Genosida
Etnis Rohingya
Muh Khamdan ; Fungsional Widyaiswara
Kementerian Hukum dan HAM RI
REPUBLIKA,
28 Juli 2012
Ketegasan konstitusi In donesia dalam upaya ikut serta menjaga
perdamaian dunia yang jelas tercantum dalam tujuan dibentuknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), kini diuji ketika menghadapi tragedi kemanusiaan di
Myanmar.
Hak-hak minoritas Muslim Rohingya, suku keturunan Bangladesh di Myan mar
barat, terampas dengan adanya pembantaian yang mengarah pada ge nosida atau
pemusnahan etnis.
Indonesia sebagai negara Muslim demokrasi terbesar di dunia jelas
harus melakukan diplomasi kemanusiaan terhadap Pemerintah Myanmar yang
mengabaikan substansi nilai-nilai hak asasi manusia. Terlebih, Indonesia
sebagai negara yang kini menjadi ketua ASEAN sekaligus telah memiliki banyak
pengalaman dalam menghadapi konflik antaretnis di berbagai daerah sebagaimana
di Ambon, Poso, dan Sampit.
Tragedi kemanusiaan yang mengarah pada upaya pembinasaan sekitar
satu juta Muslim Rohingya dari wilayah Myanmar jelas mengindikasikan bahwa
kemerdekaan memeluk agama di dunia ini masih harus diperjuangkan. Terlebih,
penghargaan atas hak-hak kelompok minoritas benar-benar masih sebagai hal yang
sangat mewah, bahkan terkesan diabaikan karena nyaris tanpa tindakan apa pun
dari organisasi internasional.
Peran Lembaga Dunia
Organisasi semacam ASEAN, Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan
PBB nyaris belum memberikan langkah tegas menyikapi pelanggaran HAM berat oleh
junta militer Myanmar. Pembantaian Muslim Rohingya di Myanmar telah terjadi
sejak Juni lalu sehingga mengakibatkan ratuan ribu Muslim Rohingya mengungsi
meninggalkan tanah airnya di Rakhine.
Muslim Rohingya sebagai minoritas di negara mayoritas beragama
Buddha itu tidak dianggap sebagai warga negara sehingga pemimpin junta militer
Myanmar, Jenderal Thein Sein, menyuruh agar Muslim Rohingya mencari negara
ketiga untuk menjadi tempat tinggal. Suatu kenyataan yang mempertegas upaya
terjadinya genosida di bumi Myanmar atas saudara Muslim Rohingya.
Secara khusus, Indonesia sebagai anggota OKI harus mendesak PBB
untuk memberi sanksi tegas terhadap pemimpin Myanmar dengan mengajukan ke International Criminal Court (ICC) atas
tuduhan upaya genosida secara sistematis terhadap Muslim Rohingya. Tragedi
kemanusiaan yang menimpa Muslim Rohingya di Myanmar jelas harus menjadi amanat
penderitaan Muslim internasional bersamaan dengan nilai spiritual puasa
Ramadhan.
Puasa sebagai ritual yang semula untuk ikut merasakan penderitaan
kaum miskin yang tak mampu makan layak di setiap harinya, harus ditransformasi
sebagai spirit kemanusiaan atas nama ketidakadilan yang merampas hak-hak
kemanusiaan. Oleh karena itu, puasa merupakan bagian dari implementasi
penerimaan atas Universal Declaration of
Human Rights (UDHR), dokumen internasional yang menjadi standar pencapaian
hak asasi yang berlaku untuk semua rakyat dan semua negara di dunia agar tidak
ada penindasan dengan dalih apa pun.
Pada dasarnya, belum jelasnya tindakantindakan responsif dari
dunia internasional mencerminkan pembelaan nilai-nilai humanisme dalam membela
rakyat dan sebagai ruh perjuangan bersama masyarakat dunia berjalan tidak
berimbang. Betapa masyarakat internasional sudah terlalu sering dijanjikan oleh
PBB dalam penyelesaian kasus-kasus HAM yang selalu menyandera.
Myanmar harus diingatkan akan komitmennya terhadap demokrasi,
bahkan Pemerintah Indonesia rasanya harus mengajari tentang bagaimana demokrasi
berbangsa dan bernegara. Demokrasi bu kan hanya secara prosedural dengan
membolehkan oposisi Aung San Suu Kyi untuk bisa mengikuti pemilu, melainkan
yang terpenting adalah substansi demokrasi itu sendiri yang terkait erat dengan
HAM, baik hak pribadi, hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial, dan budaya,
maupun hak humaniter dalam statusnya sebagai warga negara.
Capaian substansi demokrasi dengan menerima Muslim Rohingya
sebagai warga negara Myanmar, jelas akan dicatat sebagai capaian besar dalam
proses demokratisasi negara tersebut dan akan menjadi pijakan sangat penting
dalam mengelola pluralitas masyarakat Myanmar. Namun, jika pembantaian terus
berlangsung dan terjadi pengingkaran keberadaan warga minoritas, Pemerintah
Myanmar dan juga Aung San Suu Kyi sebagai simbol demokratisasi Myanmar, sama
halnya berjalan di tempat dalam penegakan nilai-nilai demokrasi dan
kemanusiaan.
Sebagaimana Sandra Fredman, usaha-usaha untuk melegitimasi
dominasi dalam konteks sosial hanya akan membuahkan subordinasi oleh satu kelompok
sosial terhadap kelompok sosial yang lain berupa rasisme. Hak-hak individu
jelas akan selalu berkaitan dengan hak-hak kelompoknya.
Jika hak-hak kelompok itu tidak terpenuhi atau terampas oleh
dominansi kekuasaan lain, niscaya hak-hak individual anggota kelompok juga ikut
terampas. Inilah babak yang mengkhawatirkan ketika tidak adanya penghargaan
kaum minoritas Muslim Rohingya yang justru diinisiasi oleh pemegang kekuasaan
Pemerintah Myanmar.
Diperlakukan Sama
Oleh karena itu, setiap warga negara dalam kedudukannya
di hadapan hukum politik dan
hukum internasional harus diperlakukan secara
sama, sebagaimana puasa Ramadhan yang melatih untuk sama-sama merasakan
penderitaan kelompok minoritas yang termarginalkan. Persoalan memperlakukan
pluralitas dan kemajemukan masyarakat serta merumuskan program integrasi sosial
telah mampu dilakukan Pemerintah Indonesia.
Dengan demikian, Pemerintah Indonesia harus mampu menjadi
teladan berdemokrasi dan guru memperlakukan per bedaan-perbedaan antara
mayoritas dan minoritas tanpa harus melalui konflik berkepanjangan. Tragedi
kemanusiaan terhadap Muslim Rohingya mesti menjadi semangat bagi seluruh
kalangan masyarakat internasional membangun solidaritas untuk selalu mendesak
tidak adanya penindasan terhadap kelompok minoritas.
Dan, Indonesia harus
berani memainkan peran diplomasi kemanusiaan di garda terdepan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar