Selasa, 31 Juli 2012

Darurat Tahu Tempe


Darurat Tahu Tempe
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi III DPR/ Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
SUARA MERDEKA, 31 Juli 2012


DARI persoalan tahu tempe bisa dimunculkan penjelasan bahwa agenda politik ekonomi pemerintahan saat ini benar-benar tidak fokus. Akibatnya, percepatan pembangunan infrastruktur masih menjadi wacana, sektor agraria sarat konflik, minim kawasan industri, hingga gagal melindungi kebutuhan pangan rakyat.

Dari kasus mogok produksi tempe itu pula layak dimunculkan pertanyaan mengenai arah politik ekonomi dan kapabalitas pemerintah mengelola ekonomi negara. Ini bukan pertanyaan baru, tetapi patut dimunculkan lagi karena kinerja ekonomi negara tak kunjung membaik.

Statitistik memang memperlihatkan pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi angka itu tidak mampu meningkatkan kesejahteraan warga miskin. Pun, tak mampu menyediakan lapangan kerja dalam jumlah sesuai skala pertumbuhan yang tinggi itu.

Tim ekonomi pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono mencoba unjuk kebolehan dengan menggagas program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yang merancang enam koridor ekonomi, meliputi Koridor Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, serta Koridor Papua dan Kepulauan Maluku.

Per konsep, MP3EI terkesan oke banget. Mampukah pemerintahan ini mewujudkannya? Inilah tantangannya. Soalnya, kalau mengurusi pengadaan bahan baku tahu tempe (kedelai) saja bisa berantakan seperti sekarang, banyak orang akan mempertanyakan kapabilitas pemerintah mewujudkan MP3EI itu. Keraguan ini bukannya tanpa alasan, melainkan diperkuat oleh sejumlah fakta.

Kedelai kini menjadi masalah serius karena revitalisasi sektor pertanian dan tanaman pangan yang dicanangkan sejak 2004 hingga kini masih berwujud konsep. Fakta lainnya tentang infrastruktur. Presiden mengakui bahwa infrastruktur di dalam negeri masih minim.

’’Saya akui, infrastruktur di dalam negeri masih minim," kata Presiden pada sidang kabinet terbatas di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Jumat (27/7).

Menurut Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, untuk membangun semua kebutuhan infrastruktur, dibutuhkan dana Rp 1,786 triliun untuk membangun infrastruktur listrik dan energi, pembangunan jalan baru, serta rel kereta api dan proyek lainnya. Peran swasta sangat signifikan karena keterbatasan dana pemerintah.

Tidak Fokus

Tahun ini, pemerintah hanya bisa mengalokasikan Rp 204,7 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Minat swasta, baik lokal maupun asing, cukup tinggi. Tapi, pemerintah lagi-lagi gagal mewujudkan iklim investasi yang kondusif. Klaster industri yang dirancang dalam MP3EI tidak mungkin terwujud jika infrastruktur dalam negeri masih minim.  

Kesimpulannya, kinerja pemerintahan masih sangat mengecewakan. Dari agenda pembangunan infrastruktur, revitalisasi sektor pertanian dan tanaman pangan, sampai agenda pengamanan pangan rakyat, semuanya masih diselimuti masalah yang sangat serius.

Sampai pada kasus mogok produksi tahu-tempe. Kalau alasannya kekeringan di AS, bukankah masalah ini bisa diprediksi? Kalau Kementerian Perdagangan RI fokus mengelola stok kedelai, potensi kekeringan di AS otomatis masuk dalam kalkulasi, sehingga stok kedelai bisa diperbesar sebelum kekeringan di AS terjadi.

Namun, karena tidak fokus mengelola stok kedelai dan menyerahkannya kepada kartel, kekeringan di AS tidak dikalkulasi.

Tentu saja muncul pertanyaan; apa saja yang dikerjakan Kementerian Perdagangan RI sehingga faktor kekeringan di AS sama sekali tidak diprediksi? Tentu akan konyol kalau menilai kementerian itu tidak kapabel.

Bagaimana memaknai kasus terhentinya produksi tahu tempe baru-baru ini? Suka tidak suka, itu adalah bukti paling sahih kegagalan politik ekonomi pemerintahan SBY melindungi kebutuhan pangan rakyat. Pangan rakyat tidak terproteksi karena pemerintah tidak militan mengejar target revitalisasi sektor pertanian dan tanaman pangan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar