Waktu
Salat, Lihat Jam Saja
Agus Mustofa ; Penulis
Buku Serial Tasawuf Modern
JAWA
POS, 29 Juli 2012
"SALAT adalah ibadah yang ditentukan waktunya". Begitulah Allah berfirman di dalam Alquran. Ayat ini memiliki
multitujuan. Selain memberikan pedoman dalam menjalankan salat, di dalamnya
terkandung perintah agar umat Islam memahami soal waktu. Bahkan, di sebuah
surat yang sering kita baca, Allah menjadikan waktu sebagai sumpah: wal ashri - demi waktu.
Menunjukkan betapa pentingnya "waktu" itu.
Terkait dengan penetapan waktu ibadah salat, umat Islam di dunia internasional masih memiliki masalah yang sangat mengganjal. Saya pun masih sering memperoleh pertanyaan tentang itu. Terutama, dari kawan-kawan yang sedang melakukan perjalanan lintas waktu global, antarbenua. Atau, yang bermukim di negara-negara subtropis.
Kawan saya -cerita di tulisan sebelumnya- yang sedang melakukan perjalanan dari Seattle menuju Oklahoma itu pun bertanya tentang hal ini. "Mas, bagaimana saya menentukan waktu salatnya? Seiring pergerakan matahari ataukah mengikuti jam saja? Lantas, berpedoman ke jam yang mana?'' tanyanya, gundah.
Pertanyaan semacam itu, katanya, sudah disampaikan ke beberapa kawannya yang dianggap mengerti, tetapi belum terjawab secara tuntas, sampai dia membaca buku saya: "Tahajud Siang Hari, Duhur Malam Hari". Beberapa jawaban yang dia terima menganjurkan agar dia memanfaatkan saja "keringanan" yang diberikan Alquran, yakni dengan men-jamak-qashar salat dan mem-fidyah puasanya.
Jamak-qashar berarti mengerjakan dua waktu salat dalam satu waktu saja. Misalnya, Duhur dan Ashar dikerjakan di waktu Duhur atau boleh juga di waktu Ashar. Jumlah rakaatnya pun tidak usah empat-empat, melainkan cukup dua-dua. Demikian pula Magrib dan Isya, tiga rakaat dan dua rakaat. Dengan begitu, salat lima waktu hanya dikerjakan dalam tiga waktu saja. Sedangkan fidyah adalah tidak berpuasa dan menggantinya dengan memberikan makanan kepada orang miskin.
Tetapi, menurut dia, karena dia berada di negara lain itu dalam kurun waktu yang panjang, "Masak iya saya harus terus-menerus melakukan jamak-qashar dan fidyah? Bukankah itu hanya berlaku sementara, beberapa hari saja? Saya di AS selama sebulan untuk mengunjungi anak saya yang bersekolah di sini,'' paparnya. Pertanyaan semacam ini beberapa kali saya terima. Termasuk dari kawan saya yang bekerja di KBRI Moskow, Rusia.
Karena itu, saya menganjurkan kepada mereka mengacu kepada jam saja. Sama dengan yang sudah terjadi di Indonesia. Setiap salat tidak perlu lagi melihat posisi matahari. Cukup melihat jam tangan atau jam dinding atau jam HP. Bahwa salat Subuh di wilayah tropis adalah sekitar pukul 4 sampai pukul 5 pagi. Duhurnya antara pukul 12 sampai pukul 3 siang. Asharnya pukul 3 sampai pukul 6 sore. Magrib antara pukul 6 sampai pukul 7 petang. Isya antara pukul 7 sampai menjelang subuh.
Pertanyaannya adalah: bagaimana salat pada musim panas yang waktu siangnya bisa jauh lebih panjang? Bisa saja, Magrib baru masuk pukul 10 malam. Atau di tempat yang lebih utara lagi bisa pukul 11 atau 12 malam. Atau, bahkan tidak tenggelam? Saya menganjurkan kepada kawan-kawan saya itu agar tidak mempersoalkan matahari lokal. Yang harus dilihat adalah matahari tropis, di garis bujur yang sama. Sebab, di garis bujur yang sama itu, semua kota di berbagai negara pasti memiliki jam yang sama. Cuma berbeda posisi mataharinya. Yang dijadikan patokan adalah kota di negara tropis yang mataharinya bergerak secara seimbang, pada kawasan 23,5 derajat lintang utara dan 23,5 derajat lintang selatan.
Contoh gampangnya begini. Jika di Surabaya sedang pukul 12 siang, kota-kota di garis bujur yang sama adalah jam 12 siang juga. Di bagian utara adalah kota-kota di Cina, Mongolia, dan Rusia, semua yang segaris bujur sedang berada di pukul 12 siang. Demikian pula di belahan selatan, mulai pantai barat Australia sampai ke Antartika. Bedanya, ketika di belahan utara bumi sedang musim panas, di belahan selatan sedang musim dingin.
Yang di utara siangnya lebih panjang, sedangkan yang di selatan malamnya lebih panjang. Tetapi, semua kawasan yang segaris dengan Surabaya itu berada di pukul 12 siang. Meskipun di belahan selatan sedang puncak musim dingin dan langitnya gelap seperti malam hari, substansinya kawasan itu sedang berada di siang hari. Jadi, kalau mau salat Duhur, tidak usah menunggu matahari musim panas yang baru datang beberapa bulan lagi. Laksanakan saja salat Duhur pada "malam hari" itu. Sebab, sebenarnya, meskipun langit sedang petang, sesungguhnya itu adalah pukul 12 siang...!
Demikian pula pada saat tengah malam di Surabaya. Katakanlah sedang pukul 12 malam. Kawasan-kawasan yang sedang mengalami puncak musim panas pasti sedang terang-benderang. Kalau ingin salat Tahajud, Anda tidak perlu menunggu sampai mataharinya tenggelam di musim dingin yang baru akan datang beberapa bulan lagi. Lakukan saja salat Tahajud di "siang hari" itu. Sebab, sesungguhnya, itu adalah pukul 12 malam, cuma sedang dihadiri oleh matahari. Karena itu, terjadilah salat Tahajud di siang hari, Duhur di malam hari...!
"... Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu itu, maka Dia memberikan keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah dari Alquran...'' [QS Muzzammil: 20]. Wallahu a'lam bishshawab. ●
Terkait dengan penetapan waktu ibadah salat, umat Islam di dunia internasional masih memiliki masalah yang sangat mengganjal. Saya pun masih sering memperoleh pertanyaan tentang itu. Terutama, dari kawan-kawan yang sedang melakukan perjalanan lintas waktu global, antarbenua. Atau, yang bermukim di negara-negara subtropis.
Kawan saya -cerita di tulisan sebelumnya- yang sedang melakukan perjalanan dari Seattle menuju Oklahoma itu pun bertanya tentang hal ini. "Mas, bagaimana saya menentukan waktu salatnya? Seiring pergerakan matahari ataukah mengikuti jam saja? Lantas, berpedoman ke jam yang mana?'' tanyanya, gundah.
Pertanyaan semacam itu, katanya, sudah disampaikan ke beberapa kawannya yang dianggap mengerti, tetapi belum terjawab secara tuntas, sampai dia membaca buku saya: "Tahajud Siang Hari, Duhur Malam Hari". Beberapa jawaban yang dia terima menganjurkan agar dia memanfaatkan saja "keringanan" yang diberikan Alquran, yakni dengan men-jamak-qashar salat dan mem-fidyah puasanya.
Jamak-qashar berarti mengerjakan dua waktu salat dalam satu waktu saja. Misalnya, Duhur dan Ashar dikerjakan di waktu Duhur atau boleh juga di waktu Ashar. Jumlah rakaatnya pun tidak usah empat-empat, melainkan cukup dua-dua. Demikian pula Magrib dan Isya, tiga rakaat dan dua rakaat. Dengan begitu, salat lima waktu hanya dikerjakan dalam tiga waktu saja. Sedangkan fidyah adalah tidak berpuasa dan menggantinya dengan memberikan makanan kepada orang miskin.
Tetapi, menurut dia, karena dia berada di negara lain itu dalam kurun waktu yang panjang, "Masak iya saya harus terus-menerus melakukan jamak-qashar dan fidyah? Bukankah itu hanya berlaku sementara, beberapa hari saja? Saya di AS selama sebulan untuk mengunjungi anak saya yang bersekolah di sini,'' paparnya. Pertanyaan semacam ini beberapa kali saya terima. Termasuk dari kawan saya yang bekerja di KBRI Moskow, Rusia.
Karena itu, saya menganjurkan kepada mereka mengacu kepada jam saja. Sama dengan yang sudah terjadi di Indonesia. Setiap salat tidak perlu lagi melihat posisi matahari. Cukup melihat jam tangan atau jam dinding atau jam HP. Bahwa salat Subuh di wilayah tropis adalah sekitar pukul 4 sampai pukul 5 pagi. Duhurnya antara pukul 12 sampai pukul 3 siang. Asharnya pukul 3 sampai pukul 6 sore. Magrib antara pukul 6 sampai pukul 7 petang. Isya antara pukul 7 sampai menjelang subuh.
Pertanyaannya adalah: bagaimana salat pada musim panas yang waktu siangnya bisa jauh lebih panjang? Bisa saja, Magrib baru masuk pukul 10 malam. Atau di tempat yang lebih utara lagi bisa pukul 11 atau 12 malam. Atau, bahkan tidak tenggelam? Saya menganjurkan kepada kawan-kawan saya itu agar tidak mempersoalkan matahari lokal. Yang harus dilihat adalah matahari tropis, di garis bujur yang sama. Sebab, di garis bujur yang sama itu, semua kota di berbagai negara pasti memiliki jam yang sama. Cuma berbeda posisi mataharinya. Yang dijadikan patokan adalah kota di negara tropis yang mataharinya bergerak secara seimbang, pada kawasan 23,5 derajat lintang utara dan 23,5 derajat lintang selatan.
Contoh gampangnya begini. Jika di Surabaya sedang pukul 12 siang, kota-kota di garis bujur yang sama adalah jam 12 siang juga. Di bagian utara adalah kota-kota di Cina, Mongolia, dan Rusia, semua yang segaris bujur sedang berada di pukul 12 siang. Demikian pula di belahan selatan, mulai pantai barat Australia sampai ke Antartika. Bedanya, ketika di belahan utara bumi sedang musim panas, di belahan selatan sedang musim dingin.
Yang di utara siangnya lebih panjang, sedangkan yang di selatan malamnya lebih panjang. Tetapi, semua kawasan yang segaris dengan Surabaya itu berada di pukul 12 siang. Meskipun di belahan selatan sedang puncak musim dingin dan langitnya gelap seperti malam hari, substansinya kawasan itu sedang berada di siang hari. Jadi, kalau mau salat Duhur, tidak usah menunggu matahari musim panas yang baru datang beberapa bulan lagi. Laksanakan saja salat Duhur pada "malam hari" itu. Sebab, sebenarnya, meskipun langit sedang petang, sesungguhnya itu adalah pukul 12 siang...!
Demikian pula pada saat tengah malam di Surabaya. Katakanlah sedang pukul 12 malam. Kawasan-kawasan yang sedang mengalami puncak musim panas pasti sedang terang-benderang. Kalau ingin salat Tahajud, Anda tidak perlu menunggu sampai mataharinya tenggelam di musim dingin yang baru akan datang beberapa bulan lagi. Lakukan saja salat Tahajud di "siang hari" itu. Sebab, sesungguhnya, itu adalah pukul 12 malam, cuma sedang dihadiri oleh matahari. Karena itu, terjadilah salat Tahajud di siang hari, Duhur di malam hari...!
"... Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu itu, maka Dia memberikan keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah dari Alquran...'' [QS Muzzammil: 20]. Wallahu a'lam bishshawab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar