Suap
Jelang Pilkada
Apung Widadi ; Peneliti
Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch
KOMPAS, 26 Juli 2012
Di tengah proses demokrasi
yang mahal, pemilihan umum kepala daerah sering menjadi lahan subur
transaksional antara pengusaha dan calon kepala daerah. Pengusaha memanfaatkan
momentum ini dengan memberi sumbangan dana kampanye yang tidak sedikit.
Setelah si calon jadi, modal
tinggi harus kembali: sumbangan berbuah konsesi. Si pengusaha mendapatkan jatah
pengalokasian anggaran daerah, merampok kekayaan alam, atau dagang promosi
jabatan publik.
Pembuka tulisan ini bukanlah
cerita fiksi belaka, tetapi realitas yang sungguh terjadi. Realitas itu
tergambar cukup jelas dalam kasus yang baru-baru ini terungkap dan ditangani
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus dimaksud tak lain adalah penangkapan
Bupati Buol Amran Batalipu terkait dugaan suap dari pengusaha Jakarta, Hartati
Murdaya Poo, saat momentum Pilkada Kabupaten Buol.
Dalam proses penanganan
kasus tersebut diungkapkan bahwa suap tersebut lebih ditujukan sebagai biaya
untuk memenangkan Amran sebagai petahana, termasuk untuk membayar konsultan
politiknya, Saiful Mujani dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) senilai Rp 300 juta.
Kasus langka yang ditangani
KPK ini cukup menarik di mana diduga suap saat pilkada tersebut dimungkinkan
untuk membantu pemenangan dalam bentuk dana kampanye. Konsesinya jelas, yakni
untuk biaya izin hak guna usaha (HGU) perkebunan Sawit di Kabupaten Buol.
Dana Kampanye
Di Indonesia, relasi dana
kampanye yang tidak wajar dengan pemberian konsesi setelah si calon menjabat
bukan hal baru. Berdasarkan laporan audit independen dana kampanye dari Komisi
Pemilihan Umum (KPU), terungkap adanya aliran dana dari PT Duta Graha Indah
(DGI) senilai Rp 1 miliar kepada salah satu calon presiden/wakil presiden pada
Pemilu Presiden 2009. PT DGI sebagai kontraktor kemudian memenangi proyek pemerintah,
yaitu Wisma Atlet SEA Games senilai Rp 200 miliar yang menjerat Muhammad
Nazaruddin dari PT DGI yang juga bekas bendahara Partai Demokrat.
Dalam konteks pilkada di
daerah, kejadian semacam ini sebenarnya hampir terjadi setiap ada pesta
demokrasi daerah seperti ini. Namun jarang yang terungkap oleh pengawas pemilu
ataupun penegak hukum. Tidak usah jauh-jauh, dalam Pilkada DKI Jakarta saat
ini, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan beberapa pelanggaran dana
kampanye berikut potensi korupsi di dalamnya.
Dalam kajian analisis
laporan dana kampanye Pilkada DKI Jakarta ditemukan beberapa modus pelanggaran
dana kampanye. Pertama, terdapat penyumbang tanpa identitas dan alamat. Bahkan,
untuk sumbangan perseorangan dan dari badan hukum juga terdapat temuan yang
tidak disertai dengan NPWP.
Kedua, jika membandingkan
dana kampanye yang dilaporkan dengan belanja riil kampanye, ternyata terdapat
selisih yang cukup signifikan. Dana yang dilaporkan lebih kecil dibandingkan
dengan belanja riil kampanye pasangan calon.
Ketiga, modus untuk
menghindari peraturan di mana perusahaan maksimal boleh menyumbang Rp 350 juta
dan perseorangan maksimal Rp 5 juta. Untuk itu, biasanya penyumbang akan
memberikan uang secara tunai kepada calon, selanjutnya calon mentransfer uang
dari rekening pribadinya ke rekening dana kampanye. Modus ketiga ini rawan
berpotensi terjadi suap menjelang pilkada di mana calon petahana akan menerima
uang dalam jumlah besar. Konsekuensinya adalah adanya kesepakatan-kesepakatan
tertentu.
Benih Korupsi
Proses investasi dana
kampanye haram oleh pengusaha kepada calon kepala daerah ibarat menanam benih
korupsi. Dana kampanye itu akan berbuah konsesi-konsesi tertentu setelah si
calon menang dan akhirnya negara (baca: rakyat) yang dirugikan.
Sayangnya, belum ada
peraturan yang jelas untuk menjerat secara hukum proses penanaman bibit korupsi
tersebut . Gabungan Penegakan Hukum Terpadu belum pernah sukses menjerat kasus
suap dana kampanye dengan kesepakatan konsesi seperti kasus Buol ini. UU yang
mengatur terkait dana kampanye, yaitu UU Pemilu ataupun UU No 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah, belum tegas mengatur masalah ini, apalagi ancaman sanksi
terkait pelanggaran dana kampanye haram tersebut.
KPK hanya bisa masuk dalam
aspek suapnya, seperti dalam kasus Buol tersebut. Sebab, KPK belum memiliki
dasar aturan hukum untuk menjerat jenis kasus korupsi pemilu semacam dana
kampanye ”haram” ataupun politik uang. Padahal, tahun 2011 pernah muncul wacana
di mana korupsi politik—khususnya pelanggaran pemilu—bisa masuk dalam rezim
antikorupsi yang dimasukkan dalam UU Tindak Pidana Koruposi (Tipikor).
Sayangnya wacana ini tenggelam lagi.
Berkaitan dengan upaya
memberantas korupsi dari akar dan benih-benihnya, maka perlu dicarikan
terobosan agar korupsi pemilu masuk dalam rezim tindak pidana korupsi. Gagasan
ini cukup relevan dengan kondisi saat ini di mana sebagian besar kepala daerah
yang terjerat korupsi awalnya bermula dari utang dana kampanye yang mahal dan
pembayarannya dilakukan dengan cara korupsi.
Gagasan tersebut sebenarnya
bukan sesuatu yang baru. Dalam paper,
Pengaturan Dana Kampanye dan Implikasinya terhadap Korupsi Pemilu, Adnan Topan
Husodo menjelaskan bahwa kasus korupsi di pemilu dikategorikan sebagai bentuk
pidana korupsi dan dirumuskan dalam undang-undang bernama Elections Corrupt and Illegal Conduct Ordinary (ECICO) Chapter 554. Apa saja yang dikategorikan
sebagai korupsi pemilu dijelaskan secara rinci dalam hukum tersebut.
Lalu, sebagai eksekutor
temuan ECICO adalah The Independent
Comission Against Corruption (ICAC)—yaitu semacam ”KPK Indonesia”—di
Hongkong. Jelas disebutkan di dalam aturan itu bahwa proses penegakan hukum
korupsi pemilu tidak lantas terjegal kedaluwarsa atau karena pemilu telah usai
dilaksanakan.
Proses demokrasi untuk
memilih pejabat publik di Hongkong perlu jadi rujukan bagi pemberantasan
korupsi di Indonesia. Kasus korupsi pemilu hendaknya tak hanya diletakkan dalam
rezim pemilu, tetapi lebih progresif lagi, dimasukkan dalam rezim tindak pidana
korupsi sebagai bentuk pencegahan korupsi sejak dini mulai dari benih.
Dalam momentum revisi UU
Tipikor yang sedang berlangsung saat ini, lebih substantif bila DPR memasukkan
kewenangan KPK dalam menangani kasus korupsi pemilu dalam perubahannya daripada
upaya mengebiri KPK dalam penyadapan, pengawasan, dan kewenangannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar