Studi
Banding ke Neraka
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum
Konstitusi
SINDO,
28 Juli 2012
Saya sudah melakukannya secara diam-diam agar kedatangan saya ke
Jerman beberapa pekan lalu tidak diketahui oleh mahasiswa kita di negara
tersebut. Saat itu saya berkunjung ke Jerman tidak dalam kapasitas sebagai
pejabat negara, sehingga tidak membawa ajudan atau staf, melainkan hanya berdua
dengan istri.
Memang ketika itu belum lama mencuat berita bahwa kedatangan
rombongan anggota DPR ke Jerman dipersoalkan oleh mahasiswa Indonesia di sana,
bahkan ada yang membacakan petisi penolakan untuk kemudian pergi secara sinis
meninggalkan ruang pertemuan. Saya tidak mau hal itu terjadi pada saya sehingga
kunjungan pribadi itu saya lakukan secara diam-diam saja. Meski begitu ada saja
mahasiswa kita di Jerman yang mendengar kedatangan saya. Buktinya, handphone saya kemasukan sebuah SMS.
“Bapak studi banding tentang apa ke Jerman? Janganlah suka berjalan-jalan atas nama studi banding dengan menghamburkan uang negara,” bunyi SMS itu. Saya pun menjawab dengan pendek, saya tidak sedang studi banding, tapi ada urusan lain yang sifatnya pribadi. Rupanya masalah studi banding yang sering dilakukan oleh pejabat-pejabat, terutama oleh DPR, sudah menanamkan kesan jelek di kalangan para mahasiswa kita di luar negeri.
Bahkan secara diam-diam, dan tak terkatakan, kerap menjengkelkan para diplomat dan pegawai di kedutaan besar kita di negara-negara yang dijadikan tempat studi banding. “Ngrepotin dan ribet,” kata mereka. Saat saya berkunjung ke Maroko pada awal Juli lalu, seorang mahasiswa Indonesia di sana juga menanyakan hal yang sama dengan pertanyaan mahasiswa kita yang di Jerman itu. “Bapak studi banding, ya?” tanyanya.
Saya jawab bahwa saya ke Maroko bukan untuk studi banding, tetapi diundang oleh Presiden Mahkamah Konstitusi Maroko untuk berpidato di forum Kongres II Asosiasi Mahkamah Konstitusi Negara-negara yang Berbahasa Prancis. “Saya kira studi banding juga. Kan, banyak pejabat-pejabat kita yang suka studi banding tanpa jelas mau membandingkan apa atau ingin tahu tentang apa,” kata mahasiswa itu lagi sambil meminta foto bareng.
“Pak, tolong beritahu kepada DPR bahwa ada temuan ilmiah baru yang bisa dijadikan objek studi banding,” kata mahasiswa yang satunya dengan sinis. Ketika saya tanya penemuan ilmiah baru tentang apa, sang mahasiswa itu menjawab sambil tersenyum, penemuan itu adalah bahwa panas api neraka sama dengan inti panas bumi. “Ada baiknya juga bapak-bapak anggota DPR di Senayan melakukan studi banding ke neraka, mumpung ada penemuan baru,” kata mahasiswa itu.
Sialan, ngledek benar anak ini. Masa DPR disuruh studi banding ke neraka. Masalah studi banding, terutama yang dilakukan oleh DPR, memang selalu mendapat sorotan dan serangan dari masyarakat. Soalnya sering studi banding itu tak punya bobot ilmiah. Namanya “studi” tetapi pertanyaan yang harus dicari jawabannya sangat remeh-temeh, sama sekali tak layak disebut sebagai pertanyaan sebuah studi.
Laporan hasilnya pun lebih sering tak bisa disebut sebagai laporan hasil studi, melainkan sekadar laporan perjalanan yang tak terlalu penting. Pernah ada laporan studi banding yang dinyatakan di media massa bahwa di negara yang telah dikunjungi ternyata para pegawai dan anggota parlemennya sudah diabsen dengan timer machine, sehingga kedisiplinannya bisa terawasi secara akurat.
Ada juga laporan studi banding bahwa kalau anggota parlemen di negara maju selalu berhubungan dengan para konstituennya melalui komunikasi elektronik dan brosur-brosur program yang dicetak secara lux. Walah, untuk mendapat informasi seperti itu saja harus studi banding ke luar negeri. Itu kan sudah banyak di internet, di film-film yang disiarkan di televisi-televisi kita, dan di buku-buku atau majalah-majalah politik.
Masa, kalau hanya mau dapat informasi begitu, harus studi banding beramai-ramai dengan biaya sampai ratusan juta atau miliaran rupiah. Saat menjadi anggota DPR (2004–2008) saya pernah menggagalkan usul studi banding ke Amerika dan Eropa yang hampir disepakati. Saat itu Komisi III DPR sedang ditugasi untuk menyusun UU Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Semua anggota Komisi III hampir bersepakat pergi studi banding dulu ke Amerika dan Eropa sebelum membahas RUU LPSK itu.
Saya pun menolak usul itu dengan mempertanyakan apa yang ingin diketahui dari studi banding itu. Setelah mereka menyampaikan masalah yang akan digali satu persatu, maka saya katakan, kalau hanya pertanyaan itu yang akan dicari jawabnya, tak perlu studi banding dengan kunjungan ke berbagai negara.
“Cukuplah kita mengundang kedutaan besar negara-negara yang memiliki LPSK untuk berceramah di sini. Kita juga bisa mengundang pusat studi kawasan yang biasanya ada di kampus-kampus besar seperti UGM dan UI untuk menjelaskan soal itu. Pasti bisa, lebih praktis, dan lebih mudah dipahami, tak usah pakai interpreter segala,” kata saya.
Meski semula ada yang membantah usul saya, karena anggaran studi banding sudah ada untuk setiap pembahasan rancangan undang-undang, tetapi Pejabat Ketua Komisi III waktu itu, Akil Mochtar, menyatakan setuju dengan saya dan mengetokkan palu bahwa untuk pembahasan RUU LPSK tak diperlukan studi banding ke luar negeri. Komisi III hanya mengundang narasumber dari beberapa kedubes negara sahabat dan beberapa akademisi dalam negeri yang paham soal itu.
Memang saat ada ceramah dari narasumber yang diundang ke DPR itu hanya beberapa gelintir yang mau hadir. Bisalah dicatat bahwa UU LPSK yang kita miliki sekarang ini adalah undang-undang yang ketika dibahas tak mengeluarkan biaya sepeser pun untuk studi banding ke luar negeri. Toh, hasilnya bagus juga; minimal tak lebih jelek daripada undang-undang lain yang disusun dengan studi banding yang mengeluarkan biaya besar.
Kita tentu sependapat, kunjungan anggota-anggota DPR ke luar negeri itu diperlukan dan bagus agar DPR kita tidak seperti katak dalam tempurung. Kunjungan ke luar negeri itu juga penting agar DPR kita tidak dianggap minder karena tidak bisa berkomunikasi secara setara dengan parlemen di negara-negara lain seperti pada masa lalu. Hanya, kalau mau kunjungan ke luar negeri haruslah dengan program yang bermutu.
Harus sesuai dengan martabat DPR sebagai pejabat negara, bukan seperti murid taman kanak-kanak yang hanya kagum dan melongo-longo saat berhadapan dengan parlemen negara lain. Makanya kalau mau berkunjung ke luar negeri sebaiknya lebih ditekankan pada pembicaraan tentang hubungan bilateral yang dilakukan oleh delegasi terbatas yang qualified.
Kalaulah memang harus studi banding, ya boleh juga asalkan kata “studi” itu dijaga keanggunannya sebagai nomenklatur ilmiah, jangan hanya dipakai dalam arti mau pelesiran mumpung bisa diongkosi oleh negara. ●
“Bapak studi banding tentang apa ke Jerman? Janganlah suka berjalan-jalan atas nama studi banding dengan menghamburkan uang negara,” bunyi SMS itu. Saya pun menjawab dengan pendek, saya tidak sedang studi banding, tapi ada urusan lain yang sifatnya pribadi. Rupanya masalah studi banding yang sering dilakukan oleh pejabat-pejabat, terutama oleh DPR, sudah menanamkan kesan jelek di kalangan para mahasiswa kita di luar negeri.
Bahkan secara diam-diam, dan tak terkatakan, kerap menjengkelkan para diplomat dan pegawai di kedutaan besar kita di negara-negara yang dijadikan tempat studi banding. “Ngrepotin dan ribet,” kata mereka. Saat saya berkunjung ke Maroko pada awal Juli lalu, seorang mahasiswa Indonesia di sana juga menanyakan hal yang sama dengan pertanyaan mahasiswa kita yang di Jerman itu. “Bapak studi banding, ya?” tanyanya.
Saya jawab bahwa saya ke Maroko bukan untuk studi banding, tetapi diundang oleh Presiden Mahkamah Konstitusi Maroko untuk berpidato di forum Kongres II Asosiasi Mahkamah Konstitusi Negara-negara yang Berbahasa Prancis. “Saya kira studi banding juga. Kan, banyak pejabat-pejabat kita yang suka studi banding tanpa jelas mau membandingkan apa atau ingin tahu tentang apa,” kata mahasiswa itu lagi sambil meminta foto bareng.
“Pak, tolong beritahu kepada DPR bahwa ada temuan ilmiah baru yang bisa dijadikan objek studi banding,” kata mahasiswa yang satunya dengan sinis. Ketika saya tanya penemuan ilmiah baru tentang apa, sang mahasiswa itu menjawab sambil tersenyum, penemuan itu adalah bahwa panas api neraka sama dengan inti panas bumi. “Ada baiknya juga bapak-bapak anggota DPR di Senayan melakukan studi banding ke neraka, mumpung ada penemuan baru,” kata mahasiswa itu.
Sialan, ngledek benar anak ini. Masa DPR disuruh studi banding ke neraka. Masalah studi banding, terutama yang dilakukan oleh DPR, memang selalu mendapat sorotan dan serangan dari masyarakat. Soalnya sering studi banding itu tak punya bobot ilmiah. Namanya “studi” tetapi pertanyaan yang harus dicari jawabannya sangat remeh-temeh, sama sekali tak layak disebut sebagai pertanyaan sebuah studi.
Laporan hasilnya pun lebih sering tak bisa disebut sebagai laporan hasil studi, melainkan sekadar laporan perjalanan yang tak terlalu penting. Pernah ada laporan studi banding yang dinyatakan di media massa bahwa di negara yang telah dikunjungi ternyata para pegawai dan anggota parlemennya sudah diabsen dengan timer machine, sehingga kedisiplinannya bisa terawasi secara akurat.
Ada juga laporan studi banding bahwa kalau anggota parlemen di negara maju selalu berhubungan dengan para konstituennya melalui komunikasi elektronik dan brosur-brosur program yang dicetak secara lux. Walah, untuk mendapat informasi seperti itu saja harus studi banding ke luar negeri. Itu kan sudah banyak di internet, di film-film yang disiarkan di televisi-televisi kita, dan di buku-buku atau majalah-majalah politik.
Masa, kalau hanya mau dapat informasi begitu, harus studi banding beramai-ramai dengan biaya sampai ratusan juta atau miliaran rupiah. Saat menjadi anggota DPR (2004–2008) saya pernah menggagalkan usul studi banding ke Amerika dan Eropa yang hampir disepakati. Saat itu Komisi III DPR sedang ditugasi untuk menyusun UU Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Semua anggota Komisi III hampir bersepakat pergi studi banding dulu ke Amerika dan Eropa sebelum membahas RUU LPSK itu.
Saya pun menolak usul itu dengan mempertanyakan apa yang ingin diketahui dari studi banding itu. Setelah mereka menyampaikan masalah yang akan digali satu persatu, maka saya katakan, kalau hanya pertanyaan itu yang akan dicari jawabnya, tak perlu studi banding dengan kunjungan ke berbagai negara.
“Cukuplah kita mengundang kedutaan besar negara-negara yang memiliki LPSK untuk berceramah di sini. Kita juga bisa mengundang pusat studi kawasan yang biasanya ada di kampus-kampus besar seperti UGM dan UI untuk menjelaskan soal itu. Pasti bisa, lebih praktis, dan lebih mudah dipahami, tak usah pakai interpreter segala,” kata saya.
Meski semula ada yang membantah usul saya, karena anggaran studi banding sudah ada untuk setiap pembahasan rancangan undang-undang, tetapi Pejabat Ketua Komisi III waktu itu, Akil Mochtar, menyatakan setuju dengan saya dan mengetokkan palu bahwa untuk pembahasan RUU LPSK tak diperlukan studi banding ke luar negeri. Komisi III hanya mengundang narasumber dari beberapa kedubes negara sahabat dan beberapa akademisi dalam negeri yang paham soal itu.
Memang saat ada ceramah dari narasumber yang diundang ke DPR itu hanya beberapa gelintir yang mau hadir. Bisalah dicatat bahwa UU LPSK yang kita miliki sekarang ini adalah undang-undang yang ketika dibahas tak mengeluarkan biaya sepeser pun untuk studi banding ke luar negeri. Toh, hasilnya bagus juga; minimal tak lebih jelek daripada undang-undang lain yang disusun dengan studi banding yang mengeluarkan biaya besar.
Kita tentu sependapat, kunjungan anggota-anggota DPR ke luar negeri itu diperlukan dan bagus agar DPR kita tidak seperti katak dalam tempurung. Kunjungan ke luar negeri itu juga penting agar DPR kita tidak dianggap minder karena tidak bisa berkomunikasi secara setara dengan parlemen di negara-negara lain seperti pada masa lalu. Hanya, kalau mau kunjungan ke luar negeri haruslah dengan program yang bermutu.
Harus sesuai dengan martabat DPR sebagai pejabat negara, bukan seperti murid taman kanak-kanak yang hanya kagum dan melongo-longo saat berhadapan dengan parlemen negara lain. Makanya kalau mau berkunjung ke luar negeri sebaiknya lebih ditekankan pada pembicaraan tentang hubungan bilateral yang dilakukan oleh delegasi terbatas yang qualified.
Kalaulah memang harus studi banding, ya boleh juga asalkan kata “studi” itu dijaga keanggunannya sebagai nomenklatur ilmiah, jangan hanya dipakai dalam arti mau pelesiran mumpung bisa diongkosi oleh negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar