Batavia
Dibeli Air Asia, “What Next”?
Chappy Hakim ; Penyayang Dunia
Penerbangan
SINAR
HARAPAN, 30 Juli 2012
Air Asia, maskapai penerbangan
murah terbesar di Asia, kabarnya akan segera mengambil alih Batavia Air. Kejadian ini tampaknya memang sudah agak
lama terdengar kabar burungnya.
Bahkan, lebih dari itu, jauh
sebelum Batavia, sudah beredar gosip tentang akan dijualnya, atau akuisisi,
atau entah apa namanya, maskapai-maskapai penerbangan dalam negeri kecuali
Garuda dan Merpati. Spekulasi dari itu semua sebenarnya sederhana saja.
Maskapai-maskapai penerbangan
tersebut adalah sebuah produk dari respons pebisnis terhadap meningkatnya pasar
angkutan udara yang sangat menggiurkan tersebut. Proyek yang tampaknya memang
hanya akan menggunakan momen mengambil keuntungan sesaat, tergambar jelas dari
meningkatnya kecelakaan pesawat terbang sejak 2000-an.
Itu sebabnya, memang hanya
permasalahan waktu saja, maskapai-maskapai tersebut akan dijual atau akan
diambil alih perusahaan yang relatif lebih profesional.
Yang sangat disayangkan nantinya,
walaupun satu-dua telah terjadi, maskapai-maskapai penerbangan tersebut hanya
akan menjadi maskapai penerbangan jadi-jadian dalam negeri. Maskapai-maskapai
itu akan hanya terlihat sebagai maskapai milik Indonesia, tetapi sesungguhnya
milik negara lain.
Banyak yang bisa menjadi
barometer kondisi ini. Misalnya, secara tiba-tiba muncul maskapai penerbangan
yang dalam waktu relatif pendek kemudian mampu berkembang secara fantastis
dengan antara lain membeli armada baru dengan jumlah ratusan pesawat terbang.
Sementara itu, Garuda dan Merpati
yang sudah puluhan tahun berkiprah, tetap saja terseok-seok jalannya. Sementara
itu, rekan-rekan seperjuangannya bubar jalan alias bangkrut.
Belum lagi bila kita melihat
bagaimana manajemen penerbangan di negeri ini yang tengah mengalami banyak
kesulitan. Hal itu bisa dilihat terkait tertinggalnya fasilitas infrastruktur
penerbangan. Hampir semua bandara atau aerodrome mengalami kelebihan
kapasitas yang tidak tangung-tanggung.
Gambaran semua ini sebenarnya
memperlihatkan betapa pengaturan dunia penerbangan sipil di Indonesia tidak
atau belum tertata baik. Semua itu seolah berkembang dengan sendirinya tanpa
arah yang jelas.
Pada tingkat tinggi dalam
pemerintahan, seharusnya ada satu lembaga khusus yang harus menangani masalah
ini dengan serius. Penerbangan niaga di Indonesia, dengan wujud negara
kepulauan dan letak strategis, selayaknya ditata sebagai potensi yang sangat
menjanjikan. Aeropolitik sudah saatnya manggung di sini, menggantikan posisi
geopolitik sebagai referensi pertimbangan strategis.
Bung Karno dalam pidato di Hari
Penerbangan Nasional 9 April 1962 mengatakan: "…, tanah air kita adalah
tanah air kepulauan, tanah air yang terdiri dari beribu-ribu pulau yang
dipisahkan satu dari yang lain oleh samudra-samudra dan
lautan-lautan. Tanah air kita ini adalah ditakdirkan oleh Allah SWT
terletak antara dua benua dan dua samudra. Maka bangsa yang hidup di atas tanah
air yang demikian itu hanyalah bisa menjadi satu bangsa yang kuat jikalau ia jaya
bukan saja di lapangan komunikasi darat, tetapi juga di lapangan komunikasi
laut dan di dalam abad ke-20 ini dan seterusnya di lapangan komunikasi
udara."
Dengan perkembangan teknologi,
terutama teknologi dirgantara, sebenarnya Indonesia merupakan negara yang
paling besar peluangnya untuk memetik manfaat dari kondisi tersebut.
Penataan yang antara lain berupa
kebijakan pemanfaatan wilayah udara nasional adalah kata kuncinya. Penataan di
tingkat yang strategis tentu saja, yaitu satu kelembagaan yang langsung berada
di bawah kepala negara atau kepala pemerintahan.
Realitasnya, kita punya Dewan
Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia (Depanri) yang di
Peraturan Pemerintah No 5 Tahun 1955 diberi nama Dewan Penerbangan saja, lalu
berubah jadi Depanri (Dewan Penerbangan dan Antariksa Republik Indonesia) pada
1963. Presiden adalah Ketua Depanri ini. Bahkan, KSAU juga sebagai
anggota Depanri.
Menristek adalah anggota (untuk
industri penerbangannya). Di Keppres No 99 Tahun 1993 dan Keppres No 132 Tahun
1998, tertulis bahwa Depanri memiliki kedudukan sebagai Forum Koordinasi
Tingkat Tinggi di bidang ”Kebijakan Pemanfaatan Wilayah Udara Nasional dan
Antariksa bagi Penerbangan, Telekomunikasi dan Kepentingan Nasional”.
Tugasnya membantu presiden Republik
Indonesia dalam merumuskan kebijaksanaan umum di bidang penerbangan dan
antariksa.
Fungsinya: (a) merumuskan
kebijakan pemanfaatan wilayah udara nasional dan antariksa bagi penerbangan,
telekomunikasi, dan kepentingan nasional lainnya; dan (b) memberikan
pertimbangan, pendapat, maupun saran kepada Presiden mengenai pengaturan dan
pemanfaatan wilayah udara dan antariksa di bidang-bidang tersebut.
Kebijakan
Menyimak uraian itu semua,
kiranya menjadi jelas: amburadulnya pemanfaatan wilayah udara nasional sebenarnya
bermula dari belum adanya rumusan kebijakan yang seharusnya muncul dari forum
koordinasi tingkat tinggi di pemerintah pusat.
Mudah-mudahan belumlah sangat
terlambat bila penataan ulang bagi kebijakan tingkat strategis dapat diwujudkan
segera, sehingga kekayaan apa pun yang terdapat di bumi tercinta ini tidak
kemudian jatuh ke orang lain.
Pertanyaannya: di manakah
gerangan “Our National Interest” kita
berada? Jangan-jangan,
memang kita belum memiliki apa yang dikenal dengan kepentingan nasional
tersebut? Pilu hati rasanya bila dalam waktu dekat ini kita akan menyaksikan
lagi maskapai-maskapai penerbangan nasional dibeli negara lain.
Akan tetapi, memang wajar sekali,
bila selalu saja akan muncul perspektif berlawanan dari momentum semacam
ini. Beberapa kalangan justru sudah tidak sabar lagi menjual saja segera
semua maskapai penerbangan dan semua pengelolaan infrastruktur penerbangan
kepada asing.
Dengan demikian, dunia
penerbangan kita akan lebih cepat menjadi jauh lebih baik. Mereka ini
adalah kalangan yang sudah berpengalaman banyak atas kenyataan bahwa suatu hal
bila sudah dilakukan orang asing, semuanya akan menjadi lebih baik. Astaghfirullahaladzim. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar