, Truth)—memiliki hakikat universal lagi sejati yang hanya bisa dicapai melalui permenungan akal budi.

Buah modernitas ini adalah kemajuan teknologi, keseragaman nilai dan budaya, serta pengagungan manusia sebagai makhluk berakal atas alam semesta. Efek buruknya, budaya modern atau Apollonian ini menghasilkan kerusakan lingkungan karena kerakusan manusia, penggerusan individualitas unik manusia atas nama keseragaman, serta hilangnya elemen spiritualitas.

Nah, persis dampak buruk di atas itulah yang ingin dikoreksi oleh budaya Dionisian yang direpresentasikan Joker. Ini karena budaya Dionisian ini mengutamakan gelora hasrat (passion) ketimbang rasio, pluralitas nilai ketimbang universalitas nilai, dan kekacauan ketimbang keteraturan.

Budaya ini lantas melahirkan aliran postmodern sebagai antitesis bagi modernitas. Sayangnya, postmodern yang sering dijadikan tameng filosofis bagi gerakan antikemapanan, antikeseragaman, dan anti-dominasi manusia justru mengulangi kesalahan dari modernitas yang dikecamnya habis; yaitu postmodern meminggirkan juga aspek spiritualitas dan religiositas karena menganggap tidak ada Kebenaran sejati di dunia lain (baca: akhirat) sana.

Depresi akibat Kehampaan Spiritual

Dengan kata lain, modernisme dan terlebih lagi postmodernisme yang menggejala di AS sama-sama menghamparkan panorama kegersangan atau kehampaan spiritual bagi para warga negaranya.

Alhasil, absennya spiritualitas berpotensi mencetak individu-individu yang gamang, tak punya pegangan nilai, dan gagap secara moral dan etis dalam menghadapi ingar-bingar kehidupan yang penuh dengan rangkaian stimulan (rangsangan) tak berkesudahan.

Dikombinasikan dengan jenis masyarakat patembayan AS yang individualistis dan tak memberikan dukungan sosial memadai bagi para anggota masyarakat, terpupuklah lahan psikologis subur bagi individu untuk menjadikan kekacauan nilai (kaos) sebagai “pegangan nilai” itu sendiri. Titik ekstremnya, ini meledakkan kejadian seperti tragedi Colorado 20 Juli 2012.

Maka itu, hikmah yang bisa kita petik dari peristiwa Colorado adalah perlunya melakukan gerak kembali ke spiritualitas dan ajaran agama sebagai penyeimbang bagi merasuknya paham postmodernisme ke dalam kerangka mental seseorang.

Dalam hal ini, Indonesia sebenarnya beruntung karena sudah mendeklarasikan diri sebagai negara yang berketuhanan lewat sila pertama dalam Pancasilanya.

Tinggal, bagaimana manusia Indonesia mengamalkan ajaran agama yang mereka peluk masing-masing sebagai oase paripurna yang mampu memadamkan segala bahaya fatal akibat kegersangan nilai dan spiritualitas dalam diri manusia. Dengan demikian, kita tidak perlu menyaksikan mewabahnya depresi ala pelaku tragedi Colorado, James Holmes, terjadi di sini suatu hari nanti. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar