Trans
Pacific-Partnership untuk Siapa?
Tirta N Mursitama ; Fungsional Widyaiswara
Kementerian Hukum dan HAM RI
SINDO,
28 Juli 2012
Setelah sukses menyelenggarakan Diaspora Indonesia, Duta Besar
Indonesia untuk Amerika Serikat Dino Pattijalal kembali menggelar inisiatif
inovatif kali ini di Tanah Air.
Tanggal 15-17 Juli lalu Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia
menyelenggarakan The 1st US Indonesia
Think Tank Conference (TTC), sebuah ajang tukar pikiran tentang masalah
strategis dunia antara para cendekiawan AS dan Indonesia serta para pengambil
kebijakan luar negeri Indonesia. Konferensi tersebut dihadiri oleh sekitar 20
cendekiawan terkemuka dari AS dan 20 orang dari Indonesia dari pusat kajian
ternama yang ada di Indonesia.
Topik yang dibicarakan pun sangat beragam dari aspek geopolitik, posisi strategis kerja sama ekonomi politik kawasan, isu demokratisasi hingga hak asasi manusia. Tentu semua isu tersebut penting. Salah satu yang menjadi perhatian tulisan ini adalah mengenai Trans-Pacific Partnership (TPP) yang menjadi salah satu topik hangat konferensi tersebut. Tulisan ini membahas untuk kepentingan siapa sebenarnya TPP ini. TPP pada awalnya merupakan inisiatif Chile, Selandia Baru, dan Singapura.
Kemudian pada bulan April 2005 bergabunglah Brunei Darussalam. Keempat negara inilah yang disebut pendiri. Inisiatif kerja sama perjanjian bebas multilateral yang bertujuan meliberalisasi ekonomi di Asia-Pasifik ini kemudian secara resmi berdiri dan efektif berlaku pada 2006. Sebagai sebuah inisiatif kerja sama yang membentang kawasan cukup luas ini, sepertinya tidak mendapat tanggapan menggembirakan.
Apalagi di tengah berbagai inisiasi regionalisme ekonomi berbagai kawasan dan subkawasan yang bergerak dinamis di Asia maupun Amerika Utara.Situasi mulai berubah ketika AS bergabung pada 2008. Di saat perekonomian global yang fluktuatif bahkan cenderung krisis pada tahun 2008, persoalan ekonomi domestik AS dan dinamika ekonomi politik internasional di Asia menjadikan momentum bagi AS untuk bergabung.
Konteks kebangkitan kekuatan regional antara lain China dan India dan menurunnya kekuatan relatif AS di berbagai belahan dunia, membuat AS mulai melirik kerja sama TPP ini. Bahkan sejak resmi bergabung, AS semakin agresif untuk menjadikan kerja sama ini sebagai vehicle ekonomi politiko-strategis.
Sekarang AS terlihat jelas memegang kendali TPP ini salah satunya untuk mengimbangi geliat sang naga China di kawasan Asia dari sisi investasi, perdagangan, dan hak kekayaan intelektual. Saat ini selain keempat negara pendiri, TPP beranggotakan AS, Australia, Peru, Vietnam, Meksiko dan Kanada. Besaran aktivitas ekonomi dari TPP dilihat dari kombinasi GDP diperkirakan sampai USD20,5 triliun dengan jumlah pasar 658 juta orang.
Belum lagi bila Korea Selatan sepakat masuk tahun depan, maka size dari TPP ini akan menjadi USD26 triliun dengan jumlah pasar sekitar 700 juta orang. Sungguh ukuran yang tidak bisa disebut kecil. Sulit pula disebut tidak menggiurkan bagi negara-negara maupun korporasi di dunia. Terlalu sederhana bila TPP disimpulkan akan memberikan manfaat hanya dengan pertimbangan ukuran ekonomi yang menggiurkan.
Angka-angka itu tidak serta-merta menjanjikan keuntungan bagi setiap negara yang bergabung di dalamnya. Justru muncul kekhawatiran akan semakin kuatnya cengkeram AS beserta perusahaan multinasional mereka. Bukan menjadi rahasia lagi kalau AS berniat meneguhkan aturan perlindungan hak kekayaan intelektual atas produkproduk industri kreatif dan farmasi.
Muncul kekhawatiran bahwa TPP ini bila diimplementasikan akan menjadi rezim perdagangan yang sangat rigid, menguntungkan AS namun merugikan negara lain. Misalnya pengaturan tentang hak kekayaan intelektual yang mengharuskan negara anggota mengadopsi atau mengubah hukum perlindungan kekayaan intelektual mereka mengikuti keinginan dan agenda AS.
Posisi Indonesia
Keputusan (sementara) Indonesia untuk tidak bergabung dalam skema ini harus diapresiasi. Paling tidak hingga saat ini Indonesia masih menolak bergabung dalam skema TPP. Keputusan Indonesia tersebut dapat dilihat dari dua hal. Pertama, Indonesia tidak mau terjerumus pada lubang yang sama bila berkaca pada kasus ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA).
Pada kasus yang disebut terakhir ini jelas bahwa Indonesia lebih banyak mengalami kerugian dari sisi ekonomi. Tak ayal lagi faktor ketidaksiapan domestiklah yang jadi masalah utama. Dalam kerangka TPP ini jelas sekali bahwa Indonesia tidak siap berkomitmen membuka pasar domestiknya dan khususnya dalam hal perlindungan hak kekayaan intelektual. Contoh sederhana saja adalah maraknya pembajakan film-film Hollywood, peranti lunak komputer, buku-buku dan karya industri kreatif lainnya.
Sulit dibayangkan akan terjadi razia di lapak-lapak penjual CD, VCD, DVD dan buku-buku di berbagai tempat mulai di mal-mal hingga pasar tiban di perkampungan. Walaupun menegakkan yang benar, namun karena ketidak-tegasan pemerintah dari awal, razia terhadap produk-produk tersebut akan menyebabkan ongkos sosial yang sangat besar. Kedua, Indonesia tidak yakin orkestrasi yang sedang dimainkan AS di tengah berbagai macam pengaturan kerja sama ekonomi di kawasan Asia Pasifik ini akan berjalan efektif.
Hal ini bisa dilihat dengan munculnya fenomena spaghetti bowl yang menunjukkan betapa rumitnya regionalisme ekonomi di dunia ini. Persoalan dunia saat ini semakin kompleks dan membutuhkan koordinasi transnasional di antara negara-negara secara lebih terbuka dan adil, tata kelola yang transparan dan melibatkan lebih banyak aktor yang terlibat. Tanpa itu semua, solusi substansial dan jangka panjang persoalan dunia yang makin menua ini tak dapat terpecahkan. ●
Topik yang dibicarakan pun sangat beragam dari aspek geopolitik, posisi strategis kerja sama ekonomi politik kawasan, isu demokratisasi hingga hak asasi manusia. Tentu semua isu tersebut penting. Salah satu yang menjadi perhatian tulisan ini adalah mengenai Trans-Pacific Partnership (TPP) yang menjadi salah satu topik hangat konferensi tersebut. Tulisan ini membahas untuk kepentingan siapa sebenarnya TPP ini. TPP pada awalnya merupakan inisiatif Chile, Selandia Baru, dan Singapura.
Kemudian pada bulan April 2005 bergabunglah Brunei Darussalam. Keempat negara inilah yang disebut pendiri. Inisiatif kerja sama perjanjian bebas multilateral yang bertujuan meliberalisasi ekonomi di Asia-Pasifik ini kemudian secara resmi berdiri dan efektif berlaku pada 2006. Sebagai sebuah inisiatif kerja sama yang membentang kawasan cukup luas ini, sepertinya tidak mendapat tanggapan menggembirakan.
Apalagi di tengah berbagai inisiasi regionalisme ekonomi berbagai kawasan dan subkawasan yang bergerak dinamis di Asia maupun Amerika Utara.Situasi mulai berubah ketika AS bergabung pada 2008. Di saat perekonomian global yang fluktuatif bahkan cenderung krisis pada tahun 2008, persoalan ekonomi domestik AS dan dinamika ekonomi politik internasional di Asia menjadikan momentum bagi AS untuk bergabung.
Konteks kebangkitan kekuatan regional antara lain China dan India dan menurunnya kekuatan relatif AS di berbagai belahan dunia, membuat AS mulai melirik kerja sama TPP ini. Bahkan sejak resmi bergabung, AS semakin agresif untuk menjadikan kerja sama ini sebagai vehicle ekonomi politiko-strategis.
Sekarang AS terlihat jelas memegang kendali TPP ini salah satunya untuk mengimbangi geliat sang naga China di kawasan Asia dari sisi investasi, perdagangan, dan hak kekayaan intelektual. Saat ini selain keempat negara pendiri, TPP beranggotakan AS, Australia, Peru, Vietnam, Meksiko dan Kanada. Besaran aktivitas ekonomi dari TPP dilihat dari kombinasi GDP diperkirakan sampai USD20,5 triliun dengan jumlah pasar 658 juta orang.
Belum lagi bila Korea Selatan sepakat masuk tahun depan, maka size dari TPP ini akan menjadi USD26 triliun dengan jumlah pasar sekitar 700 juta orang. Sungguh ukuran yang tidak bisa disebut kecil. Sulit pula disebut tidak menggiurkan bagi negara-negara maupun korporasi di dunia. Terlalu sederhana bila TPP disimpulkan akan memberikan manfaat hanya dengan pertimbangan ukuran ekonomi yang menggiurkan.
Angka-angka itu tidak serta-merta menjanjikan keuntungan bagi setiap negara yang bergabung di dalamnya. Justru muncul kekhawatiran akan semakin kuatnya cengkeram AS beserta perusahaan multinasional mereka. Bukan menjadi rahasia lagi kalau AS berniat meneguhkan aturan perlindungan hak kekayaan intelektual atas produkproduk industri kreatif dan farmasi.
Muncul kekhawatiran bahwa TPP ini bila diimplementasikan akan menjadi rezim perdagangan yang sangat rigid, menguntungkan AS namun merugikan negara lain. Misalnya pengaturan tentang hak kekayaan intelektual yang mengharuskan negara anggota mengadopsi atau mengubah hukum perlindungan kekayaan intelektual mereka mengikuti keinginan dan agenda AS.
Posisi Indonesia
Keputusan (sementara) Indonesia untuk tidak bergabung dalam skema ini harus diapresiasi. Paling tidak hingga saat ini Indonesia masih menolak bergabung dalam skema TPP. Keputusan Indonesia tersebut dapat dilihat dari dua hal. Pertama, Indonesia tidak mau terjerumus pada lubang yang sama bila berkaca pada kasus ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA).
Pada kasus yang disebut terakhir ini jelas bahwa Indonesia lebih banyak mengalami kerugian dari sisi ekonomi. Tak ayal lagi faktor ketidaksiapan domestiklah yang jadi masalah utama. Dalam kerangka TPP ini jelas sekali bahwa Indonesia tidak siap berkomitmen membuka pasar domestiknya dan khususnya dalam hal perlindungan hak kekayaan intelektual. Contoh sederhana saja adalah maraknya pembajakan film-film Hollywood, peranti lunak komputer, buku-buku dan karya industri kreatif lainnya.
Sulit dibayangkan akan terjadi razia di lapak-lapak penjual CD, VCD, DVD dan buku-buku di berbagai tempat mulai di mal-mal hingga pasar tiban di perkampungan. Walaupun menegakkan yang benar, namun karena ketidak-tegasan pemerintah dari awal, razia terhadap produk-produk tersebut akan menyebabkan ongkos sosial yang sangat besar. Kedua, Indonesia tidak yakin orkestrasi yang sedang dimainkan AS di tengah berbagai macam pengaturan kerja sama ekonomi di kawasan Asia Pasifik ini akan berjalan efektif.
Hal ini bisa dilihat dengan munculnya fenomena spaghetti bowl yang menunjukkan betapa rumitnya regionalisme ekonomi di dunia ini. Persoalan dunia saat ini semakin kompleks dan membutuhkan koordinasi transnasional di antara negara-negara secara lebih terbuka dan adil, tata kelola yang transparan dan melibatkan lebih banyak aktor yang terlibat. Tanpa itu semua, solusi substansial dan jangka panjang persoalan dunia yang makin menua ini tak dapat terpecahkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar