Minggu, 29 Juli 2012

Ritual Kenaikan Harga


Ritual Kenaikan Harga
Khudori ; Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Penulis Buku Ironi Negeri Beras
SINDO, 28 Juli 2012

Ritual tahunan kenaikan harga kebutuhan pokok kembali terjadi. Seperti tahun-tahun sebelumnya, bulan penuh berkah bagi umat Islam ini selalu beriringan dengan harga-harga yang melambung.

Di berbagai daerah, harga beras, gula, terigu, telur, minyak goreng, kedelai, jagung, daging (ayam dan sapi) dan kebutuhan pokok lain yang sehari-hari disebut sembako (sembilan kebutuhan pokok) terus melonjak. Kenaikannya bahkan bisa 30%. Kekeringan ekstrem di Amerika Serikat, eksportir utama gandum, kedelai dan jagung, diperkirakan bakal menjungkit harga ketiga komoditas itu lebih tinggi lagi.

Menurut versi pemerintah, lonjakan terjadi karena bulan puasa ada kenaikan permintaan pangan sekitar 20%. Sesuai hukum besi supply and demand, tekanan di sisi permintaan ketika pasokan tetap akan membuat harga melambung. Menurut pemerintah, meskipun ada lonjakan permintaan pada saat puasa, stok bahan kebutuhan pokok selama Ramadan lebih dari cukup. Pertanyaannya, jika stok cukup mengapa harga melambung? Setidaknya ada tiga penyebab.

Pertama, buruknya sistem distribusi. Distribusi terkait pergerakan komoditas dari produsen ke konsumen. Aktivitas ini melibatkan banyak pihak, mulai produsen, pedagang pengumpul, pedagang besar, pedagang pengecer dan konsumen. Proses distribusi sering tidak berjalan baik. Ini ditandai masih adanya disparitas harga antarwilayah yang tinggi dan fluktuasi harga yang belum terkendali. Pihak yang berposisi dominan berpeluang mengeruk keuntungan di luar kewajaran.

Kedua, spekulasi pedagang atau pihak-pihak yang berposisi dominan dengan cara menimbun stok. Spekulasi ini menjadi keniscayaan didorong oleh keyakinan bahwa berapa pun barang yang ditimbun akan terbeli. Bahkan, dengan harga jual berapa pun. Ketika harga melambung tinggi, pemerintah tidak berkutik karena tidak ada instrumen yang bisa digerakkan untuk melakukan intervensi.

Pemerintah, seperti dikatakan Menko Perekonomian Hatta Rajasa, berjanji segera menggerakkan stok kebutuhan pokok yang ada agar tidak terjadi kelangkaan. Pertanyaannya, stok itu milik siapa? Bukankah pemerintah tidak memiliki cadangan pangan yang setiap saat bisa digerakkan ke pasar selain beras?

Ketiga, ketergantungan pada pangan impor. Untuk sejumlah komoditas pangan penting, ketergantungan kita makin akut, belum ada tanda-tanda membaik. Sampai kini kita belum bisa keluar dari ketergantungan impor susu (70% dari kebutuhan), gula (30%), garam (50%), gandum (100%), kedelai (70%), daging sapi (20%), induk ayam, dan telur. Produksi domestik belum mampu memenuhi semua kebutuhan. Memang, pemerintah telah menargetkan surplus beras 10 juta ton, swasembada kedelai, jagung dan gula pada 2014. Tapi untuk mencapai target itu luar biasa sulit, kalau tidak dikatakan mustahil.

Keempat , ketiadaan instrumen stabilisasi kebutuhan pokok. Berbeda dengan di era Orde Baru yang instrumen dan kelembagaan stabilisasi relatif komplet, sekarang kita tidak memiliki instrumen dan aransemen stabilisasi pangan domestik. Dulu, sejumlah komoditas strategis (beras, gula, kedelai, minyak goreng dan terigu) distabilisasi melalui Bulog. Kini, Bulog yang mengelola beras. Itu pun dengan instrumen terbatas. Kini semua nyaris diserahkan pada mekanisme pasar.

Perubahan ini terjadi sejak Indonesia menjadi pasien IMF saat krisis moneter 1997-1998. Adalah sebuah keniscayaan harga kebutuhan pokok melambung tinggi lantaran tidak ada instrumen stabilisasi yang bisa digerakkan. Reformasi telah mengubah peran pemerintah di satu sisi dan peran sektor swasta,warga sipil dan dunia internasional di sisi lain. Perubahan terjadi di level politik, tapi tidak pada sistem ekonomi. Ini ditandai peran negara yang kian menciut, sebaliknya swasta dan kaum kapitalis kian sulit diatur.

Hasilnya, kehadiran negara lewat lembaga peng-emban pelayanan publik kian lumpuh. Semula penguasaan distribusi kebutuhan pokok berada dalam kontrol negara, kini secara oligopolistik berada di bawah penguasaan swasta. Ironinya, hal itu terjadi hampir semua komoditas pangan penting negeri ini. Pada komoditas gula, beleid tata niaga saat ini membuat pasar (produksi domestik maupun impor) ada di tangan tidak lebih delapan pedagang, yang biasa disebut ”delapan samurai”.

Pada minyak goreng, pasarnya bersifat oligopoli.Enam perusahaan menguasai lebih 70% pangsa pasar minyak goreng. Pada terigu, perusahaan pengolah gandum hanya empat buah, bahkan satu perusahaan (Bogasari) pangsa pasarnya cukup dominan (70%). Struktur pasar beras di Jakarta cenderung oligopoli. Masalahnya, Pasar Induk Cipinang (PIC) di Jakarta, jadi barometer pergerakan harga beras nasional.

Harga di PIC akan jadi referensi di pasar lain. Padahal, harga tersebut ditentukan hanya oleh segelintir pihak. Ritual kenaikan harga ini telah menggerus energi, dana dan sumber daya yang luar biasa besar yang sebenarnya tidak perlu. Kejadian berulang karena kita tidak mau belajar dari sejarah. Perlu upaya serius dan sistematis untuk mengoreksi pembiaran ini. Secara struktural perlu disusun aransemen kelembagaan dan instrumen stabilisasi.

Saat ini DPR dan pemerintah tengah menggodok RUU Perdagangan dan RUU Pangan.Rancangan undang-undang terakhir merupakan revisi dari UU Pangan Nomor 7/1996.Di RUU Perdagangan ada pasal yang mengatur harga barang/ komoditas. Pasal ini memungkinkan pemerintah untuk melakukan intervensi ketika terjadi kegagalan pasar (market failure), seperti harga naik/turun tinggi. Agar operasional, pemerintah harus menentukan komoditas yang jadi sasaran stabilisasi.

Kita bisa ambil contoh Malaysia. Saat ini, ketika Indonesia gonjang-ganjing harga kebutuhan pokok, Malaysia tidak mengalaminya. Malaysia memiliki undang-undang The Price Control Act untuk mengontrol harga barang-barang yang kebanyakan barang-barang makanan sejak 1946. Juga ada The Control of Supplies Act yang mulai berlaku 1961. Undang-undang ini mengatur keluar-masuknya barang di perbatasan.

Dalam UU itu harga 225 kebutuhan sehari-hari masyarakat dan 25 komoditas dikontrol pada festive season (hari besar). Stabilisasi memerlukan anggaran besar. Karena anggaran terbatas, pemerintah bisa memilih 4-5 komoditas paling penting untuk jadi sasaran stabilisasi. Dalam RUU Pangan didesain sebuah kelembagaan baru yang bertugas menangani semua hal terkait pangan. Saat ini ada kelembagaan Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang diketuai Presiden dan secara harian diketuai Menteri Pertanian.

Selain Bulog dan pemerintah daerah, DKP melibatkan puluhan menteri yang terkait dengan pangan. Masalah muncul, karena gerak DKP sehari- hari diserahkan pada eselon I: Ketua Badan Ketahanan Pangan (BKP) di Kementerian Pertanian. Jangankan menggerakkan menteri terkait, mengoordinasi sesama pejabat eselon I lintas kementerian saja BKP tak berdaya.

Dengan kelembagaan baru memungkinkan segala hal soal pangan diurus lebih baik. Di luar soal teknis (stok pangan, pengaturan ekspor-impor dan distribusi) keberadaan aransemen kelembagaan dan instrumen stabilisasi memungkinkan kita memutus ritual tahunan kenaikan harga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar