Food
Security
Rhenald Kasali ; Ketua
Program MM UI
SINDO, 26 Juli 2012
Bila dua-tiga bulan lalu bangsa ini heboh
membicarakan energy security, sebulan
terakhir kita sibuk membicarakan pangan. Food
dan energy adalah sebuah kesatuan,
apalagi sekarang bahan-bahan pangan mulai dijadikan pengganti energi.
CPO, kedelai, biji bunga
matahari, jagung, tebu, ketela, gandum, dan sebagainya kini di dunia mulai
dialihkan menjadi bioenergy yang
harganya terus melonjak. Kalau harganya terus melonjak, dan sebagian besar
tanaman itu bisa ditanam di sini, mengapa justru mengalami kerawanan? Kalau
pertanian Indonesia ingin maju, berikanlah keuntungan yang positif dan harga
jual yang bagus bagi produk-produk pertanian Indonesia. Ini berarti, batasi impor
dan jangan manjakan konsumen. Tetapi, kita sepertinya ingin mendapatkan
keduanya: pertanian maju, tetapi harganya harus murah dan konsumen harus
senang.
Surplus, tetapi Miskin
Ketahanan pangan menjadi masalah besar justru di negaranegara Asia, yang menurut Bank Dunia mengalami pengurangan kemiskinan yang signifikan. Menurut FAO (2009), sepanjang 2003-2005 saja terdapat 541,9 juta penduduk Asia yang kekurangan gizi. Mengapa pertumbuhan ekonomi disertai kerawanan pangan? Ambil contoh saja di Thailand dan Vietnam yang mati-matian mengembangkan konsep ketahanan pangan sejak 30 tahun lalu. Di kedua negara ini sektor pertanian mengalami kemajuan sangat pesat.
Berbeda dengan di Pulau Jawa yang lahan-lahan pertaniannya beralih ke properti dan industri, di kedua negara itu lahan-lahan pertanian justru diperluas dan irigasi diperbaiki. Keduanya surplus pangan dalam jumlah besar. Pada tingkatan makro, pertaniannya maju pesat. Namun, pada tingkatan rumah tangga, para petani tetap kesulitan hidup dengan layak dari sektor pertanian. Mereka lebih menjadi net buyer yang hanya bisa membiayai sepersepuluh konsumsinya dari hasil pertanian (Isvilonanda & Bumyasiri, 2009).
Demikianlah, pangan adalah masalah yang sangat serius, semakin kompleks dan butuh perhatian lintas sektoral. Tidak cukup diatasi oleh penghapusan bea masuk seperti yang dilakukan pemerintah terhadap impor kedelai. Pangan adalah masalah ketahanan yang rumit. Konsep pertahanan-keamanan yang dulu berarti tentara dan senjata, kini bergeser ke pangan dan energi. Lihatlah betapa kita kedodoran mengelola ketahanan pangan yang menyangkut apa saja.
Tahun lalu cabai saja sampai menjadi agenda pembicaraan yang hangat di Istana. Lalu dalam perekonomian kita muncul masalah daging sapi, gula, garam, ikan kembung, beras, bahkan bawang merah. Kini kedelai. Sebanyak 150.000 anggota koperasi tahu-tempe hari-hari ini tengah melakukan aksi mogok ketika harga kedelai melonjak dari Rp5.000 menjadi Rp8.000 per kilogram. Meski semalam saya masih bisa menikmati tahu-tempe, ada rasa waswas, bukan khawatir kehilangan keduanya, melainkan khawatir anak-anak kita kelak akan kesulitan makan karena negeri ini tak memiliki konsep ketahanan pangan yang jelas.
Semakin Kerdil
Selain data yang sudah banyak dipaparkan para ahli, mari kita membaca insight berikut. Menurut kamus, insight adalah a clear or deep perception of a situation. Atau bisa juga perasaan subjektif yang bisa dibaca dari sebuah situasi. Namanya juga subjektif, jadi bisa terbaca, bisa juga tidak. Bisa terbaca A, bisa juga terbaca B. Tetapi, mari kita renungkan baik-baik, dan coba lebih gunakan insight untuk melihat peluang yang mungkin timbul dari masalah besar ini daripada memperbesar masalah itu sendiri.
Kata orang bijak, bangsa-bangsa yang unggul adalah bangsa yang bisa melihat kesempatan dari setiap kesulitan. Pemenangnya adalah bangsa yang berani berselancar dalam gelombang ketidakpastian. Sedangkan bangsa yang selalu kalah adalah bangsa pengeluh yang hanya mau menjelajahi dunia yang pasti-pasti, lalu menyalahkan orang lain atas masalah yang ia buat. Bangsa yang demikian akan selalu kalah, dan pemimpinnya gemar melempar kesalahan pada orang lain.
Ketimbang mengatakan, ” Saya yang salah.” Mereka akan selalu mengatakan, ”Itu bukan kesalahan saya.” Sudah salah dan menyangkal, mereka pun mengulangi kesalahan yang sama berkali-kali. Saya kira tulisan ini tidak dimaksudkan menghadirkan keluhan atau sikap pecundang. Insight dari Dapur Rumah Makan Sunda tempat saya biasa menikmati makan enak menunjukkan, ada sesuatu yang tak beres pada pangan-pangan kita.
Berbeda dengan bangsa-bangsa lain yang berupaya keras menghadirkan buah-buahan dan sayuran yang lebih besar dan lebih manis, saya justru menemukan pangan lokal yang sebaliknya. Kedelai impor semakin hari semakin bagus, sedangkan kedelai lokal semakin kuntet. Petai padi yang dulu besar-besar, kini semakin mengecil. Demikian juga dengan ikan pepes (ikan peda) yang dulu besar-besar, kini hanya daun pembungkusnya saja (daun pisang) yang besar.
Rasanya semua ini berlaku pada hampir semua panganan kita. Kue pisang juga semakin kerdil dan pisangnya sepat. Sekalipun makannya di hotel berbintang lima. Bakso yang dijajakan keliling juga semakin kecil, dan rasa dagingnya semakin tak terdeteksi lidah. Kata pemilik restoran bukan hanya ukuran yang mengecil. Keharumannya juga berkurang.
Surplus, tetapi Miskin
Ketahanan pangan menjadi masalah besar justru di negaranegara Asia, yang menurut Bank Dunia mengalami pengurangan kemiskinan yang signifikan. Menurut FAO (2009), sepanjang 2003-2005 saja terdapat 541,9 juta penduduk Asia yang kekurangan gizi. Mengapa pertumbuhan ekonomi disertai kerawanan pangan? Ambil contoh saja di Thailand dan Vietnam yang mati-matian mengembangkan konsep ketahanan pangan sejak 30 tahun lalu. Di kedua negara ini sektor pertanian mengalami kemajuan sangat pesat.
Berbeda dengan di Pulau Jawa yang lahan-lahan pertaniannya beralih ke properti dan industri, di kedua negara itu lahan-lahan pertanian justru diperluas dan irigasi diperbaiki. Keduanya surplus pangan dalam jumlah besar. Pada tingkatan makro, pertaniannya maju pesat. Namun, pada tingkatan rumah tangga, para petani tetap kesulitan hidup dengan layak dari sektor pertanian. Mereka lebih menjadi net buyer yang hanya bisa membiayai sepersepuluh konsumsinya dari hasil pertanian (Isvilonanda & Bumyasiri, 2009).
Demikianlah, pangan adalah masalah yang sangat serius, semakin kompleks dan butuh perhatian lintas sektoral. Tidak cukup diatasi oleh penghapusan bea masuk seperti yang dilakukan pemerintah terhadap impor kedelai. Pangan adalah masalah ketahanan yang rumit. Konsep pertahanan-keamanan yang dulu berarti tentara dan senjata, kini bergeser ke pangan dan energi. Lihatlah betapa kita kedodoran mengelola ketahanan pangan yang menyangkut apa saja.
Tahun lalu cabai saja sampai menjadi agenda pembicaraan yang hangat di Istana. Lalu dalam perekonomian kita muncul masalah daging sapi, gula, garam, ikan kembung, beras, bahkan bawang merah. Kini kedelai. Sebanyak 150.000 anggota koperasi tahu-tempe hari-hari ini tengah melakukan aksi mogok ketika harga kedelai melonjak dari Rp5.000 menjadi Rp8.000 per kilogram. Meski semalam saya masih bisa menikmati tahu-tempe, ada rasa waswas, bukan khawatir kehilangan keduanya, melainkan khawatir anak-anak kita kelak akan kesulitan makan karena negeri ini tak memiliki konsep ketahanan pangan yang jelas.
Semakin Kerdil
Selain data yang sudah banyak dipaparkan para ahli, mari kita membaca insight berikut. Menurut kamus, insight adalah a clear or deep perception of a situation. Atau bisa juga perasaan subjektif yang bisa dibaca dari sebuah situasi. Namanya juga subjektif, jadi bisa terbaca, bisa juga tidak. Bisa terbaca A, bisa juga terbaca B. Tetapi, mari kita renungkan baik-baik, dan coba lebih gunakan insight untuk melihat peluang yang mungkin timbul dari masalah besar ini daripada memperbesar masalah itu sendiri.
Kata orang bijak, bangsa-bangsa yang unggul adalah bangsa yang bisa melihat kesempatan dari setiap kesulitan. Pemenangnya adalah bangsa yang berani berselancar dalam gelombang ketidakpastian. Sedangkan bangsa yang selalu kalah adalah bangsa pengeluh yang hanya mau menjelajahi dunia yang pasti-pasti, lalu menyalahkan orang lain atas masalah yang ia buat. Bangsa yang demikian akan selalu kalah, dan pemimpinnya gemar melempar kesalahan pada orang lain.
Ketimbang mengatakan, ” Saya yang salah.” Mereka akan selalu mengatakan, ”Itu bukan kesalahan saya.” Sudah salah dan menyangkal, mereka pun mengulangi kesalahan yang sama berkali-kali. Saya kira tulisan ini tidak dimaksudkan menghadirkan keluhan atau sikap pecundang. Insight dari Dapur Rumah Makan Sunda tempat saya biasa menikmati makan enak menunjukkan, ada sesuatu yang tak beres pada pangan-pangan kita.
Berbeda dengan bangsa-bangsa lain yang berupaya keras menghadirkan buah-buahan dan sayuran yang lebih besar dan lebih manis, saya justru menemukan pangan lokal yang sebaliknya. Kedelai impor semakin hari semakin bagus, sedangkan kedelai lokal semakin kuntet. Petai padi yang dulu besar-besar, kini semakin mengecil. Demikian juga dengan ikan pepes (ikan peda) yang dulu besar-besar, kini hanya daun pembungkusnya saja (daun pisang) yang besar.
Rasanya semua ini berlaku pada hampir semua panganan kita. Kue pisang juga semakin kerdil dan pisangnya sepat. Sekalipun makannya di hotel berbintang lima. Bakso yang dijajakan keliling juga semakin kecil, dan rasa dagingnya semakin tak terdeteksi lidah. Kata pemilik restoran bukan hanya ukuran yang mengecil. Keharumannya juga berkurang.
Saya berbicara dengan
para petambak ikan. Mereka pun mengaku alam dan pakan sekarang sudah tidak
bersahabat. Air dari sungai sudah rusak, pencemaran luar biasa ganas karena
pabrik celana jins yang beroperasi tidak jauh dari tambak sering membuang
limbah pewarna ke sungai. Ikan-ikan sulit menjadi besar. Di WadukJangari-Cirata
saja, yang menjadi pusat ikan mas Jawa Barat, sudah dikepung oleh sampah. Lebih
mengerikan lagi, harga pakan ikan pun sudah terlalu mencekik.
Maka supaya bisa tetap untung panen pun dipercepat. Itu pulalah yang tampaknya dilakukan petani (termasuk petai dan cabai), memanen hasil tanaman lebih cepat dari yang seharusnya agar bisa meraih untung. Apalagi akibatnya kalau bukan kuntet? Sementara di dunia internasional, perubahan iklim bisa mengubah peta suplai secara tiba-tiba. Kalau sudah begini, bangsa yang menang hanyalah bangsa yang proaktif.
Artinya, menanam jauh-jauh hari. Bukan seperti sekarang, ribut menanam kedelai pada ribuan hektare saat harganya sedang mahal. Lalu apa akibatnya dua-tiga bulan lagi saat panen beramai-ramai? Insight ini menunjukkan, pertanian sudah tidak lagi menjadi sektor yang gurem. Pertanian justru akan menjadi sektor yang mengalahkan sektor-sektor lainnya. Apa artinya mempunyai emas kalau tak bisa mendapatkan makan?
Tetapi dalam masa transisi jelaslah suatu bangsa harus bisa menciptakan kondisi hasil investasi (internal rate of return) pada sektor pertanian yang positif. Saat ini saja dunia perbankan cenderung alergi pada sektor pertanian. Ini berarti diperlukan perubahan kebijakan agar petani mau kembali menjadi petani. Syaratnya, ya sederhana saja, berikan IRR yang positif dan besar.
Saya ingin menutup dengan insight lain dari para pedagang pangan. Bagi mereka, kenaikan harga adalah wajar, tetapi khusus mulai 2012, kenaikan pangan yang biasa terjadi bulan Ramadan kini bergerak jauh lebih cepat 1-2 bulan sebelumnya. Lebih jauh lagi, bila sebelum 2005 dari 365 hari berdagang mereka kalah sebanyak 80 hari (karena cost lebih besar dari price), sejak 2005 ke sini hari kekalahan terus membesar dan membesar.
Tahun ini telah menjadi 150 hari kalah. Masih positif sih. Tetapi, itu lampu kuning yang sebentar lagi menjadi merah. Artinya, ada masalah yang harus kita benahi bersama. Artinya, food kita sedang tidak secure. Artinya, selain banyak masalah, ya banyak peluang. ●
Maka supaya bisa tetap untung panen pun dipercepat. Itu pulalah yang tampaknya dilakukan petani (termasuk petai dan cabai), memanen hasil tanaman lebih cepat dari yang seharusnya agar bisa meraih untung. Apalagi akibatnya kalau bukan kuntet? Sementara di dunia internasional, perubahan iklim bisa mengubah peta suplai secara tiba-tiba. Kalau sudah begini, bangsa yang menang hanyalah bangsa yang proaktif.
Artinya, menanam jauh-jauh hari. Bukan seperti sekarang, ribut menanam kedelai pada ribuan hektare saat harganya sedang mahal. Lalu apa akibatnya dua-tiga bulan lagi saat panen beramai-ramai? Insight ini menunjukkan, pertanian sudah tidak lagi menjadi sektor yang gurem. Pertanian justru akan menjadi sektor yang mengalahkan sektor-sektor lainnya. Apa artinya mempunyai emas kalau tak bisa mendapatkan makan?
Tetapi dalam masa transisi jelaslah suatu bangsa harus bisa menciptakan kondisi hasil investasi (internal rate of return) pada sektor pertanian yang positif. Saat ini saja dunia perbankan cenderung alergi pada sektor pertanian. Ini berarti diperlukan perubahan kebijakan agar petani mau kembali menjadi petani. Syaratnya, ya sederhana saja, berikan IRR yang positif dan besar.
Saya ingin menutup dengan insight lain dari para pedagang pangan. Bagi mereka, kenaikan harga adalah wajar, tetapi khusus mulai 2012, kenaikan pangan yang biasa terjadi bulan Ramadan kini bergerak jauh lebih cepat 1-2 bulan sebelumnya. Lebih jauh lagi, bila sebelum 2005 dari 365 hari berdagang mereka kalah sebanyak 80 hari (karena cost lebih besar dari price), sejak 2005 ke sini hari kekalahan terus membesar dan membesar.
Tahun ini telah menjadi 150 hari kalah. Masih positif sih. Tetapi, itu lampu kuning yang sebentar lagi menjadi merah. Artinya, ada masalah yang harus kita benahi bersama. Artinya, food kita sedang tidak secure. Artinya, selain banyak masalah, ya banyak peluang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar