Kegagalan
Reformasi Pajak
Yustinus Prastowo ; Peneliti
Kebijakan Perpajakan Perkumpulan Prakarsa, Jakarta
KOMPAS,
30 Juli 2012
Barangkali semua pihak
sepakat bahwa pajak adalah sumber penerimaan negara yang penting. APBN semakin
bergantung pada penerimaan pajak.
Tahun 2012, penerimaan pajak
ditargetkan sebesar Rp 1.011,73 triliun, atau hampir 70 persen dari pendapatan
nasional. Karena itu, wajar jika publik sedemikian murka ketika melihat korupsi
yang melibatkan beberapa pegawai pajak terus saja terjadi. Di satu sisi,
realitas ini menggugat sejauh mana efektivitas reformasi birokrasi di
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak yang selama ini dinilai paling maju
dibandingkan dengan kelembagaan lain.
Namun, di sisi lain,
banyaknya praktik penyimpangan yang terungkap justru menjadi pesan kepada
publik bahwa ikhtiar ”bersih-bersih” itu sebagai tanda sistem reformasi telah
berjalan ke arah yang benar meskipun tidak mudah. Harus diakui, peristiwa
penangkapan pegawai pajak oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini
atas laporan kantor pajak yang sudah lama diintip.
Visi Besar tentang Pajak
Tidak semua orang ingin
membayar pajak dan banyak celah untuk memanipulasi pajak. Tanpa bermaksud
menyederhanakan, rasio perpajakan Indonesia, yaitu perbandingan antara
penerimaan pajak dan produk domestik bruto, hingga saat ini tak kunjung
optimal. Baru mencapai 12,1 persen, berada di bawah Malaysia dan Thailand yang
sudah mencapai 17 persen, atau Korea Selatan 24 persen, dan negara-negara
anggota OECD sebesar 34 persen.
Banyak sebab untuk
menjelaskan keadaan ini, dua di antaranya adalah masih rendahnya kesadaran
masyarakat untuk membayar pajak dan belum optimalnya kinerja institusi
perpajakan.
Mengapa kita sebut institusi
perpajakan? Sebab, perkara pajak bukan sekadar perkara Ditjen Pajak, meskipun
karena memiliki kewenangan yang sangat besar peran Ditjen Pajak sangat
strategis. Tiga ranah sistem perpajakan—yakni kebijakan (tax policy), undang-undang (tax
law), dan administrasi (tax
administration)—harus diperbaiki dalam satu tarikan napas.
Dalam hal ini, Presiden dan
DPR memegang peran kunci dalam mereformasi perpajakan. Yang menjadi persoalan
adalah apakah keduanya memiliki visi besar tentang pajak? Rasanya jauh panggang
dari api.
Bahkan, jika boleh jujur,
sebagian besar praktik kolusi perpajakan melibatkan peran pejabat negara dan
politisi yang bersekongkol dengan wajib pajak nakal. Ini masih ditambah dengan
berbagai upaya mengerdilkan peran Ditjen Pajak melalui politik transaksional,
di mana institusi penegak hukum, baik kejaksaan maupun kepolisian, patut diduga
melakukan pelemahan institusional dengan cara menawan masa lalu para pejabat
pajak.
Maka, kian gamblang bahwa
persoalan perpajakan yang mengemuka adalah muara dari tiadanya visi besar
bangsa ini akan sistem perpajakan. Yang ada adalah kontestasi kepentingan
jangka pendek dan bercorak transaksional berdaya rusak tinggi.
Reformasi Perpajakan
Menurut Vito Tanzi (2006),
reformasi pajak sedikitnya harus mencakup tiga indikator. Ketiganya adalah
peningkatan penerimaan pajak (raising tax),
pengukuran pajak langsung dan pajak tidak langsung (redress direct tax- indirect tax), serta mengurangi korupsi (reduce corruption), termasuk
pengemplangan, penghindaran, dan korupsi pajak (tax avoidance, tax evasion, tax corruption).
Hal ini didukung oleh
berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa reformasi perpajakan akan berhasil
jika melewati beberapa ukuran. Pertama, sistem perpajakan yang baik akan
menurunkan penghindaran dan penyelundupan pajak (Luigi Bernardi, 2006). Kedua, reformasi perpajakan dikatakan
berhasil apabila struktur penerimaan pajak mencerminkan keadilan, beban pajak
berbanding lurus dengan kemampuan membayar pajak (Rendetti, 2010).
Ketiga, penelitian Ahmed
Riahi-Belkaoui (2008) menunjukkan bahwa kepatuhan pajak (tax compliance) berbanding lurus dengan kontrol terhadap korupsi
dan debirokratisasi.
Keempat, penelitian Benno
Torgler yang menemukan keterkaitan antara kepatuhan pajak dan pelayanan publik
yang baik, dapat dipercayanya lembaga peradilan, serta praktik demokrasi yang
baik.
Apa yang tampak dari empat
tolok ukur di atas adalah bahwa kegagalan reformasi perpajakan dan pengembangan
sistem perpajakan yang baik adalah wujud dari kegagalan proses kelembagaan.
Proses kelembagaan yang semrawut ini tentu memiliki akar, yaitu miskinnya
gagasan dan visi kepublikan.
Bangsa Indonesia sudah
terlampau akut tersandera kepentingan sesat perburuan rente dengan menggangsir
uang negara serta secara gesit dan kompak saling memangsa agar tidak binasa.
Sajian yang muncul di media
massa tidak lain dari wajah kesemrawutan tata kelembagaan. Ketika DPR tidak
merumuskan kebijakan perpajakan yang komprehensif, saat Presiden hanya sibuk
menyalahkan jajarannya, dan ketika Ditjen Pajak, Kejaksaan, dan Kepolisian—tiga
institusi yang seharusnya bersatu padu mengejar pengemplang—saling menyandera
karena menjadi tawanan masa lalu.
Membersihkan Aparatur
Dengan demikian, jelas bahwa
satu-satunya solusi agar Ditjen Pajak menjadi institusi yang kuat dan bersih
adalah melakukan reformasi tata kelembagaan. Lingkungan harus berubah. DPR dan
Presiden segera merumuskan visi baru reformasi perpajakan dengan memerhatikan best practices dari negara lain.
Undang-Undang Perpajakan
perlu dirombak total agar mencerminkan visi keadilan, kepastian hukum, perlindungan
hak wajib pajak, dan rancang bangun institusi perpajakan yang kuat dan
akuntabel. Administrasi perpajakan dibuat sederhana, menjamin kepastian,
menerapkan mekanisme reward and
punishment yang baik, serta didukung aparatur yang profesional dan berintegritas.
Selanjutnya, perlu
pengaturan kelembagaan yang baik antara institusi perpajakan dan institusi
penegakan hukum. Saling sandera dan membinasakan tentu saja hanya akan
menghancurkan institusi itu sendiri dan membawa dampak bagi aparatur yang berkomitmen
tinggi pada reformasi.
Agar lepas dari tawanan,
institusi pemerintahan harus dibebaskan dari pemimpin yang memiliki cacat
bawaan. Para pejabat Ditjen Pajak, Kejaksaan, dan Kepolisian yang merasa
dirinya tidak bersih dan menjadi penghambat reformasi harus menyingkir dan
melempengkan jalan bagi generasi baru.
Jika itu pun sulit
dilakukan, secara teknis akan sangat mudah diselesaikan melalui pemeriksaan
pajak. Di bawah supervisi KPK, politisi dan pejabat negara sebagai wajib pajak
harus diperiksa surat pemberitahuan (SPT) yang disampaikannya, dengan risiko
dipidana sesuai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, apabila terbukti tidak mengisi dengan benar.
Kita layak berharap pada
benteng terakhir ini karena menemukan
politisi dan pejabat negara jujur lebih sulit dibandingkan memasukkan seekor
unta ke lubang jarum. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar