Sabtu, 14 Juli 2012

Semangat “Laissez Faire” dalam RUU Perdagangan

Semangat “Laissez Faire” dalam RUU Perdagangan
Edy Burmansyah ; Peneliti di Resistance and Alternative to Globalization
KOMPAS, 13 Juli 2012


Di tengah-tengah kecenderungan berbagai negara memperkuat peran pemerintah dalam perekonomian, DPR dan pemerintah kita justru sepakat menyerahkan pengelolaan perekonomian pada mekanisme pasar.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Perdagangan yang kini tengah dibahas DPR secara jelas dan tegas mereduksi peran pemerintah terbatas hanya sebagai fasilitator. Ini sebuah peran sederhana sebagai penjaga malam (night watchmen state) bagi bekerjanya mekanisme pasar (laissez faire).

Semangat laissez faire tampak pada penjelasan umum dalam RUU tersebut, yang secara gamblang menyatakan bahwa rumusan UU Perdagangan ini merupakan pengejawantahan paradigma baru dalam cara pandang terhadap peran pemerintah di bidang perdagangan yang mengurangi peran dominannya sebagai regulator.

Perlindungan

Bagian lain yang menunjukkan semangat laissez faire pada RUU itu terdapat pada Pasal 2 Ayat 1 Huruf c dan e yang berbunyi: perdagangan diselenggarakan berdasarkan asas pemberian kesempatan yang sama bagi seluruh pelaku usaha, dan perlakuan yang sama terhadap produk yang beredar di pasar dalam negeri.

Laissez faire menuntut perlakuan yang sama antara produk impor dan produk nasional yang diperdagangkan di pasar dalam negeri. Sederhananya, jika pemerintah memberikan fasilitas pada industri dalam negeri, fasilitas serupa harus pula diberikan pada industri pesaingnya dari luar negeri.

Padahal, ditinjau dari berbagai aspek produsen lokal dengan produsen asing berada dalam posisi asimetris (tidak seimbang). Produsen asing jauh lebih unggul, baik dalam aspek permodalan, teknologi, jaringan distribusi, maupun harga jual produk.

Akibatnya, keberadaan RUU Perdagangan dapat mengancam kelangsungan hidup pelaku usaha lokal, yang semestinya memperoleh perlindungan agar dapat tumbuh dan berkembang.

Kasus hancurnya industri alas kaki dan garmen akibat penerapan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (ASEAN-China Free Trade Agreement) seharusnya menjadi isyarat bagi perlunya campur tangan pemerintah dalam perdagangan, melalui proteksi terhadap produk-produk lokal dalam berbagai bentuk kemudahan dan fasilitas.

Pasar Rakyat

Perlindungan itu agaknya semakin jauh bagi pelaku-pelaku usaha lokal, terutama pedagang kecil. Pasar rakyat—tempat bagi usaha bermodal kecil dengan proses jual beli secara tawar-menawar—dimungkinkan dikembangkan swasta (termasuk swasta asing), sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Ayat 1 Huruf a.

Pengembangan pasar rakyat oleh swasta akan membuat biaya retribusi dan sewa kios menjadi mahal karena perusahaan pengelola pasar rakyat cenderung berorientasi profit, berbeda ketika pasar rakyat dikelola pemerintah atau asosiasi pedagang pasar, para pedagang mendapat subsidi dan keringanan biaya sewa dan retribusi.

Di sisi lain, tingginya biaya sewa kios dan retribusi jika pasar rakyat dikelola perusahaan swasta akan dikompensasi dengan peningkatan harga barang-barang. Padahal, konsumen utama pasar rakyat adalah masyarakat berpenghasilan rendah. Ini tentu berlawanan dengan tujuan RUU Perdagangan, yaitu terwujudnya kesejahteraan rakyat.

Suasana kebatinan penyusunan RUU Perdagangan agaknya memang bertujuan menjalankan agenda liberalisasi yang menghendaki perekonomian diserahkan pada mekanisme pasar.

Melawan Arus

Pilihan menyerahkan perekonomian pada mekanisme pasar berlawanan dengan kecenderungan di banyak negara Eropa dan Amerika beberapa tahun terakhir. Mereka kembali memperkuat peran pemerintah dalam perekonomian sejak krisis melanda kawasan tersebut, yang dituding akibat kegagalan pasar (market failure).

Semangat laissez faire dalam RUU Perdagangan harus dikoreksi karena tidak ada satu pun negara di dunia yang menyerahkan ekonominya pada mekanisme pasar, bahkan di negara paling liberal sekalipun. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar