Era
Demokrasi Libya
Zuhairi Misrawi ; Analis
Ekonomi Society Research and Humanity Development (SERUM) Institute
KOMPAS,
28 Juli 2012
Setelah rezim Moammar
Khadafy jatuh, rakyat Libya kini menyongsong lahirnya abad demokrasi. Selama
kurang lebih enam dekade mereka hidup di bawah rezim otoriter. Angin revolusi
yang berembus di Tunisia dan Mesir telah memaksa Khadafy kehilangan nyawa
sekaligus kursi kekuasaannya.
Kini, demokrasi berembus
dengan sebuah harapan baru. Hasil pemilu yang digelar pada 7 Juli lalu
memberikan sinyal kuat tentang wajah demokrasi di negeri kaya minyak tersebut.
Aliansi Kekuatan Nasional
yang dipimpin Mahmoud Jibril memperoleh 39 kursi dari 80 kursi jatah partai.
Sementara Partai Keadilan dan Pembangunan, sayap politik Ikhwanul Muslimin
Libya, hanya mendapat 17 kursi. Menurut Oliver Miles, pemilu yang berlangsung
di Libya merupakan modal dasar bagi terbangunnya budaya demokrasi dalam
beberapa tahun yang akan datang. Setidaknya, pemilu merupakan langkah yang
tepat untuk mewujudkan stabilitas politik (The Guardian, 11 Juli).
Hasil tersebut dapat disebut
sebagai anomali dari gemuruh musim semi Islamis di beberapa negara
pasca-revolusi, yang telah mengantarkan dua partai Islam ke panggung kekuasaan:
Ennahda di Tunisia dan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Di Libya, kelompok
nasionalis Libya lebih mendapatkan dukungan publik daripada kubu Islamis.
Ada tiga alasan di balik
kemenangan kubu nasionalis. Pertama, publik puas dengan kinerja Dewan Transisi
Nasional (NTC) yang berhasil menumbangkan rezim Khadafy sekaligus mengawal
transisi. Terlepas dari berbagai kekurangan, NTC memang patut diacungi jempol
karena mampu mengendalikan pemerintahan sementara dengan baik.
Eksplorasi
minyak sudah berjalan dan kekayaan Libya yang dibekukan di luar negeri sudah
bisa dikembalikan ke kas negara.
Kedua, kubu nasionalis
umumnya sosok yang religius. Mereka umumnya aktivis politik berwawasan
kebangsaan, tetapi di sisi lain dikenal sebagai Muslim yang taat. Karena itu,
rakyat Libya tak menyoal visi kebangsaan mereka karena kebangsaan tidak jadi
antitesa terhadap keislaman. Bahkan, kubu nasionalis dianggap sebagai harapan
baru karena mampu menyinergikan antara kebangsaan dan keislaman.
Ketiga, kubu nasionalis
punya hubungan diplomatik yang baik dengan negara-negara Arab dan Barat. Di
antara mereka, khususnya Mahmoud Jibril, adalah seorang diplomat ulung pada
rezim Khadafy, yang lalu membelot sebagai pihak oposisi. Selama revolusi
berlangsung, kubu nasionalis merupakan pihak yang telah berhasil melakukan
diplomasi dengan negara-negara lain, khususnya dalam mendapatkan dukungan penuh
untuk menggulingkan Khadafy.
Ketiga hal itu merupakan
modal demokrasi yang sangat luar biasa karena perdebatan soal SARA bisa
diminimalisasi. Kubu nasionalis mampu meyakinkan publik, yang memungkinkan
demokrasi tidak hanya berlangsung secara prosedural, tetapi juga secara
substansial. Parpol sejak awal dilarang menggunakan ideologi berlatar agama
tertentu. Di samping itu, kalangan perempuan diberikan ruang berpartisipasi di
dalam politik praktis. Pada pemilu lalu, 30 persen perempuan lolos menjadi
anggota parlemen sesuai dengan amanat perundang-undangan.
Potret ini berbeda jauh
dengan kualitas demokrasi di beberapa negara Arab lainnya, yang masih mengalami
krisis keterlibatan perempuan di parlemen. Karena itu, potret demokrasi di
Libya memberikan secercah harapan jika dibandingkan beberapa negara Arab
lainnya, yang sedang disapu angin revolusi, khususnya Tunisia dan Mesir.
Tantangan
Meski demikian, demokrasi
tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan. Demokrasi butuh proses panjang
dan berliku. Persoalan yang harus diperhatikan oleh Aliansi Kekuatan Nasional
adalah soal stabilitas politik dan keamanan nasional. Ada dua tugas yang harus
diemban, yaitu membentuk pemerintahan baru dan menyusun konstitusi yang akan
dijadikan acuan dalam demokrasi.
Secara politis, Aliansi
Kekuatan Nasional belum mengendalikan penuh parlemen. Mereka hanya
mengendalikan 39 kursi dari 200 kursi; 80 kursi jatah partai, 120 kursi jatah
kandidat independen. Untuk memastikan stabilitas politik, perlu upaya merangkul
kandidat independen sehingga pemerintahan baru dapat berjalan stabil dengan
dukungan politik lebih dari 100 kursi.
Selain itu, pembentukan
konstitusi baru yang akan menjadi platform demokrasi akan sangat menentukan
masa depan Libya. Perdebatan yang akan berlangsung sengit di Dewan Konstituante
soal formalisasi Syariat Islam. Di semua negara Arab, Islam menjadi agama
negara dan Syariat Islam sebagai sumber perundang-undangan. Selama ini, ada dua
model yang berkembang, yaitu Syariat Islam sebagai sumber hukum dan Syariat
Islam sebagai sumber etika.
Libya pasca-Khadafy akan
dihadapkan pada dua pilihan tersebut. Jika melihat komposisi parlemen dan arus
utama politik saat ini, mereka yang mendukung Syariat Islam sebagai sumber
etika jauh lebih dominan daripada yang mendukung Syariat Islam sebagai sumber
hukum. Apalagi pemikiran sosialis dengan cita rasa Islam sudah mendarah daging
sejak rezim Khadafy.
Persoalan yang membutuhkan
pemikiran serius di samping stabilitas politik adalah keamanan nasional. Libya
perlu membentuk kembali aparat keamanan, baik polisi maupun militer. Saat ini,
aparat keamanan ditengarai masih belum kuat sehingga di beberapa wilayah mudah
ditaklukkan oleh para milisi yang berafiliasi dengan rezim lama, khususnya di
Nafusa, Kufra, dan Sabha. Bahkan, saat pemilu berlangsung, para milisi tersebut
mencuri kotak suara sehingga mengganggu pemilu.
Menurut Frederic Wehrey
dalam Libya’s Militia Menace: The
Challenge After the Election, pemerintahan baru harus melakukan dua hal
sekaligus. Pertama, memperkuat institusi kepolisian dan militer dengan cara
melakukan pendidikan dan pelatihan bagi aparat keamanan. Kedua, pemerintahan
baru harus fokus pada penegakan hukum.
Maraknya kriminalitas di beberapa daerah
yang konon berafiliasi pada rezim lama dipicu oleh persoalan sengketa tanah dan
pembunuhan. Adanya penegakan dan kepastian hukum terhadap mereka yang melanggar
hukum akan mampu meminimalisasi eksistensi hukum rimba, khususnya mereka yang
masih bersenjata.
Pada akhirnya, konsensus
nasional yang direpresentasikan melalui pemilu yang jujur, bebas, adil, dan
bersih akan jadi kunci utama bagi masa depan demokrasi di Libya. Khaled
al-Hurub dalam Libya Ma Ba’da al-Tsawrah:
Bidayah al-Jumhuriyyah al-Ula menegaskan, momentum demokratisasi di Libya
sangat menggembirakan. Sebab, ini untuk pertama kalinya rakyat Libya punya
kedaulatan politik untuk membangun negara republik yang pertama kali dalam
sejarah. Meskipun harus disadari pula, untuk mewujudkan cita- cita tersebut bukanlah
hal yang mudah mengingat kuatnya pengaruh rezim lama dalam realitas
sosial-politik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar