Akar Filosofis
Depresi
Satrio Wahono ; Magister Filsafat UI dan Pengajar FE
Universitas Pancasila
|
SINAR
HARAPAN, 13 Oktober 2012
Walaupun
terjadi di AS, peristiwa tragis penembakan para penonton film Batman: The
Dark Knight Rises di Bioskop Century 16 Aurora, Colorado pada 20 Juli 2012
lalu tak ayal membekaskan dampak signifikan bagi kita di Indonesia.
Betapa
tidak, seorang mahasiswa doktor cerdas bernama James Holmes bisa-bisanya
mengalami depresi berat hingga demikian kerasukan tokoh komik, seorang badut
musuh Batman bernama Joker, dan tega menembaki puluhan manusia hingga tewas
di sebuah tempat hiburan. Boleh jadi ancaman serupa menyeruak di
tengah-tengah kita.
Paling
tidak, salah satu harian terbesar di Indonesia juga mensinyalir bahaya tersebut
hingga memuatnya sebagai headline selama dua hari berturut-turut. Maka itu,
menelaah akar filosofis dari depresi sebagaimana mewujud dalam peristiwa
Colorado tersebut menjadi penting.
Budaya
Apollo Versus Dionisian
Sebenarnya,
tokoh Joker dalam komik Batman memang karakter penjahat (villain) yang
demikian menarik perhatian dan digemari. Bahkan, edisi khusus majalah berita
komik tersohor Wizard sempat menahbiskan Joker sebagai penjahat komik
terhebat sepanjang masa.
Joker
begitu memukau karena ia mampu bertransformasi secara radikal, yakni dari
penjahat kelas teri ketika kali pertama dimunculkan oleh kreator Batman, Bob
Kane dan Jerry Robinson, menjadi penjahat dengan pandangan filosofis luar
biasa kompleks buah karya penulis-penulis komik kontemporer, seperti Dennis
O’Neil (A
Death in the Family, 1988), Alan Moore (The Killing Joke, 1988),
dan Frank Miller (The Dark Knight Returns, 1986).
Dalam
tiga komik revolusioner di atas, perilaku Joker menggila hingga ia
bertiwikrama menjadi pembunuh dan penyiksa sinting yang membuat cacat Barbara
Gordon, anak Komisaris Gordon, dan juga secara membabi buta melakukan
pembunuhan massal, termasuk terhadap mitra (sidekick) Batman, Robin II (Jason
Todd).
Pada
fase ini, Joker berubah menjadi representasi dari kekacauan (kaos) sebagai
lawan abadi (archnemesis) bagi Batman yang mewakili ketertiban (order). Sang
badut yang tidak lucu ini digambarkan murni berbuat jahat karena memang dia
sejatinya sudah “jahat” dari sananya.
Bukan
karena didorong oleh faktor psikologis atau sosiologis, seperti pelecehan
semasa kanak-kanak, latar belakang keluarga miskin, mendapatkan pengaruh dari
teman sebaya (peer pressure), dan lain sebagainya. Joker adalah tokoh yang
merayakan kegilaan dan keonaran dalam bentuknya yang paling murni.
Dalam
khazanah filsafat, tokoh Joker melambangkan apa yang disebut sebagai
kebudayaan Dionisian (Yasraf Amir Piliang, Hiperrealitas Kebudayaan, 1999);
yaitu kebudayaan yang mengagungkan unsur permainan, kegilaan, emosionalitas,
kekacaubalauan, dan keacakan berpikir.
Ini
merupakan lawan dari Budaya Apollonian yang terlalu rasional, tertib, dan
serius, suatu budaya yang direpresentasikan oleh tokoh jagoan Batman sebagai
seorang detektif super yang sangat mendewakan akal.
Bisa
dibilang, budaya Apollonian adalah bapak kandung dari modernitas yang
mementingkan dominasi rasio atas kenyataan dan beranggapan bahwa segala
sesuatu—termasuk kebenaran (Being, Truth)—memiliki hakikat universal lagi
sejati yang hanya bisa dicapai melalui permenungan akal budi.
Buah
modernitas ini adalah kemajuan teknologi, keseragaman nilai dan budaya, serta
pengagungan manusia sebagai makhluk berakal atas alam semesta. Efek buruknya,
budaya modern atau Apollonian ini menghasilkan kerusakan lingkungan karena
kerakusan manusia, penggerusan individualitas unik manusia atas nama
keseragaman, serta hilangnya elemen spiritualitas.
Nah,
persis dampak buruk di atas itulah yang ingin dikoreksi oleh budaya Dionisian
yang direpresentasikan Joker. Ini karena budaya Dionisian ini mengutamakan
gelora hasrat (passion) ketimbang rasio, pluralitas nilai ketimbang
universalitas nilai, dan kekacauan ketimbang keteraturan.
Budaya
ini lantas melahirkan aliran postmodern sebagai antitesis bagi modernitas.
Sayangnya, postmodern yang sering dijadikan tameng filosofis bagi gerakan
antikemapanan, antikeseragaman, dan anti-dominasi manusia justru mengulangi
kesalahan dari modernitas yang dikecamnya habis; yaitu postmodern
meminggirkan juga aspek spiritualitas dan religiositas karena menganggap
tidak ada Kebenaran sejati di dunia lain (baca: akhirat) sana.
Depresi
akibat Kehampaan Spiritual
Dengan
kata lain, modernisme dan terlebih lagi postmodernisme yang menggejala di AS
sama-sama menghamparkan panorama kegersangan atau kehampaan spiritual bagi
para warga negaranya.
Alhasil,
absennya spiritualitas berpotensi mencetak individu-individu yang gamang, tak
punya pegangan nilai, dan gagap secara moral dan etis dalam menghadapi
ingar-bingar kehidupan yang penuh dengan rangkaian stimulan (rangsangan) tak
berkesudahan.
Dikombinasikan
dengan jenis masyarakat patembayan AS yang individualistis dan tak memberikan
dukungan sosial memadai bagi para anggota masyarakat, terpupuklah lahan
psikologis subur bagi individu untuk menjadikan kekacauan nilai (kaos)
sebagai “pegangan nilai” itu sendiri. Titik ekstremnya, ini meledakkan
kejadian seperti tragedi Colorado 20 Juli 2012.
Maka
itu, hikmah yang bisa kita petik dari peristiwa Colorado adalah perlunya
melakukan gerak kembali ke spiritualitas dan ajaran agama sebagai penyeimbang
bagi merasuknya paham postmodernisme ke dalam kerangka mental seseorang.
Dalam
hal ini, Indonesia sebenarnya beruntung karena sudah mendeklarasikan diri
sebagai negara yang berketuhanan lewat sila pertama dalam Pancasilanya.
Tinggal,
bagaimana manusia Indonesia mengamalkan ajaran agama yang mereka peluk
masing-masing sebagai oase paripurna yang mampu memadamkan segala bahaya
fatal akibat kegersangan nilai dan spiritualitas dalam diri manusia. Dengan
demikian, kita tidak perlu menyaksikan mewabahnya depresi ala pelaku tragedi
Colorado, James Holmes, terjadi di sini suatu hari nanti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar