Satyagraha
dan Pembangkangan Sipil
Satrio Wahono ; Pengamat Masalah
Sosial dan Filsafat
SINAR
HARAPAN, 28 Juli 2012
Meski kita menerapkan sejumlah
praktik berdemokrasi, pada kenyataannya bangsa ini tetap mengalami kebangkrutan
luar biasa di banyak lini, sehingga The
Fund for Peace pada Juni 2012 memasukkan Indonesia dalam kategori negara
gagal.
Haruslah diakui, empat belas
tahun upaya reformasi ini ternyata belum membawa perbaikan berarti. Justru,
para elite penguasa yang asyik memperkaya pundi-pundi mereka sendiri sambil
sesekali bertengkar sesama mereka.
Maka itu, satu terobosan luar
biasa diperlukan untuk mendobrak kejumudan perkembangan karakter bangsa ini.
Pendek kata, revolusi menjadi keniscayaan.
Hanya saja, kata ‘revolusi’ tidak
perlu dibayangkan sebagai ajakan melakukan aksi-aksi anarkistis demi
menggerakkan perubahan ke arah lebih baik. Sudah cukup berbagai unjuk rasa,
tapi diterima oleh telinga tuli para elite. Karenanya, lebih baik jika kita
menempuh revolusi damai.
Preseden positif bagi revolusi
damai bisa kita temukan dalam satu konsep filosofis yang punya makna
praksis-politik dahsyat; yakni konsep satyagraha gagasan Mahatma Gandhi,
seorang tokoh bangsa termasyhur India dan dunia.
Berbekal satyagraha inilah,
Gandhi mampu menggentarkan hati pemerintah Inggris sehingga melunakkan berbagai
kebijakan kolonial yang menindas — seperti pengenaan pajak garam — bahkan
sampai memberikan kemerdekaan bagi India.
Mengutip I Wahana Wegig dalam
Dimensi Etis Ajaran Gandhi (1997), satyagraha adalah pencarian kebenaran tanpa
kenal lelah dan suatu ketetapan hati untuk mencapai kebenaran.
Jalan satu-satunya untuk mencapai
tujuan ini adalah ahimsa alias laku kasih dan nonkekerasan untuk menggapai
kebenaran. Artinya, Gandhi mengajar setiap manusia untuk mengabdikan seluruh
hidupnya pada kebenaran semata dan berupaya menyadarkan kesalahan sesama
manusia lewat kesabaran dan simpati mengingat semua manusia pada dasarnya
adalah baik.
Pembangkangan Sipil
Sekilas, ajaran satyagraha ini
begitu idealis, naif, dan tidak punya aspek praktis. Anggapan demikian keliru
besar. Satyagraha tidak berhenti pada tataran filosofis semata, melainkan juga
menganjurkan cara-cara konkret untuk menyadarkan kesalahan sesama manusia dan
mengadakan perubahan berskala besar.
Pertama, konkretisasi dari
satyagraha dapat mengambil bentuk pembangkangan sipil (civil disobedience).
Terilhami dari gerakan bernama
sama dari buku Henry David Thoreau berjudul Civil
Disobedience (1849), pembangkangan sipil ajaran Gandhi adalah perlawanan
pasif bersifat rohaniah yang dengan penuh kesadaran menunjukkan ketidakpatuhan
terhadap hukum dan kebijakan negara.
Sebagai contoh, masyarakat sipil
bisa memboikot membayar pajak dan menolak mematuhi satu undang-undang tertentu.
Tujuannya untuk menyadarkan negara dan elite penguasa bahwa hukum yang mereka
buat justru merugikan rakyat.
Kedua, gerakan menolak kerja sama
(non-cooperation) dan unjuk rasa
damai (direct action). Bersinggungan
dengan dimensi praktis pertama satyagraha berupa pembangkangan sipil,
non-kooperasi adalah pilihan untuk tidak mendukung sistem yang zalim. Sementara
itu, unjuk perasaan adalah tindakan langsung yang dilakukan massa secara
terbuka dan spontan.
Kedua langkah praktis satyagraha
itu terbukti berdampak luar biasa bagi perubahan sosial politik. Misalnya,
Gandhi pernah membuat pemerintah Inggris membatalkan kebijakannya memajaki
garam pada 1931.
Caranya, Gandhi dan rakyat India
yang digalangnya menolak membayar pajak tersebut yang dikombinasi dengan
melakukan aksi unjuk perasaan besar-besaran berupa long march ratusan
kilometer. Alhasil, pemerintah Inggris gentar melihat aksi pembangkangan sipil
dan unjuk rasa itu, dan mengurungkan pajak garam.
Sejumlah Syarat
Namun, tidaklah mudah
mencangkokkan begitu saja ajaran Gandhi di Indonesia. Sekurangnya ada dua
syarat maha berat yang harus dipenuhi kita di sini untuk membuat ajaran
satyagraha mampu membekaskan dampak politis revolusioner seperti di India.
Pertama, pengamalan aspek
praktis-politis satyagraha memerlukan keteladanan dari satu atau sejumlah sosok
tokoh dan guru bangsa yang berintegritas. Bahkan, satu figur saja sebenarnya
sudah lebih dari cukup, sebagaimana terhimpun pada diri Gandhi dalam konteks
India.
Kepeloporan tokoh bangsa ini
diperlukan untuk menggemakan gaung besar bagi gerakan pembangkangan sipil. Jika
yang memeloporinya orang biasa-biasa saja, tentu akan berakhir konyol dan
sia-sia tanpa membekaskan dampak (magnitude).
Kedua, para tokoh itu dan
pengikutnya mestilah menjalankan pembangkangan sipil secara konsisten dan rela
menanggung segala konsekuensi. Jadi, para pelaku pembangkangan sipil harus siap
dipukuli, dipenjara, difitnah, dan lain sebagainya tanpa kemudian menyurutkan
langkah penuh kasih mereka dalam menghela perubahan.
Masalahnya sekarang, punyakah
kita sosok-sosok ikhlas, mengilhami lagi inspiratif seperti itu untuk melakukan
pembangkangan sipil? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar