Mencari
Hikmah Ramadan
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota
Dewan Redaksi Media Group
MEDIA
INDONESIA, 27 Juli 2012
KITA akan memasuki pekan kedua bulan suci Ramadan.
Seperti yang biasa terjadi pada masyarakat dunia yang semakin
komersial, umat Islam pun di mana-mana-selain sibuk dengan berbagai ritual
agama--sedang sibuk menyiapkan diri untuk merayakan puncak kemenangan setelah
satu bulan berpuasa mengekang diri. Jalan-jalan terasa makin sesak,
tempattempat berbelanja makin berjejal.
Salah satu ciri berkaitan Ramadan muncul di Ibu Kota ketika
tempat-tempat permakaman mulai ramai dikunjungi sanak kerabat. Lalu lintas pun
tak lama lagi akan berangsur menyusut, menandakan bahwa menjelang Lebaran
kepadatan penduduk mulai berkurang mungkin sampai sebanyak sepertiganya. Yang
pergi umumnya penduduk musiman yang datang ke Jakarta untuk panggilan
pekerjaan; atau migran dari daerah perdesaan dan kota-kota lain yang pindah
menetap di Jakarta untuk mencari sumber penghidupan. Yang kemudian menjadi
tradisi, setiap Lebaran, orang `pulang mudik' untuk mengunjungi keluarga
dan/atau menunjukkan darma-bakti dan memohon maaf kepada orangtua.
Keindahan tradisi ini seakan sudah menjadi bagian ritual
keagamaan. Tidak dipersoalkan lagi berapa dana yang harus disisihkan untuk
panggilan jiwa tersebut. Alangkah indahnya seandainya spirit Ramadan ada pada
diri umat Islam sepanjang tahun. Hikmah yang bisa diambil dari tradisi ini
ialah apa arti hidup, kalau bukan untuk saling sayang-menyayangi, saling
peduli, dan saling memaafkan?
Sesal Dahulu Pendapatan
Banyak tulisan tentang siram an rohani yang mengusik perasaan
tentang apaapa yang kita lakukan karena kita lupa diri. Salah satu di antaranya
tentang pengangguran.
Menurut survei, ketakutan manusia akan kehilangan pekerjaan hampir
sama dengan ketakutan menghadapi maut. Namun, pada masa pancaroba, ketika
banyak beredar wacana tentang rasa kemanusiaan, faktanya ratusan juta penduduk
dunia menganggur.
Sebagian memang secara turun-menurun mewarisi kemalangan
akibat ketidakpedulian sesama manusia; antara lain juga akibat kebijakan para
pengambil keputusan, misalnya. Banyak mantan pengambil keputusan yang ketika
berjaya tidak menyadari betapa menderitanya kaum penganggur. Mereka baru
menyadari setelah mereka sendiri mengalami nasib serupa. Ramadan memberi
kesempatan merenung: `Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna'.
Sebelum menjadi penganggur, mantan orang berkuasa itu pekerja
keras, banyak bicara di telepon, sibuk membaca surat-surat yang dianggapnya
penting waktu itu. Namun, ketika menengok kembali kepada masa kejayaan itu,
ternyata semua kesibukan tersebut tidak begitu pentingnya sehingga membuat
hidupnya ribut, kacau, dan tidak jelas--betapa pun kepuasan yang diperoleh dari
kejayaannya itu. Setelah menganggur, dia baru berpikir jernih bahwa kebutuhan
hidup hanya sederhana, sandang-pangan secukupnya dan tempat berteduh. Pun yang
penting ialah kasih sayang dari orang-orang sekitarnya-yang sering dilalaikan,
apa pun alasannya. Pelajaran itu terabaikan ketika dia sedang berkuasa dan
lebih mengutamakan ego dan arogansi, dan tidak mengenal apa arti merendahkan
diri.
Sekarang setelah masa hebat itu berlalu, keluarga yang menyaksikan
perubahan posisinya melihatnya dengan iba; lupa bahwa dulu mereka diabaikan
karena yang mereka kagumi itu lebih sibuk dengan pekerjaan dan keglamoran yang
menyertainya. Begitu juga teman-teman yang dulu dia remehkan, sekarang
memandangnya dengan sikap diam dan mungkin dengan rasa belas kasihan,
seakanakan ajal sudah menantinya. Baru sekarang dia menyadari, manusia perlu
merenung sekali-sekali, bermeditasi untuk mengoreksi diri.
Apa Makna Suatu Derma?
Nabi ciptaan Khalil Gibran-penyair Amerika kelahiran Libanon (1883-1931)-suatu
kali ditanya oleh si kaya, “Apa arti suatu derma?“ Jawab sang Nabi, “Yang kau
berikan tidak ada artinya bila hanya berupa harta benda. Bila yang kauberikan
dirimu sendiri, itu baru suatu derma. Sebab, harta bendamu hanya milikmu yang
kau simpan dan kau pelihara untuk berjaga-jaga, siapa tahu esok hari kaubutuhkan
dia. Dan hari esok, apa yang dibawa hari esok untuk anjing yang hanya rajin
mengubur tulang di sepanjang padang pasir yang dilaluinya, ketika dia mengikuti
para peziarah menuju kota suci? Dan ketakutan akan kekurangan di tengah
melimpahnya simpanan, bukankah itu kerakusan?
Bukankah takut akan kehausan
ketika sumurmu penuh pertanda suatu kehausan yang tidak akan pernah terpuaskan?“
“Ada orang orang yang memberi sedikit dari begitu banyak yang mereka miliki,
dan mereka memberi supaya mereka dihargai. Ini membuat apa yang mereka dermakan
menjadi tidak berarti. Namun, ada orang-orang yang hanya memiliki sedikit,
tetapi ikhlas memberi dari apa yang mereka miliki, mereka inilah yang memiliki
kepercayaan akan kehidupan dan kekayaan hidup, dan sumber derma baktinya tidak
akan kunjung habis.... Memang mulia memberi derma ketika diminta, tetapi lebih
mulia bila memberi ketika tidak diminta. Kita memberi karena mengerti.“
“Sebenarnya bagi sang penderma,
mencari siapa yang membutuhkan derma rasanya lebih mulia daripada tindakan
memberi derma itu sendiri. Maka, perlukah dia tahan-tahan apa yang akan dia
berikan? Semua yang dia miliki akhirnya akan diberikan juga. Karena itu, lebih
baik memberi sekarang, ketika kesempatan memberi hanya diberikan kepada dia
sendiri, dan bukan kepada para pewaris.... Sebab, sebenarnya hanya hidup yang
memberi hidup, dan kita, yang menganggap diri sebagai penderma, hanyalah
saksi.“ ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar