Dakwah
Damai Habib
Syafiq Basri Assegaff ; Penggagas
Gerakan Anti-Radikalisme Islam,
Muslim
Bhinneka Indonesia
KOMPAS,
28 Juli 2012
Pertengahan Juli lalu
ratusan habib berkumpul di Jakarta. Mereka tak sedang menggelar
aksi penyisiran menggebrak tempat antimaksiat menjelang puasa. Sebaliknya,
mereka justru sedang berdiskusi dalam sebuah seminar internasional tentang cara
dakwah yang damai dan toleran, berdasarkan sufisme dan spiritualitas, yang
mendasari kesadaran beragama masyarakat kita sejak berabad-abad silam.
Tentu saja bukan hanya
habaib (jamak kata ’habib’) yang ada. Selain dari Yaman dan Pakistan, seminar
juga menghadirkan pakar dari Amerika Serikat, seperti Prof Engseng Ho (Duke
University), Dr Mark Woodward (Arizona State University) dan Ismail Fajri
Al-Attas (Michigan State University). Dari dalam negeri, di antaranya, hadir
Habib Lutfi bin Yahya (Ketua MUI Jawa Tengah), dan Prof Azyumardi Azra (UIN
Jakarta).
Diskusi ilmiah itu bukan
saja penting, juga tepat waktu, khususnya melihat gejala meningkatnya
ekstremisme dan intoleransi di tengah umat yang kian mengkhawatirkan belakangan
ini. Pasalnya, secara historis, tasawuf dan spiritualitas telah jadi tulang
punggung penyebaran Islam yang ramah: tidak saja di Nusantara, juga di sejumlah
wilayah di Asia Tenggara.
Dalam kaitan itu, sejumlah
riset tentang masuknya Islam di Asia Tenggara menunjukkan besar peran golongan
keturunan Nabi Muhammad asal Hadhramaut (Yaman bagian selatan), yang dikenal
dengan sebutan Sayid al-’Alawiyyin atau habaib.
Ditengarai, kaum Alawiyin,
dengan Thariqah ’Alawiyah-nya, berperan sentral dalam mempromosikan metode
dakwah ini sejak awal meluasnya penyebaran Islam di Nusantara pada abad ke-13.
Namun, sebelum gelombang Alawiyin itu, sekitar abad ke-13, Indonesia telah mendapatkan
penyiaran dakwah berkat masuknya para tokoh Sayid (termasuk Wali Songo) ke
sejumlah daerah Nusantara. Mereka ini lebih populer daripada gelar-gelar lokal,
kemudian bermukim dan beranak-pinak di Nusantara.
Pada abad ke-13 itu kegiatan
islamisasi Nusantara kelihatan lebih nyata, ketika bukan hanya pedagang Arab
yang merantau ke negeri kita, melainkan lebih banyak guru dan da’i (juru
dakwah) profesional berhasil mengislamkan para penguasa lokal di berbagai
penjuru Nusantara.
Mematahkan Pedang
Secara geopolitik, kejatuhan
kekhalifahan Baghdad ke tangan Mongol pada 656 (1258 M) menyebabkan kaum sufi
makin berperan di dunia Muslim. Secara bertahap, mereka mengembangkan afiliasi
dengan kelompok pedagang dan perajin yang turut membentuk masyarakat urban. Hal
itu mempercepat proses ekspansi Islam lewat pengembaraan para syaikh, sayid,
dan makhdum ke berbagai penjuru dunia.
Jauh sebelum jatuhnya
Baghdad itu pada sekitar tahun 320 H, seorang cucu Nabi Muhammad SAW bernama
Ahmad bin Isa (Al-Muhajir) hijrah dari Irak ke Hadhramaut untuk menghindari
prosekusi penguasa Dinasti Abbasiyah di Baghdad.
Belakangan, salah seorang
cucu Al-Muhajir, yakni Al-Faqih al-Muqaddam, melakukan upacara pematahan
pedang, sebagai simbol politik dan sosial-religius penghentian penggunaan senjata.
Sebagai gantinya, ia mempromosikan metode dakwah damai dengan pendekatan
tasawuf, yang disebut sebagai ’Thariqah
’Alawiyah’ itu. (Ini koreksi tulisan saya di Kompas 3 Januari 2012, yang
menyebutkan Al-Muhajir yang mematahkan pedang).
Sejak itu, penekanan pada
tasawuf dan metode dakwah damai inilah yang secara turun-temurun mewarnai
”mazhab” kaum Alawiyin (berasal dari nama salah seorang kakek Al-Faqih
al-Muqaddam, yakni Alwi bin Ubaydillah) di mana pun mereka berada, termasuk di
Nusantara, sampai sekarang.
Dapat disepakati, faktor
utama keberhasilan dakwah mereka adalah kemampuan para ulama dari kalangan
habaib itu dalam mengemas pesan-pesan Islam secara harmonis dengan budaya
lokal, yang berakar pada sifat keramahbudayaan tasawuf. Alhasil, dalam waktu
relatif singkat mereka mendapat tempat di hati para elite berbagai pusat
kerajaan ataupun masyarakat bawah bangsa-bangsa Asia Tenggara.
Kenyataannya, para raja dan
penguasa setempat pun secara sukarela membuka diri terhadap Islam. Tak sedikit
tokoh awal dari kalangan Alawiyin migran—yang datang ke Indonesia tanpa membawa
istri—kemudian menjadi bagian keluarga beberapa kerajaan di Nusantara,
Malaysia, Champa (Kamboja), dan Filipina lewat jalur pernikahan.
Para penduduk Nusantara pun,
yang semula sangat menghayati ajaran-ajaran Hindu, segera menyerap dan
menghayati aspek-aspek kebatinan (spiritualitas atau tasawuf) Islam ini.
Seperti juga ditengarai Engseng Ho, bobot sufistik itulah yang menjadikan
pesatnya keberhasilan dakwah secara damai, tanpa melibatkan penaklukan dan
ekspedisi militeristik. Dapat dikatakan, aliran pemikiran dan praktik keagamaan
organisasi massa seperti NU adalah warisan Thariqah ‘Alawiyah ini.
Kini Dapat Tantangan
Sayangnya, tradisi
pengajaran Islam sufistik dan damai itu kini justru mendapat tantangan dari
kaum literalis-radikal atau yang biasa disebut kelompok garis keras. Oleh
mereka dakwah damai bahkan dianggap menyimpang.
Sikap ekstrem kelompok yang
disebut belakangan ini, bila tidak diredam, sangat boleh jadi akan makin
menyuburkan benih-benih fundamentalisme dan ekstremisme di Indonesia.
Sebagaimana ia telah merobek-robek kedamaian di Pakistan, Afganistan dan banyak
negara lain di dunia. ●
Dakwah habaib juga menyisakan persoalan yang sangat serius yaitu prinsip dasar "persamaan kemanusiaan" sangat tercederai. Para non habaib diharuskan menghormati kalangan habaib dengan cara yang tidak tepat dan berlebihan , merusakn derajad kemanusiaan yang sangat dijunjung Nabi SAAW. Hadirnya organisasi modern reformis spt Muhamadiyah, Persis dan Alirsyad dll berusaha menyadarkan prinsip yang tidak tepat dan jauh dr ahlak Islam ini
BalasHapusbukan berlebihan, memang orang wahabi dari dulu tidak suka dan bahkan merasa risih terhadap habaib, buktinya keluarga saud merampas hak duriyah nabi (wilayah hizaz).
Hapus