Sabtu, 13 Oktober 2012

Revisi UU KPK dengan Iktikad Baik


Revisi UU KPK dengan Iktikad Baik
Ahmad Yani ;  Wakil Ketua Fraksi PPP DPR RI  
SINDO, 13 Oktober 2012



Ada pendapat yang perlu dicamkan, yaitu dari seorang filosof bangsa Romawi bernama Cicero. Bahwa fondasi keadilan adalah iktikad baik. 

Hukum, termasuk dalam hal ini UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), tujuannya tidak semata-mata untuk menegakkan hukum, tetapi juga guna menggapai nilai-nilai keadilan yang hakiki. Karena itu,iktikad baik harus menjadi fondasi hukum. Upaya melakukan revisi UU KPK tidaklah berdiri sendiri, terpisah dan bersifat eksklusif, tetapi iktikadnya mempertautkan dan menyatukan dengan kerangka sistem hukum (integrated legal system) sehingga mendorong keberlangsungan suatu sistem peradilan pidana yang terintegrasi (integrated criminal justice system).

Awal sesungguhnya menitikberatkan pada perubahan (revisi) KUHAP—walaupun sekarang tidak lagi dikenal istilah undang-undang pokok mengenai, namun KUHAP merupakan payung bagi semua proses beracara dalam sistem peradilan pidana. Karena itu, selain RUU tentang Perubahan atas UU KPK secara bersamaan pula dan menjadi Daftar RUU Prioritas 2011, yaitu RUU KUHAP, RUU KUHP, RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,RUU Kejaksaan, RUU Pengadilan Hak Asasi Manusia,RUU Mahkamah Agung, dan RUU Penyidik PNS.

Kesemuanya itu telah diputuskan bersama antara DPR dan pemerintah dalam bentuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas).Terutama KUHAP sejak Menteri Hukum & HAM Patrialis Akbar menyatakan lebih dari setahun yang lalu (Agustus 2011) akan segera menyerahkan rancangan undang-undangnya, tetapi sampai hari ini dan berganti menteri belum juga terealisasi.

Sungguh disayangkan revisi UU KPK oleh pihak-pihak tertentu justru dipersepsikan sebagai upaya melemahkan KPK, tindakan untuk membonsai KPK, bahkan dianggapnya sebagai bentuk “corruption fights back”. Situasi dan kondisinya menjadi tidak lagi kondusif, bahkan muncul berbagai bentuk fitnah dan tuduhan seolaholah DPR sudah “dibiayai” serta “dibayar” oleh para koruptor untuk memorak-porandakan UU KPK.

Seharusnya ketidaksepahaman atau ketidaksetujuan revisi terhadap UU KPK juga didasari oleh argumentasi. Pemberian stigma “pelemahan KPK” atau “pembela koruptor” jelas merupakan tindakan dan prilaku yang tak ubahnya terjadi pada rezim Orde Baru. Tatkala berbeda pandangan dianggap dan diberi stigma “subversif” atau sebagai “ekstrem kanan” ataupun “ekstrem kiri”.

Jiwa hukum tidak hanya tampak dari kata-kata yang dirumuskan menjadi norma (sensus verborum est anima legis), namun juga dari semangat pembuatan undangundang yang landasannya meliputi aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis. Nama Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) menggambarkan jiwa dari komisi, hanya semata-mata melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dan kata “pemberantasan” menunjukkan makna tindakan represif. Padahal makna yang sesungguhnya tidaklah seperti itu.

Pada konstatering fakta (menimbang) huruf b, lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi, merupakan tujuan dari alasan keberadaan UU KPK. Rangkaian kalimat tersebut dirumuskan dengan landasan sosiologis maknanya tidak hanya pada penekanan soal pemberantasan. Namun, KPK juga diberi mandat untuk memberdayakan (empowerment) institusi kepolisian dan kejaksaan, yang diwujudkan dalam bentuk tugas koordinasi dan supervisi (UU KPK Pasal 6,huruf a dan b).

Keberdayaan dan berfungsinya kembali lembaga pemerintah (kepolisian dan kejaksaan) dalam menangani perkara tindak pidana korupsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi, menjadi bukti keberhasilan dan prestasi KPK itu sendiri. Pada hakikatnya, Pasal 6 UU KPK merumuskan norma atas tugas KPK secara tegas dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan.Pertama, tugas pemberantasan tidak langsung, yaitu koordinasi dan supervisi. Kedua, tugas pemberantasan secara langsung, yakni penyelidikan-penyidikan-penuntutan.

Ketiga, tugas bersifat preventif meliputi pencegahan dan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah negara. Akan tetapi yang tampak secara kasatmata, pelaksanaan tugas KPK lebih tertuju pada kelompok kedua (penyelidikan- penyidikan-penuntutan), sehingga tugas koordinasi, supervisi, pencegahan dan monitoring; nyaris terabaikan oleh KPK. Hal ini menunjukkan inkonsistensi antara tujuan dari alasan keberadaan yang menjiwaiUUKPK, denganisibatang tubuh undang-undang itu sendiri.

Inkonsistensi yang perlu diluruskan, pelurusan dilakukan melalui revisi undangundang. Agar KPK menjadi semakin jelas kedudukannya, tugas dan wewenang terkait penguatan posisinya dalam KUHAP yang juga dilakukan revisi. Pada kenyataan, UU KPK telah tiga kali mengalami perubahan disebabkan oleh halhal berikut. Pertama, putusan MK telah membatalkan keberadaan Pengadilan Tipikor yang diatur dalam UU KPK, maka dibentuklah UU Nomor 46/2009 tentang Pengadilan Tipikor.

Kedua, Putusan MK yang membatalkan ketentuan bahwa pimpinan KPK sebagai tersangka dinonaktifkan dan sebagai terdakwa diberhentikan, karenanya tidak berlaku pada kasus “Bibit-Chandra”, tetapi diberlakukan kepada “Antasari”, merupakan ketentuan yang diberlakukan diskriminatif. Ketiga, putusan MK mengenai jabatan pimpinan KPK pengganti, masa jabatannya tidak menghabiskan sisa waktu yang digantikannya, tetapi penggantinya tetap berlaku masa jabatannya empat tahun (Pasal 34,UU KPK).

Struktur pembidangan organisasi kelembagaan KPK belum mencerminkan tugas yang diembannya.Pasal 26 UU KPK tidak menyebutkan bidang yang berkenaan dengan tugas koordinasi dan supervisi. Itulah barangkali yang menjadi penyebab tidak optimalnya KPK dalam menjalankan tugas supervisi dan kesulitan dalam mendeskripsikan supervisi dan koordinasi ke dalam program serta strategi pemberantasan tidak pidana korupsi di Indonesia. Bahkan, Prof Romli Atmasasmita menambahkan perlunya diatur dalam UU KPK keberadaan struktur organisasi dewan pengawas untuk mencegah kekeliruan terhadap kinerja yudisial KPK.

Ini terkait dengan Lord Acton: “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”. Keanggotaan Dewan Pengawas KPK terdiri atas: akademisi hukum senior dan tokoh masyarakat sipil. Hal yang pasti bahwa keberadaan KPK tidak terlepas keterkaitannya dengan KUHAP terutama dalam tugas yang harus dijalankannya, konstatering yuridis (mengingat) UU KPK menyebutkannya secara tegas.

Diperkuat lagi pada Pasal 38 ayat (1), yang menyebutkan bahwa segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Keterkaitan yang membawa konsekuensi, institusi KPK tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan status seseorang yang bekerja di KPK sebagai penyidik, kecuali mengangkat mereka yang berstatus penyidik untuk menjalankan tugas-tugas KPK.

KUHAP menegaskan penyidik adalah pejabat Polri atau pejabat PNS tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Penuntut umum pada KPK adalah jaksa penuntut umum (Pasal 51 ayat 3 UU KPK), adapun status fungsional sebagai jaksa yang dilekatkan pada seseorang adalah menjadi kewenangan Jaksa Agung (Pasal 8 ayat 1,Undang-Undang Nomor 16/2004).Adapun keberadaan institusi Kejaksaan Agung tidak terlepas dari KUHAP, di dalam KUHAP menyebutkan jaksa diberi wewenang antara lain untuk bertindak sebagai penuntut umum.

Pelaksanaan tugas KPK dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (UU KPK Pasal 12 ayat 1 huruf a) disebutkan, berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.Patut mendapat perhatian, agar tidak dipersoalkan sandaran yuridisnya, karena tindakan tersebut menyangkut penghormatan hak asasi manusia (UUD 1945 Pasal 28J ayat 1). Karenanya, untuk penyadapan dan merekam pembicaraan harus adanya undang-undang tersendiri. Hal ini memberikan gambaran bahwa UU KPK sejak awal ada problem konstitusionalitasnya, oleh karena revisi terhadap UU KPK adalah sebuah keniscayaan.

Revisi yang tidak hanya “memperkuat” KPK, tetapi juga sekaligus KPK mampu memperkuat dan memberdayakan (empowerment) institusi kepolisian dan institusi kejaksaan. Sehingga lambat laun, seiring berjalannya waktu, kedua institusi penegak hukum tersebut dapat kembali berfungsi menangani perkara tindak pidana korupsi secara efisien dan efektif. Realitas sosial hari ini tidak lagi kondusif membicarakan revisi UU KPK, sekalipun diupayakan dengan kejernihan pikiran dan dilandasi kesungguhan adanya iktikad baik. Untuk itu penulis selaku kader partai politik menyadari sepenuhnya, bagaimanapun adanya partai politik harus mampu mengartikulasikan suara rakyat dan menyerap keinginan publik.

Fraksi PPP telah mengirim surat secara resmi kepada pimpinan DPR, untuk penundaan pembahasan revisi UU KPK, sambil menunggu pihak pemerintah mengirim draf RUU KUHP guna dilakukan pembahasan terlebih dulu. Di samping itu, tetap diperlukan upaya menyosialisasikan revisi UU KPK yang didasari dengan iktikad baik dan ditumbuhkannya kesadaran bersama bahwa revisi UU KPK, bukan berarti semata-mata tertuju pada “pelemahan” KPK.      Wa Allahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar