Lahan
untuk Kebangunan Indonesia Mendatang
Agus Pakpahan ; Dirjen
Perkebunan 1980-2003
KORAN
TEMPO, 27 Juli 2012
Konflik membuang energi,
menghasilkan panas dan arang; damai membangun energi, untuk menciptakan masa
depan yang lebih baik. Kemerdekaan Indonesia adalah hasil persatuan-kesatuan
perasaan keindonesiaan, membangun rumah Indonesia yang merdeka, dari semua
untuk semua. Keanekaragaman adat-istiadat, agama, suku, atau perbedaan apa saja
menjadi sumber zat yang bersenyawa membangun Bhinneka Tunggal Ika, sifat dan
sikap NKRI berasaskan nilai-nilai yang dikandung Pancasila. Ringan sama
dijinjing, berat sama dipikul dengan nama gotong-royong. Semua menyerahkan apa
yang dimiliki demi membangun Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil
dan makmur dari Sabang sampai Merauke.
Tanah sebagai asal-muasal manusia
dan tempat kembali manusia, air sebagai sumber dan penciri kehidupan, membangun
kesatuan tanah-air yang tak terpisahkan. Tanah-air bukan buatan manusia, tetapi
menentukan kehidupan manusia. Tanah memiliki fungsi sosial, kata Undang-Undang
Pokok Agraria 1960, dan tanah-air menguasai hajat hidup orang banyak, amanah
Pasal 33 UUD 1945. Sebuah negara merdeka memiliki wilayah tanah-air yang
merdeka, lengkap dengan pengakuan dari negara lain yang merdeka pula.
Dalam sebuah negara merdeka,
mengapa tanah-air menjadi sumber konflik sosial sebagaimana yang berkembang di
Indonesia dan makin memuncak akhir-akhir ini? Saya pikir di seluruh muka bumi
ini tidak ada hak mutlak seseorang atau sebuah lembaga atas sebidang tanah.
Artinya, paham kapitalisme yang mengakui tanah bisa menjadi aset berdasarkan
alas hak kepemilikan dengan berbagai variasinya tidaklah tak terbatas.
Bahkan
di Amerika Serikat sekalipun, dikenal doktrin Riparian, yaitu pemberian hak
atas lahan berdasarkan first
come first serve, yang diberlakukan di kawasan timur Amerika Serikat, atau
appropriation doctrine, hak diberikan berdasarkan tingkat efisiensi dan
efektivitas penggunaan lahan tersebut. Artinya, apabila lahan tersebut tidak
dimanfaatkan secara efisien, negara dapat mengambil kembali hak tersebut. Di
Selandia Baru, kita mengenal adanya pencadangan hak perikanan laut hanya
diperuntukkan bagi suku Maori.
Karena itu, pernyataan bahwa,
misalnya, “lahan ini tidak akan kami serahkan kecuali merupakan keputusan
hukum” merupakan pernyataan yang sifatnya akan menciptakan biaya transaksi yang
sangat besar. Sebaliknya, pernyataan yang menyatakan “lahan ini akan kami
jarah, karena ia merupakan lahan milik nenek moyang kami” juga pernyataan yang
mengandung makna kekerasan. Apabila keduanya bertemu, maka tidak akan ada
penyelesaian damai. Akibatnya, semua pihak merugi, apalagi negara.
Adapun negara sebagai organisasi
seluruh rakyat memiliki hak memaksa yang diberikan oleh perundang-undangan.
Setelah hampir 67 tahun merdeka, tentu saja kita harus melakukan evaluasi dan
membangun kesadaran baru, untuk menjadikan tanah-air ini sebagai sumber
kedamaian bagi Indonesia. Sebab-musabab timbulnya konflik perlu dicari, dan
demikian pula solusinya.
Konflik sumber akibat dari banyak
hal, terutama rasa keadilan dalam hal hubungan manusia dengan manusia terhadap
lahan. Perlu diingat bahwa lahan yang dimiliki NKRI ini sangat terbatas, dengan
bilangan luas per kapita kurang dari satu hektare. Dibandingkan dengan lahan yang
dimiliki Amerika Serikat, lahan kita itu jauh tidak sebanding sedikitnya.
Diukur oleh harganya per hektare, lahan kita jauh lebih mahal, pertanda lebih
langka, apalagi di Jawa.
Apa yang telah terjadi selama 30
tahun atau lebih? Di Indonesia telah terjadi arah dan gerak yang bertolak
belakang, yaitu petani semakin sempit lahannya, sedangkan perusahaan perkebunan
semakin luas lahannya. Membandingkan hasil Sensus Pertanian 1973 dan 2003
diperoleh gambaran bahwa skala lahan usaha pertanian rakyat menurun dari 0,99
ha per rumah tangga (RT) pertanian menjadi 0,79 ha; telah terjadi penurunan
luas lahan per RT petani 0,2 ha atau sekitar 20 persen selama 30 tahun.
Sebaliknya, perusahaan perkebunan
mengalami eskalasi penguasaan lahan dari rata-rata skala luas lahan perusahaan
perkebunan 1.235,78 ha dari total luas area perkebunan besar 2,22 juta ha
(1973) menjadi 5.416 ha pada 2010, dengan luas area perkebunan besar mencapai
6,04 juta ha di mana luas perkebunan kelapa sawit menempati 5,03 juta ha (83,3
persen). Rasio skala rata-rata lahan perusahaan perkebunan pada 2010 dengan
rata-rata luas lahan per petani pada 2003 adalah 5.416.
Dengan demikian, bukan hanya
ketimpangan yang telah meningkat, tetapi juga kebijakan itu sendiri telah
berbias kepada kepentingan perusahaan besar dan telah membiarkan terjadinya
guremisasi dengan dampak berantainya yang bersifat negatif yang mengarah ke
segala penjuru, mulai dari makin merebaknya kemiskinan, kerusakan lingkungan
hidup, hingga ke konflik sosial yang tidak hanya mengancam ketahanan pangan dan
ketahanan masyarakat, tetapi juga berdampak negatif terhadap NKRI yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Persoalan menjadi lebih berat
mengingat harapan datangnya solusi dari industrialisasi, yang merupakan
instrumen dasar untuk melangsungkan transformasi ekonomi, juga telah gagal.
Berkurangnya PDB pertanian 1 persen ternyata telah menyumbangkan penurunan
tenaga kerja pertanian di Amerika Serikat sekitar 2,8 persen dan di Jepang 2,02
persen. Adapun untuk perubahan yang sama di Thailand, Malaysia, dan Korea
Selatan, masing-masing mengalami penurunan tenaga kerja pertanian pada periode
1957-2002 sebesar 1,1 persen, 1,02 persen, dan 1,56 persen. Sebaliknya, di
Indonesia, untuk perkembangan yang sama, penurunan tenaga kerja pertaniannya
hanya 0,43 persen saja.
Jadi, industrialisasi di
Indonesia bukannya meningkatkan luas lahan per petani, melainkan malahan
berdampak makin besarnya masalah guremisasi. Walaupun industrialisasi bukan
semata-mata untuk mengurangi surplus tenaga kerja pertanian, perbedaan besaran
daya penyerapan tenaga kerja pertanian sebagaimana yang terjadi di
negara-negara disebutkan di atas cukup untuk menunjukkan telah terjadinya
kegagalan industrialisasi di Indonesia.
Gagalnya industrialisasi perlu
membangkitkan kesadaran akan masa depan Indonesia yang berbahaya. Kegagalan
industrialisasi yang diperlihatkan oleh meningkatnya guremisasi yang
bergandengan tangan dengan sifat dan sikap diskriminatif atau tidak adil dari
penguasa terhadap rakyat dan bangsanya sendiri dapat dijadikan sebagai
indikator penting untuk terjadinya kegagalan Indonesia.
Jadi, dua “mata tombak” kita
sudah tidak berfungsi. Mata tombak pertama adalah ketidakadilan, dan mata
tombak kedua adalah industrialisasi itu sendiri. Kita harus membangun kembali
dari puing-puing yang sudah berserakan, yang tidak dapat diselesaikan lewat
jalur tarik-tambang hukum, kecuali kembali pada perdamaian dan gotong-royong
demi kemuliaan dan kemajuan NKRI mendatang. Hanya itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar