Ironi
Strategi Pangan Nasional
Effnu Subiyanto ; Mahasiswa Doktor Ekonomi Unair
MEDIA
INDONESIA, 26 Juli 2012
PERAJIN
tahu dan tempe kembali bergolak karena harga kedelai melonjak tinggi sampai
dengan Rp7.400-Rp8.000 per kg, atau kenaikan sampai dengan 36,4% dari harga
sebelumnya. Produksi kedelai secara nasional per tahun hanya 900 ribu ton
sementara jumlah permintaan mencapai 3 juta ton. Para perajin tahu dan tempe
itu merencanakan mogok berproduksi sampai kenaikan harga bahan pertanian itu
dapat dikendalikan pemerintah.
Sebetulnya
tidak hanya komoditas kedelai yang tidak menjadi tanda bahaya bagi pemerintah.
Nasib komoditas strategis produk pertanian lainnya, yakni beras dan jagung,
bahkan juga merana. Secara keseluruhan strategi pangan nasional memang
amburadul. Dampaknya kini semua komoditas pangan naik sekitar 30%-50%
bertepatan dengan momentum Ramadan dan sebentar lagi Lebaran 2012.
Dari
sisi pemerintah, fakta konkret ketidakberpihakan pemerintah kepada petani
diwujudkan dalam bentuk UU Penanaman Modal No 25/2007 dan UU Minerba No 4/2009.
Diktumnya jelas bertentangan dengan ketentuan dalam UUPA No 5/1960, yakni dalam
durasi yang mengatur lama waktu diizinkan menggunakan tanah dan luasan tanah.
Pasal
22 dalam UUPM menyebutkan pemerintah mengakomodasi investasi dengan memberikan
fasilitas HGU, HGB, dan hak pakai masingmasing sampai 95 tahun, 80 tahun, dan
70 tahun dan dapat diperpanjang. Padahal Pasal 29 UUPA hanya membolehkan
maksimal 25 tahun untuk HGU, 30 tahun HGB (Pasal 35), dan dalam waktu terbatas
untuk hak pakai (Pasal 41).
Luasan
untuk investasi juga diterabas seperti dalam UU Minerba, investor dimanjakan
dengan pemberian fasilitas lahan dalam satuan terkecil 5.000 hektare sampai
dengan 100 ribu hektare. Baik ketika masih eksplorasi apalagi saat sudah
berproduksi, baik di bidang penambangan batu bara dan bukan batu bara. Jika
dibandingkan dengan luasan tanah dalam UUPA yang bisa dikelola maksimal hanya
25 hektare, jelas itu pelanggaran undang-undang.
Kondisi
sektor infrastruktur yang mendukung ikon sebagai negara agraris sangat luar
biasa buruk. Irigasi tidak mendukung, penelitian benih, pupuk, bimbingan petani
saat masa tumbuh tanaman, pengendalian hama, kontingensi seperti musim
kekeringan, pascapanen, sampai dengan pemasaran dilakukan swakelola oleh petani
sendiri.
Tanggung jawab petani kita luar biasa berat karena harus mencukupi k
kebutuhan pangan seluruh penduduk yang berjumlah 240 juta jiwa ini.
Dukungan
APBN-P pada tahun ini untuk sektor pertanian hanya Rp14,213 triliun, atau
justru turun dari pagu anggaran tahun lalu sebesar Rp16,7 triliun. Anggaran itu
ditujukan untuk subsidi pupuk Rp14 tri liun, subsidi benih Rp129 miliar, dan
subsidi padi hibrida Rp84 miliar. Kendati dana dikoreksi habis-habisan, kaum
petani itu dipaksa untuk memproduksi beras 41 juta ton atau setara dengan gabah
kering giling 74,1 juta ton. Jumlah itu meningkat drastis jika dibandingkan
dengan kebutuhan beras tahun lalu sebesar minimal 33 juta ton. Dengan harga
beras yang beras yang kini paling murah Rp8.000 per kilogram, multiplier effect anggaran petani
Rp14,213 triliun ternyata mampu membuat nilai tambah hingga Rp328 triliun lebih
(2.308%!).
Padahal
luas lahan perta nian setiap tahun hilang minimal 100 ribu hektare karena
berubah peruntukan, misalnya untuk perumahan dan industri. Laporan terbaru BPS
luas lahan yang hilang itu kini 110 ribu hektare per tahun, padahal pemerintah
(Kementan) hanya mampu membuat lahan baru 50 ribu hektare per tahun.
Total
luas lahan pertanian Indonesia sekarang 19,5 juta hektare yang digunakan untuk
memproduksi enam produk pertanian, yaitu padi, jagung, kedelai, kacang tanah,
kacang hijau, dan ubi kayu. Lahan untuk padi sendiri kurang lebih 12,8 juta
hektare, arti nya kemampuan panen nya kemampuan panen padi petani Indonesia
sungguh perlu dibantu karena rata-rata hanya mampu panen padi kurang dari 3 ton
per hektare. Petani padi Thailand, misalnya, sudah mampu berproduksi 12 ton per
hektare dan minimal mampu tiga kali panen dalam setahun.
Di
samping lemah dalam dukungan rekayasa bioteknologi, jumlah petani kita juga
mengecil sepanjang tahun. Pada 2009 jumlah petani diperkirakan 46,7 juta orang,
kini tentu mengecil karena 1,8 juta orang sudah beralih profesi menjadi TKI
atau TKW.
Redefinisi
Urgensi
untuk segera merevitalisasi sektor pertanian sebetulnya sudah sangat terlambat
dilakukan. Mitigasi itu seharusnya sudah dilakukan lima tahun silam. Namun,
entah kenapa pemerintah selalu terlambat mengantisipasinya.
Jumlah penduduk sudah melejit 237 juta jiwa (BPS: 2010) sekarang mungkin sudah
240 juta jiwa dan potensial akan menjadi masalah sosial karena krisis pangan.
Bukan
zamannya petani maju sendiri berkompetisi global melawan produk pertanian impor
dengan pengetahuan ala kadarnya, bahkan tanpa proteksi pemerintah. Kemajuan
rekayasa bioteknologi pertanian harus diimbangi strategi yang sama.
Revitalisasi itu kini bukan dalam konsep tradisional lagi.
Luas
negara Thailand hanya seperempat luas negara Indonesia, tetapi kemampuan mereka
dalam surplus produksi pertanian tidak terlepas dari perlindungan dan bimbingan
revitalisasi pemerintah mereka. Lahan pertanian dikembangkan pemerintah dan
malah lebih besar daripada Indonesia, kini total lahan pertanian mereka 20,4
juta hektare. Infrastruktur irigasi dikembangkan dalam skala besar sejak 2001
dan tanaman dengan varietas unggul sudah ditemukan.
Dukungan
anggaran sangat serius diberikan pemerintah Thailand. Tahun ini dari total APBN
2,07 triliun baht, 10% dialokasikan untuk Departemen Pertanian (Suphannachart:
2010). Bandingkan dengan dukungan APBN-P kita yang hanya 1,01% kepada
Kementerian Pertanian.
Potensi
krisis pangan sudah saatnya diakomodasikan dalam strategi anggaran dan
pemerintah harus serius meng alokasikan waktu dan tenaga untuk khusus menangani
persoalan itu. Diperkirakan, 25 tahun ke depan akan terjadi krisis pangan dan
itu tidak bisa dipikirkan setengah-setengah atau ala kadarnya.
Negeri
Indonesia sudah terlalu banyak kehilangan identitas, bahkan predikat sebagai
negara agraris tanpa disadari sudah lama hilang. Generasi muda tidak lagi sudi
menjadi petani, sekolah pertanian tidak diminati, sarjana pertanian tidak
eksis, bekerja di sawah apalagi. Lebih baik menghirup udara tercemar di
perkotaan dengan menjadi TKI atau TKW daripada berkulit legam karena mencangkul
di sawah dan ladang.
Itulah
akibatnya jika pemerintah tidak memberi perhatian kepada petani, lupa bahwa
beras yang dimakan setiap hari ialah hasil keringat mereka. Situasi itu sungguh
sangat menyedihkan karena faktanya negeri ini dipimpin seorang doktor di bidang
pertanian. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar