Suara
Biksu Myanmar
Ismatillah A Nu’ad ; Peneliti Pusat Studi
Islam dan Kenegaraan,
Universitas
Paramadina, Jakarta
REPUBLIKA,
30 Juli 2012
Sedih membaca harian Inggris, The
Independent (25/7), di mana sikap para biksu di Burma (Myanmar) menolak
keberadaan kaum minoritas Muslim Rohingya. Laporan jurnalistik itu bertajuk “Burma's Monks Call for Muslim Community to
be Shunned“ atau berarti “Para Biksu Burma Mengimbau untuk Menjauhi Komunitas
Muslim“. Tak hanya itu, para biksu juga menuduh Muslim Rohingya selama ini
telah merusak alam serta berencana akan memberangus etnis lain.
Muncul pertanyaan, bagaimana mungkin kaum minoritas memiliki
rencana akan menindas bahkan memberangus etnis lain? Sementara selama ini,
Muslim Rohingya untuk mendapatkan hak-haknya saja teramat sulit, bahkan
terkucil. Negara tak mengakui keberadaan mereka. Lagi pula, apa hanya karena
mereka merusak alam, seperti argumen para biksu, lantas itu dijadikan alasan
yang absah untuk membunuh Muslim Rohingya.
Para biksu juga memblokade segala bantuan dari LSM-LSM asing yang
akan masuk ke Burma untuk komunitas Muslim Rohingya. Padahal, para biksu itu
dikatakan menjadi kekuatan vital bagi proses demokratisasi yang terus
diperjuangkan di Myanmar selama ini. Tapi, mengapa sikap mereka kini malah
menyerukan pada publik di Myanmar untuk mengabaikan Muslim Rohingya?
Jauh dari seperti sikap para biksu itu, justru pejuang demokrasi,
Aung San Suu Kyi, menunjukkan sikap empati dan tanggung jawabnya sebagai
seorang politikus, pejuang, dan negarawan. Suu Kyi yang kini juga menjadi
bagian anggota parlemen tengah memperjuangkan supaya UU di Myanmar memberi
hak-hak khusus bagi kelompok minoritas seperti Muslim Rohingya. Lebih dari itu,
supaya negara juga melindungi serta menempatkan mereka sama seperti warga
lainnya tanpa pandang bulu.
Kita lihat di sini, antara Suu Kyi dan para biksu selama ini sama-sama
memperjuangkan demokrasi di tanah Burma dan menolak kediktatoran militerisme.
Tapi, mengapa dalam soal kemanusiaan, sikap politik serta pandangannya berbeda
saat melihat kasus pembantaian Muslim Rohingya?
Semestinya, para biksu melakukan hal yang sama seperti Suu Kyi
karena ini persoalan kemanusiaan. Muslim Rohingya mendapat perlakuan yang tidak
layak sebagai warga negara bahkan pemerintahan militer mengucilkan mereka.
Atau, genosida terhadap mereka seperti selama ini tertangkap melalui jurnalisme
fotografi yang tersebar di berbagai komunitas jejaring sosial maupun di media.
Rentetan Kekerasan
Dalam jangka waktu mingguan, 6.000 korban jiwa dibantai di
Rohingya oleh rezim militer Myanmar. Pemerintah Burma bungkam serta menutup
mata. Sikap dunia (PBB) dan ASEAN sebagai kekuatan bilateral di kawasan Asia
Tenggara pun cenderung tak berguna. Dalam kasus ASEAN, mengapa negara-negara di
kawasan ini tak bisa berbuat banyak disebabkan salah satu pasal organisasi
ASEAN yang jelas-jelas menyebutkan bahwa antara satu negara dan negara lain
anggota ASEAN dilarang ikut campur urusan dalam negerinya. Dengan pasal karet
semacam itu maka jelas ASEAN tak memiliki arti penting saat di sebuah negara
anggota memiliki persoalan kemanusiaan seperti kasus Rohingya.
Kekerasan komunal terus berlangsung di Rohingya, enam minggu
setelah pemerintah mengumumkan keadaan darurat. Amnesti International pun
mengklaim minoritas Muslim Rohingya dipukuli, diperkosa, dan digenosida.
Kelompok hak asasi ini menuduh pasukan keamanan militeristik dan etnis Buddha
melakukan serangan baru terhadap Rohingya yang dianggap sebagai orang asing dan
disangkal kewarganegaraannya oleh pemerintah karena menganggap mereka pemukim
ilegal dari negara tetangga, Bangladesh.
Kekerasan, yang mencapai titik paling berdarah pada bulan Juni di
Rohingya meru pakan pertumpahan darah sektarian dan menimbulkan kekhawatiran
internasional mengenai nasib Muslim Rohingya di Burma. Presiden Myanmar Thein
Sein hanya mengatakan, awal bulan Juli lalu, solusi untuk permusuhan etnis di
Rohingya adalah dengan mengirim Rohingya ke negara ketiga atau Badan Pengungsi
PBB, UNHCR, untuk menjaga mereka. Kepala UNHCR Antonio Guterres mengatakan,
bagaimanapun, itu bukan tugas pihaknya untuk memukimkan kembali Rohingya.
Pernyataan Presiden Myanmar itu jelas secara tidak langsung ingin
mengusir komunitas Rohingya yang mungkin sudah berpuluh-puluh tahun menjadi
orang Myanmar. Sikap Presiden semacam itu jelas tidak bertanggung jawab.
Mestinya, ia memberikan hak-hak yang layak meski dianggap sebagai pendatang.
Bukannya memberikan solusi dengan melimpahkannya pada UNHCR supaya
mengembalikan Muslim Rohingya ke habitat aslinya.
Bukankah di setiap negara terdapat warga pendatang? Dan, yang
dilakukan negara-negara lain biasanya memperlakukannya secara baik-baik.
Terlebih dalam iklim dunia yang transnasionalis semacam ini, kedatangan warga
asing yang bermukim di sebuah negara sudah seakan menjadi keniscayaan.
Mengapa selalu masih ada sikap intoleran seperti yang dilakukan
oleh para biksu di Myanmar itu? Biksu semestinya menjaga nilai-nilai moral
serta kemanusiaan, bukannya turut andil memberangus kemanusiaan. Langkah yang
positif barangkali, semoga komunitas biksu di seluruh dunia, termasuk di
Indonesia, membuat semacam seruan, imbauan, atau apa pun namanya, untuk para
biksu di Burma bahwa sikap antitoleransi dan antikemanusiaan seperti selama ini
ditunjukkan menyalahi nilai-nilai moralitas agama apa pun. Terlebih menyangkut
jiwa manusia yang menjadi korban keji. Tak hanya itu, bahwa kasus genosida di
Rohingya bisa jadi isu SARA di seluruh dunia Islam, termasuk di Indonesia. Ini
yang harus diantisipasi bersama.
Sedih rasanya melihat serta mendengar kisah-kisah mengenai Muslim
Rohingya plus kurangnya perhatian media asing atau internasional. Seakan kisah
sedih itu terkubur dan hanya bisa dikonsumsi sesama Muslim. Masyarakat Muslim
di seluruh dunia jelas sekarang ini menanti kinerja kongkret dari organisasi
Islam, seperti OKI, Rabithah Alam al-Islamy, Liga Arab, dan lainnya untuk
menangani dan memberi solusi bagi kaum minoritas Muslim Rohingya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar