Darurat
Tahu Tempe
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi III DPR/
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
SUARA
MERDEKA, 31 Juli 2012
DARI persoalan tahu
tempe bisa dimunculkan penjelasan bahwa agenda politik ekonomi pemerintahan
saat ini benar-benar tidak fokus. Akibatnya, percepatan pembangunan
infrastruktur masih menjadi wacana, sektor agraria sarat konflik, minim kawasan
industri, hingga gagal melindungi kebutuhan pangan rakyat.
Dari kasus mogok
produksi tempe itu pula layak dimunculkan pertanyaan mengenai arah politik
ekonomi dan kapabalitas pemerintah mengelola ekonomi negara. Ini bukan
pertanyaan baru, tetapi patut dimunculkan lagi karena kinerja ekonomi negara
tak kunjung membaik.
Statitistik memang
memperlihatkan pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi angka itu tidak mampu
meningkatkan kesejahteraan warga miskin. Pun, tak mampu menyediakan lapangan
kerja dalam jumlah sesuai skala pertumbuhan yang tinggi itu.
Tim ekonomi
pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono mencoba unjuk kebolehan dengan
menggagas program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI), yang merancang enam koridor ekonomi, meliputi Koridor
Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, serta Koridor
Papua dan Kepulauan Maluku.
Per konsep, MP3EI
terkesan oke banget. Mampukah
pemerintahan ini mewujudkannya? Inilah tantangannya. Soalnya, kalau mengurusi
pengadaan bahan baku tahu tempe (kedelai) saja bisa berantakan seperti
sekarang, banyak orang akan mempertanyakan kapabilitas pemerintah mewujudkan
MP3EI itu. Keraguan ini bukannya tanpa alasan, melainkan diperkuat oleh
sejumlah fakta.
Kedelai kini menjadi
masalah serius karena revitalisasi sektor pertanian dan tanaman pangan yang
dicanangkan sejak 2004 hingga kini masih berwujud konsep. Fakta lainnya tentang
infrastruktur. Presiden mengakui bahwa infrastruktur di dalam negeri masih
minim.
’’Saya akui,
infrastruktur di dalam negeri masih minim," kata Presiden pada sidang
kabinet terbatas di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Jumat (27/7).
Menurut Kamar Dagang
dan Industri (Kadin) Indonesia, untuk membangun semua kebutuhan infrastruktur,
dibutuhkan dana Rp 1,786 triliun untuk membangun infrastruktur listrik dan
energi, pembangunan jalan baru, serta rel kereta api dan proyek lainnya. Peran
swasta sangat signifikan karena keterbatasan dana pemerintah.
Tidak
Fokus
Tahun ini, pemerintah
hanya bisa mengalokasikan Rp 204,7 triliun untuk pembangunan infrastruktur.
Minat swasta, baik lokal maupun asing, cukup tinggi. Tapi, pemerintah lagi-lagi
gagal mewujudkan iklim investasi yang kondusif. Klaster industri yang dirancang
dalam MP3EI tidak mungkin terwujud jika infrastruktur dalam negeri masih minim.
Kesimpulannya,
kinerja pemerintahan masih sangat mengecewakan. Dari agenda pembangunan
infrastruktur, revitalisasi sektor pertanian dan tanaman pangan, sampai agenda
pengamanan pangan rakyat, semuanya masih diselimuti masalah yang sangat serius.
Sampai pada kasus
mogok produksi tahu-tempe. Kalau alasannya kekeringan di AS, bukankah masalah
ini bisa diprediksi? Kalau Kementerian Perdagangan RI fokus mengelola stok
kedelai, potensi kekeringan di AS otomatis masuk dalam kalkulasi, sehingga stok
kedelai bisa diperbesar sebelum kekeringan di AS terjadi.
Namun, karena tidak
fokus mengelola stok kedelai dan menyerahkannya kepada kartel, kekeringan di AS
tidak dikalkulasi.
Tentu saja muncul
pertanyaan; apa saja yang dikerjakan Kementerian Perdagangan RI sehingga faktor
kekeringan di AS sama sekali tidak diprediksi? Tentu akan konyol kalau menilai
kementerian itu tidak kapabel.
Bagaimana memaknai
kasus terhentinya produksi tahu tempe baru-baru ini? Suka tidak suka, itu
adalah bukti paling sahih kegagalan politik ekonomi pemerintahan SBY melindungi
kebutuhan pangan rakyat. Pangan rakyat tidak terproteksi karena pemerintah
tidak militan mengejar target revitalisasi sektor pertanian dan tanaman pangan.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar