Dari
Kepemimpinan Elitis ke Populis
Rakhmat Hidayat ; Dosen
Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta,
Kandidat PhD Université Lumière Lyon 2 France
SINDO, 25 Juli 2012
Pilkada
Jakarta putaran pertama bukan saja menghasilkan kemenangan untuk pasangan
Jokowi-Basuki.
Kemenangan Jokowi-Basuki juga menjadi bahan analisis menarik berbagai kalangan
dari berbagai perspektif.
Berbagai analisis ahli
politik yang dilengkapi dengan berbagai survei maupun jajak pendapat dengan
rumusan metodologi meleset. Pilkada Jakarta putaran pertama menunjukkan
kontestasi dua tipologi kepemimpinan yang antagonistis. Studi kepemimpinan
dalam diskursus ilmu sosial maupun studi politik sudah lama dirintis Max Weber.
Weber mengemukakan tiga tipe kepemimpinan yaitu birokratis, karismatik, dan
tradisional.
Dalam studinya ini, Weber mengakui bahwa tipe kepemimpinan itu fenomena situasional dan bergerak dinamis masing-masing tipe. Kepemimpinan merupakan entitas melekat dalam dinamika politik Indonesia. Akselerasi politik nasional dibangun dengan kuatnya kepemimpinan yang mampu mentransformasikan pendidikan politik kepada konstituennya. Membangun kepemimpinan yang kuat juga menjadi problem di tengah krisis kepemimpinan yang terjadi di Indonesia.
Weber tidak sedang berteori Pilkada Jakarta. Tapi analisis Weber menjadi signifikan untuk memetakan bagaimana situasional kepemimpinan dari kandidat Jokowi dan Foke. Unggulnya Jokowi dari Foke dipengaruhi secara signifikan dari sosok kepemimpinan Jokowi selama kampanye berlangsung. Meskipun sebenarnya tipologi kepemimpinan Jokowi tidak dibangun instan selama kampanye berlangsung.
Tipologi itu secara embedded sudah kuat dalam Jokowi sejak 2005 ketika ia menjadi Wali Kota Surakarta. Model kepemimpinan merakyat, informal, dan antibirokratis kuat ditampilkan dalam sosok Jokowi. Jokowi setiap harinya selalu berkeliling ke pelosok kampung-kampung di Surakarta. Jokowi menyebut kegiatan berkeliling kampung sebagai “manajemen kontrol” untuk mendapatkan berbagai masalah yang dialami masyarakat.
Di sana juga dia langsung mencarikan solusi untuk diformulasikan kebijakan pemerintah. Dia tak pernah mengambil pusing masalah ajudan maupun protokoler. Jokowi juga selalu akrab dengan kalangan media. Dia tak pernah menolak permintaan wawancara dari kalangan media, peneliti, maupun mahasiswa yang ingin menggali pengalamannya sebagai bahan penelitian.
Antitesis
Foke berbeda dengan Jokowi yang sekaligus menjadi antitesisnya. Foke memiliki jam terbang sangat panjang dalam dunia birokrasi Jakarta. Puncak karier sebagai birokrat mengantarkan dirinya sebagai sekretaris daerah DKI Jakarta, wakil gubernur, hingga mengantarkannya menjadi gubernur Jakarta. Pengalaman birokrasi ini menjadikan Foke memiliki cara berpikir yang prosedural, rasional, birokratis, dan formalistik.
Belum lagi, secara akademik Foke adalah lulusan Jerman. Cara berpikir Jerman dan Eropa yang kuat dengan tradisi rasionalistik berpengaruh dalam tipe kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan Foke yang formalistik itu sangat tampak pada kampanye pilkada DKI Jakarta. Jika Jokowi keluar-masuk kampung menyapa warga Jakarta, Foke tak melakukan itu. Foke bersama pasangannya lebih sering berkampanye dengan berorasi di gedung-gedung dengan mendatangkan artis Ibu Kota papan atas.
Kampanye Foke sering dihadiri elite partai politik yang mendukungnya. Beberapa kali Foke juga tidak memenuhi undangan media televisi maupun perguruan tinggi di Jakarta dalam acara debat publik. Undangan terhormat dari kampus sekelas Universitas Indonesia (UI) pun tak dihadiri Foke. Kesan yang kuat, ketidakhadiran itu memberikan citra arogan kepada publik. Ketidakhadiran itu justru menjadi kesempatan kandidat lain untuk menyampaikan visi dan misinya. Foke juga sering tak ramah dengan media.
Ketidakhadiran Foke dalam berbagai undangan diskusi maupun debat publik menunjukkan tidak ada kemauan bersilaturahmi dengan masyarakat. Kira-kira kita bisa berpikir, pada saat masih calon gubernur saja diundang warga tak hadir, apalagi setelah terpilih kembali gubernur, diundang warganya pasti tak hadir. Padahal, berbagai undangan tersebut bisa menjadi ruang mencairkan pola komunikasi Foke yang kaku lebih dinamis.
Lagi-lagi, Foke menggunakan prosedural formal bahwa berbagai undangan diskusi tersebut belum resmi diputuskan KPU Jakarta. Beberapa kali pada saat wawancara sangat terlihat Foke marah maupun membentak para wartawan yang mengelilinginya. Dengan konteks ini, Jokowi merepresentasikan tipologi populis, sementara Foke mewakili tipologi elitis.
Kepemimpinan Autentik
Hasil pilkada putaran pertama menunjukkan tipologi kepemimpinan seperti Jokowi- Basuki-lah yang diharapkan warga Jakarta. Mereka sudah jenuh dengan karakter pemimpin mainstream yang formalistik, birokratis, dan menjaga jarak dengan warganya. Patut dicatat juga bahwa Pilkada Jakarta dapat menjadi barometer politik nasional. Suksesi kepemimpinan nasional akan berlangsung pada 2014.
Pertarungan sosok kepemimpinan Jokowi-Basuki versus Foke-Nara bisa menjadi referensi politik bagi pemilih dan politisi yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Pada Pemilu 2014 bisa jadi rakyat Indonesia mengharapkan tipologi kepemimpinan seperti Jokowi. Jika Jokowi bisa memenangkan Pilkada DKI Jakarta, ini menjadi sejarah penting kepemimpinan Jakarta yang banyak didominasi oleh kalangan militer.
Pasca berlangsungnya putaran pertama muncul berbagai komentar dan kritik dari elite Partai Demokrat maupun partai pendukung Foke. Foke diminta mengubah gaya dan pendekatan menjelang putaran kedua. Salah satu partai politik pendukung Foke mengajukan syarat melanjutkan koalisi jika Foke bisa mengubah pendekatan kepada rakyat.
Foke dalam pernyataannya mengatakan pada putaran kedua akan melakukan koalisi dengan rakyat. Jika dibandingkan Jokowi, Foke tertinggal jauh dalam koalisi dengan rakyat. Sadar dengan kelemahannya, Foke beberapa kali lebih terkesan merakyat dalam beberapa peristiwa. Misalnya, mengunjungi korban kecelakaan bus Transjakarta, mengunjungi hari pertama masuk sekolah di sebuah sekolah dasar, maupun mengadakan pasar rakyat di mana Foke langsung melayani pembelian barang-barang murah tersebut.
Foke berusaha keluar dari kungkungan gaya formalistiknya. Tidak dimungkiri juga perubahan gaya tersebut bukan cenderung artifisial. Kelihatan tidak natural dan lebih kepada pencitraan dirinya.Tipologi kepemimpinan tidak bisa diubah secara instan dalam hitungan hari saja.
Kepemimpinan dihasilkan dari pergulatan panjang seorang aktor sosial dalam lingkungan sosialnya. Pergulatan itulah yang memproduksi tipologi kepemimpinan autentik, bukan kepemimpinan instan. ●
Dalam studinya ini, Weber mengakui bahwa tipe kepemimpinan itu fenomena situasional dan bergerak dinamis masing-masing tipe. Kepemimpinan merupakan entitas melekat dalam dinamika politik Indonesia. Akselerasi politik nasional dibangun dengan kuatnya kepemimpinan yang mampu mentransformasikan pendidikan politik kepada konstituennya. Membangun kepemimpinan yang kuat juga menjadi problem di tengah krisis kepemimpinan yang terjadi di Indonesia.
Weber tidak sedang berteori Pilkada Jakarta. Tapi analisis Weber menjadi signifikan untuk memetakan bagaimana situasional kepemimpinan dari kandidat Jokowi dan Foke. Unggulnya Jokowi dari Foke dipengaruhi secara signifikan dari sosok kepemimpinan Jokowi selama kampanye berlangsung. Meskipun sebenarnya tipologi kepemimpinan Jokowi tidak dibangun instan selama kampanye berlangsung.
Tipologi itu secara embedded sudah kuat dalam Jokowi sejak 2005 ketika ia menjadi Wali Kota Surakarta. Model kepemimpinan merakyat, informal, dan antibirokratis kuat ditampilkan dalam sosok Jokowi. Jokowi setiap harinya selalu berkeliling ke pelosok kampung-kampung di Surakarta. Jokowi menyebut kegiatan berkeliling kampung sebagai “manajemen kontrol” untuk mendapatkan berbagai masalah yang dialami masyarakat.
Di sana juga dia langsung mencarikan solusi untuk diformulasikan kebijakan pemerintah. Dia tak pernah mengambil pusing masalah ajudan maupun protokoler. Jokowi juga selalu akrab dengan kalangan media. Dia tak pernah menolak permintaan wawancara dari kalangan media, peneliti, maupun mahasiswa yang ingin menggali pengalamannya sebagai bahan penelitian.
Antitesis
Foke berbeda dengan Jokowi yang sekaligus menjadi antitesisnya. Foke memiliki jam terbang sangat panjang dalam dunia birokrasi Jakarta. Puncak karier sebagai birokrat mengantarkan dirinya sebagai sekretaris daerah DKI Jakarta, wakil gubernur, hingga mengantarkannya menjadi gubernur Jakarta. Pengalaman birokrasi ini menjadikan Foke memiliki cara berpikir yang prosedural, rasional, birokratis, dan formalistik.
Belum lagi, secara akademik Foke adalah lulusan Jerman. Cara berpikir Jerman dan Eropa yang kuat dengan tradisi rasionalistik berpengaruh dalam tipe kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan Foke yang formalistik itu sangat tampak pada kampanye pilkada DKI Jakarta. Jika Jokowi keluar-masuk kampung menyapa warga Jakarta, Foke tak melakukan itu. Foke bersama pasangannya lebih sering berkampanye dengan berorasi di gedung-gedung dengan mendatangkan artis Ibu Kota papan atas.
Kampanye Foke sering dihadiri elite partai politik yang mendukungnya. Beberapa kali Foke juga tidak memenuhi undangan media televisi maupun perguruan tinggi di Jakarta dalam acara debat publik. Undangan terhormat dari kampus sekelas Universitas Indonesia (UI) pun tak dihadiri Foke. Kesan yang kuat, ketidakhadiran itu memberikan citra arogan kepada publik. Ketidakhadiran itu justru menjadi kesempatan kandidat lain untuk menyampaikan visi dan misinya. Foke juga sering tak ramah dengan media.
Ketidakhadiran Foke dalam berbagai undangan diskusi maupun debat publik menunjukkan tidak ada kemauan bersilaturahmi dengan masyarakat. Kira-kira kita bisa berpikir, pada saat masih calon gubernur saja diundang warga tak hadir, apalagi setelah terpilih kembali gubernur, diundang warganya pasti tak hadir. Padahal, berbagai undangan tersebut bisa menjadi ruang mencairkan pola komunikasi Foke yang kaku lebih dinamis.
Lagi-lagi, Foke menggunakan prosedural formal bahwa berbagai undangan diskusi tersebut belum resmi diputuskan KPU Jakarta. Beberapa kali pada saat wawancara sangat terlihat Foke marah maupun membentak para wartawan yang mengelilinginya. Dengan konteks ini, Jokowi merepresentasikan tipologi populis, sementara Foke mewakili tipologi elitis.
Kepemimpinan Autentik
Hasil pilkada putaran pertama menunjukkan tipologi kepemimpinan seperti Jokowi- Basuki-lah yang diharapkan warga Jakarta. Mereka sudah jenuh dengan karakter pemimpin mainstream yang formalistik, birokratis, dan menjaga jarak dengan warganya. Patut dicatat juga bahwa Pilkada Jakarta dapat menjadi barometer politik nasional. Suksesi kepemimpinan nasional akan berlangsung pada 2014.
Pertarungan sosok kepemimpinan Jokowi-Basuki versus Foke-Nara bisa menjadi referensi politik bagi pemilih dan politisi yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Pada Pemilu 2014 bisa jadi rakyat Indonesia mengharapkan tipologi kepemimpinan seperti Jokowi. Jika Jokowi bisa memenangkan Pilkada DKI Jakarta, ini menjadi sejarah penting kepemimpinan Jakarta yang banyak didominasi oleh kalangan militer.
Pasca berlangsungnya putaran pertama muncul berbagai komentar dan kritik dari elite Partai Demokrat maupun partai pendukung Foke. Foke diminta mengubah gaya dan pendekatan menjelang putaran kedua. Salah satu partai politik pendukung Foke mengajukan syarat melanjutkan koalisi jika Foke bisa mengubah pendekatan kepada rakyat.
Foke dalam pernyataannya mengatakan pada putaran kedua akan melakukan koalisi dengan rakyat. Jika dibandingkan Jokowi, Foke tertinggal jauh dalam koalisi dengan rakyat. Sadar dengan kelemahannya, Foke beberapa kali lebih terkesan merakyat dalam beberapa peristiwa. Misalnya, mengunjungi korban kecelakaan bus Transjakarta, mengunjungi hari pertama masuk sekolah di sebuah sekolah dasar, maupun mengadakan pasar rakyat di mana Foke langsung melayani pembelian barang-barang murah tersebut.
Foke berusaha keluar dari kungkungan gaya formalistiknya. Tidak dimungkiri juga perubahan gaya tersebut bukan cenderung artifisial. Kelihatan tidak natural dan lebih kepada pencitraan dirinya.Tipologi kepemimpinan tidak bisa diubah secara instan dalam hitungan hari saja.
Kepemimpinan dihasilkan dari pergulatan panjang seorang aktor sosial dalam lingkungan sosialnya. Pergulatan itulah yang memproduksi tipologi kepemimpinan autentik, bukan kepemimpinan instan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar