Kemiskinan
dan Pengangguran
Sri-Edi Swasono ; Guru Besar UI
dan Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa
KOMPAS,
28 Juli 2012
Kemiskinan adalah malapetaka
sosial-kultural. Memang mengenaskan, mengapa di Tanah Air kaya raya rakyatnya
miskin.
Almarhum Hartojo
Wignjowijoto, ekonom jebolan Harvard, sering melempar cemohan ”there are three kinds of lies: lies, damned
lies, and statistics”—ada tiga macam kebohongan: bohong, serba bohong, dan
statistik. Kecurigaan atau kesalahpahaman menafsir angka-angka statistik adalah
kasus klasik, sebagaimana ditulis Haff, How
to Lie with Statistics (1954).
Di Indonesia, tingkat
kemiskinan rata-rata nasional menurun, dari 13,3 persen (2010) menjadi 12,5
persen (2011). Penurunan jumlah penduduk miskin berlanjut tipis, dari 12,59
persen (Maret 2011) menjadi 12,36 persen (September 2011).
Provinsi-provinsi dengan
angka kemiskinan sekitar separuh di bawah rata-rata nasional (September 2011)
adalah DKI Jakarta 3,64 persen, Bali 4,59 persen, Bangka Belitung 5,16 persen,
Kalimantan Selatan 5,35 persen, Banten 6,26 persen, Kalimantan Timur 6,63
persen. Semua menurun sangat tipis dibanding angka Maret 2011, kecuali
Kalimantan Selatan.
Sebaliknya,
provinsi-provinsi yang angka kemiskinannya lebih dari dua kali lipat rata-rata
nasional (September 2011) adalah Papua 31,24 persen, Papua Barat 28,53 persen
dan yang lebih dari satu setengah kali lipat rata-rata nasional adalah Maluku
22,45 persen, Nusa Tenggara Timur 20,48 persen, Nusa Tenggara Barat 19,67
persen, dan Aceh 19,48 persen. Tingkat kemiskinan ekstrem provinsi-provinsi
”tertinggal” ini menurun tipis dibanding angka-angka Maret 2011. Angka
kemiskinan yang terus menurun tipis ini perlu kita hargai, meskipun persepsi
masyarakat sering sebaliknya.
Pengangguran juga menurun dari
6,8 persen (2011) menjadi 6,32 persen (2012) menurun sebanyak 420.000 orang.
Ini tidak berarti, andaikata tiap tahun dapat diciptakan 420.000 lapangan
kerja, dalam 18 tahun terwujud angkatan kerja tanpa penganggur.
Namun, Ketua
Umum Kadin menegaskan sebaliknya, akibat kesenjangan antara angkatan kerja dan
lapangan kerja, pengangguran justru meningkat 1,3 juta orang, pengangguran
mencapai 9 juta orang.
Siapa termasuk orang miskin?
Bank Dunia menetapkan ”kemiskinan absolut” bila pendapatan per kapita di bawah
1 dollar AS per hari (Rp 280.000/bulan) dan ”kemiskinan menengah” 2 dollar
AS/hari. Sementara Indonesia menetapkan garis kemiskinan per kapita dengan
angka tunggal Rp 243.729/bulan. Lalu apakah seseorang ”tidak miskin absolut”
bila pendapatannya Rp 250.000/bulan?
Garis kemiskinan adalah
garis yang ditetapkan berdasarkan berbagai variabel, antara lain asupan kalori
(2.000-2.500 kalori, angka Sajogyo). Suatu garis batas memang harus ditarik,
seperti passing grade untuk
meluluskan peserta ujian.
Kemiskinan Ekonomi
dan Harkat
Miskin bukan lagi persoalan
keberadaan pada garis atau di bawah garis kemiskinan yang dibuat ekonom dan
statistikus konvensional. Seorang dosen bisa ”termasuk miskin” meskipun gajinya
Rp 2,4 juta, ia keluarkan untuk pekerja rumah tangga (PRT) Rp 750.000, listrik
Rp 500.000, iuran RT/RW Rp 200.000, cicilan laptop, pulsa, dan tetek-bengek.
Seseorang terpojok miskin
tatkala ia melihat iklan-iklan di televisi menayangkan kemewahan yang tidak
terjangkau daya belinya. Gebyar-gebyar kemewahan mengepung kemiskinannya, yang
menjadikan nestapa dalam keperihan hati.
Pegawai-pegawai negeri dan
swasta pun menjadi miskin oleh iklan-iklan rumah dan apartemen mewah
metropolitan yang menggugah kecemburuan sosial dan menumbuhkan ”minderisasi” (inferiorization), sementara cicilan
rumah sederhana mereka menjadi beban berkepanjangan.
Capek menunggu bisa berujung
pada apatisme kepasrahan atau sebaliknya malah membangkitkan protes brutal.
Sikap beringas yang bangkit bisa menjadi awal disintegrasi sosial yang
menakutkan.
Tragedi Markiah adalah
contoh apatisme kepasrahan, fenomena self-disempowerment,
pelumpuhan diri mengerikan yang melanda keluarga miskin ini. Janda tiga anak
ini mengalami capek miskin berkepanjangan, tanpa harapan melihat cahaya di
ujung kegelapan. Kemiskinan mendorongnya bunuh diri, terjun ke Sungai Cisadane
sambil menggendong anaknya yang masih balita, meninggalkan dua anaknya menjadi
yatim piatu.
Lalu, di mana peran RT dan
RW, lurah dan camat, masjid, serta rumah-rumah ibadah. Di mana kebersamaan,
solidaritas, dan ukhuwah agama? Di mana keberadaan institusi-institusi sosial
dan negara tatkala anak-anak gawat gizi dan lumpuh layu, tatkala penduduk idiot
(imbecile) tersebar di tiga kecamatan
dalam empat desa di eks Karesidenan Madiun?
Pemberdayaan Kilat
Kemiskinan dan pengangguran
tidak seharusnya diatasi dengan semata-mata menunggu trickle-down effect atau
kepyuran ke bawah dari investor besar. Merupakan kejahatan moral menganggap
orang miskin hanya berhak atas rembesan. Memburuknya indeks Gini dari 38 persen
(2010) menjadi 41 persen (2011) adalah peningkatan kesenjangan kaya-miskin yang
mencemaskan. Paradigmatik kebijakan menggenjot pertumbuhan bukanlah jaminan
terberantasnya kemiskinan dan pengangguran. Diperlukan pemikiran cerdas
ekstraordiner-kontemporer, meninggalkan konvensionalisme. Direct attack on poverty—pemberdayaan kilat di pos-pos daya
meningkatkan kemampuan produktif, terampil mencipta atau menyambut pekerjaan
menjadi pilihan.
Pembangunan dengan semangat
pasar bebas dan perdagangan bebas yang memiskinkan kehidupan dan melumpuhkan
semangat hidup rakyat harus distop. Sesuai
paham strukturalisme ekonomi nasional kita harus banting setir beralih ke pemikiran: let us take care of employment, employment will take care of growth,
tegas melaksanakan tujuan konstitusi: ”Tiap-tiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Statistika dan model-model ekonometri yang masih menimang-nimang
paradigma-paradigma usang, yang tak sesuai dengan humanisme ekonomi konstitusi
kita perlu diakhiri. Kemiskinan adalah masalah bersama, mari bekerja keras,
ikut mengentaskan masyarakat miskin ekstrem di Papua, Maluku, NTT, dan NTB. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar