Saatnya
Bicara Substansi Puasa
Said Aqil Siradj ; Ketua Umum PB
NU
JAWA
POS, 30 Juli 2012
PERBEDAAN penetuan awal maupun akhir Ramadan sesungguhnya cuma
persoalan kecil. Karena itu, kita tidak perlu kemudian menghabiskan terlalu
banyak energi berkutat di urusan khilafiyah ini saja. Apalagi kalau perdebatan
yang ada sampai kemudian mengaburkan substansi dari ibadah puasa itu sendiri.
Jadi, oke, yang menggunakan hisab benar. Karena, di Alquran memang ada. Tapi, yang menitikberatkan pada rukyat juga benar. Hal itu mengingat dasar metode ini juga jelas.
Namun, bagi kami, warga Nahdlatul Ulama, pertimbangan menentukan awal maupun akhir Ramadan tidak cukup hanya dengan menggunakan metode hisab. Sebab, di QS Al Baqarah ayat189: "Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit, katakanlah: bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia ..." bukanlah sebuah perintah. Keberadaannya hanya menginformasikan bahwa ada perjalanan bulan supaya manusia mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu (hisab).
Berbeda, bagi warga NU, metode menentukan awal atau akhir Ramadan dengan rukyat adalah sudah merupakan perintah. "Berpuasalah kamu berdasar melihat hilal (bulan) dan berlebaranlah kamu berdasar melihat bulan. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkan" (HR Bukhari dan Muslim).
Selain itu, bagi kami, rukyat kami gunakan juga karena didukung fakta sejarah. Selama sepuluh tahun puasa Ramadan, Rasulullah diriwayatkan selalu menggunakan rukyat. Kemudian, ketika Sayyidina Abu Bakar menjadi khalifah selama dua tahun, sahabat Nabi ini juga selalu pakai rukyat. Lantas, berturut-turut, Sayyidina Umar (sepuluh tahun jadi khalifah), Sayyidina Utsman (12 tahun menjadi khalifah), hingga Sayyidina Ali (5 tahun menjadi khalifah) juga memakai rukyat.
Lalu, ada yang mengkritik bahwa NU tidak konsisten. NU hanya menggunakan rukyat untuk menghitung awal bulan puasa dan Lebaran, sedangkan bulan-bulan lain tetap memakai hisab. Maka, sekali lagi jawabannya, karena juklak dan perintahnya memang hanya untuk puasa Ramadan. Bulan-bulan lain, termasuk misalnya Dzulhijjah, tidak ada perintah itu.
Tapi, yang pasti, meski kami yakin kebenaran metode rukyat adalah kebenaran plus, penggunaan metode hisab juga tetaplah benar. Karena sudah sama-sama benar, sudah sepatutnyalah kita dialihkan pada substansi puasa itu sendiri.
Yaitu bahwa bulan puasa atau bulan Ramadan adalah syahrul jihad, syahrul ijtihad, dan sekaligus syahrul mujahadah. Yaitu bulan berjuang (fisik), bulan berpikir (bertafakkur dan berkontempelasi), serta bulan membangun spiritualitas.
Sebagai syahrul jihad, fakta sejarah sudah berulang-ulang membuktikan kejadian besar yang dimenangkan Islam itu terjadi pada bulan Ramadan. Mulai dari turunnya Alquran, Perang Badar, Fathkhul (penaklukan) Makkah pada tahun ke-8 Hijriah, dan masuknya Islam ke Andalusia (Spanyol) tahun ke-92 Hijriah. Mesir mengalahkan Israel pertama juga terjadi pada Ramadan tahun 1973. Termasuk, Indonesia yang meraih kemerdekaan juga pada saat Ramadan.
Jadi, kesimpulannya, umat Islam disuruh berpuasa, tapi sejatinya sedang mendapat kekuatan fisik luar biasa. Sebab, seseorang yang mengendalikan dirinya sesungguhnya merupakan orang yang menang dan mendapat kebesaran. Sebaliknya, orang yang kalah adalah mereka yang selalu menyerah pada hawa nafsunya.
Selanjutnya, sebagai syahrul ijtihad, Ramadan memberikan kesempatan yang besar pada kita semua untuk mencerdaskan diri. Terkait hal ini, pada era 1960-1970-an, di pondok-pondok pesantren, marak budaya ngaji pasaran. Kitab-kitab besar, semisal dari Bukhori dan Muslim, sengaja dibedah.
Pesan bahwa Ramadan seharusnya membawa pencerdasan juga ditandai dengan turunnya Alquran di bulan ini. Ayat pertama yang turun, yaitu iqra', sepatutnya bukan hanya dipahami sebagai sekadar membaca. Tapi, juga memahami dan menggali semua sari ilmu. Walhasil, Ramadan seharusnya menjadi titik awal membangun kecerdasan intelektual Islam.
Yang terakhir, Ramadan adalah syahrul mujahadah. Membangun spiritualitas yang mulia. Membangun jiwa yang sabar dan ramah. Selanjutnya, membuang sifat takabur, sombong, egoistis, pelit, dan sebagainya.
Untuk kepentingan yang lebih luas, setelah puasa, umat Islam Indonesia harus berubah menuju perbaikan. Bangsa ini harus menjadi bangsa yang sabar. Bangsa yang ramah dan menghormati perbedaan. Jangan malah bangsa ini menjadi bangsa yang ganas dan menakutkan.
Hanya dengan menyelami tiga dimensi bulan Ramadan di atas, puasa kita insya Allah akan memiliki nilai. ●
Jadi, oke, yang menggunakan hisab benar. Karena, di Alquran memang ada. Tapi, yang menitikberatkan pada rukyat juga benar. Hal itu mengingat dasar metode ini juga jelas.
Namun, bagi kami, warga Nahdlatul Ulama, pertimbangan menentukan awal maupun akhir Ramadan tidak cukup hanya dengan menggunakan metode hisab. Sebab, di QS Al Baqarah ayat189: "Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit, katakanlah: bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia ..." bukanlah sebuah perintah. Keberadaannya hanya menginformasikan bahwa ada perjalanan bulan supaya manusia mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu (hisab).
Berbeda, bagi warga NU, metode menentukan awal atau akhir Ramadan dengan rukyat adalah sudah merupakan perintah. "Berpuasalah kamu berdasar melihat hilal (bulan) dan berlebaranlah kamu berdasar melihat bulan. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkan" (HR Bukhari dan Muslim).
Selain itu, bagi kami, rukyat kami gunakan juga karena didukung fakta sejarah. Selama sepuluh tahun puasa Ramadan, Rasulullah diriwayatkan selalu menggunakan rukyat. Kemudian, ketika Sayyidina Abu Bakar menjadi khalifah selama dua tahun, sahabat Nabi ini juga selalu pakai rukyat. Lantas, berturut-turut, Sayyidina Umar (sepuluh tahun jadi khalifah), Sayyidina Utsman (12 tahun menjadi khalifah), hingga Sayyidina Ali (5 tahun menjadi khalifah) juga memakai rukyat.
Lalu, ada yang mengkritik bahwa NU tidak konsisten. NU hanya menggunakan rukyat untuk menghitung awal bulan puasa dan Lebaran, sedangkan bulan-bulan lain tetap memakai hisab. Maka, sekali lagi jawabannya, karena juklak dan perintahnya memang hanya untuk puasa Ramadan. Bulan-bulan lain, termasuk misalnya Dzulhijjah, tidak ada perintah itu.
Tapi, yang pasti, meski kami yakin kebenaran metode rukyat adalah kebenaran plus, penggunaan metode hisab juga tetaplah benar. Karena sudah sama-sama benar, sudah sepatutnyalah kita dialihkan pada substansi puasa itu sendiri.
Yaitu bahwa bulan puasa atau bulan Ramadan adalah syahrul jihad, syahrul ijtihad, dan sekaligus syahrul mujahadah. Yaitu bulan berjuang (fisik), bulan berpikir (bertafakkur dan berkontempelasi), serta bulan membangun spiritualitas.
Sebagai syahrul jihad, fakta sejarah sudah berulang-ulang membuktikan kejadian besar yang dimenangkan Islam itu terjadi pada bulan Ramadan. Mulai dari turunnya Alquran, Perang Badar, Fathkhul (penaklukan) Makkah pada tahun ke-8 Hijriah, dan masuknya Islam ke Andalusia (Spanyol) tahun ke-92 Hijriah. Mesir mengalahkan Israel pertama juga terjadi pada Ramadan tahun 1973. Termasuk, Indonesia yang meraih kemerdekaan juga pada saat Ramadan.
Jadi, kesimpulannya, umat Islam disuruh berpuasa, tapi sejatinya sedang mendapat kekuatan fisik luar biasa. Sebab, seseorang yang mengendalikan dirinya sesungguhnya merupakan orang yang menang dan mendapat kebesaran. Sebaliknya, orang yang kalah adalah mereka yang selalu menyerah pada hawa nafsunya.
Selanjutnya, sebagai syahrul ijtihad, Ramadan memberikan kesempatan yang besar pada kita semua untuk mencerdaskan diri. Terkait hal ini, pada era 1960-1970-an, di pondok-pondok pesantren, marak budaya ngaji pasaran. Kitab-kitab besar, semisal dari Bukhori dan Muslim, sengaja dibedah.
Pesan bahwa Ramadan seharusnya membawa pencerdasan juga ditandai dengan turunnya Alquran di bulan ini. Ayat pertama yang turun, yaitu iqra', sepatutnya bukan hanya dipahami sebagai sekadar membaca. Tapi, juga memahami dan menggali semua sari ilmu. Walhasil, Ramadan seharusnya menjadi titik awal membangun kecerdasan intelektual Islam.
Yang terakhir, Ramadan adalah syahrul mujahadah. Membangun spiritualitas yang mulia. Membangun jiwa yang sabar dan ramah. Selanjutnya, membuang sifat takabur, sombong, egoistis, pelit, dan sebagainya.
Untuk kepentingan yang lebih luas, setelah puasa, umat Islam Indonesia harus berubah menuju perbaikan. Bangsa ini harus menjadi bangsa yang sabar. Bangsa yang ramah dan menghormati perbedaan. Jangan malah bangsa ini menjadi bangsa yang ganas dan menakutkan.
Hanya dengan menyelami tiga dimensi bulan Ramadan di atas, puasa kita insya Allah akan memiliki nilai. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar