Senin, 30 Juli 2012

Industrialisasi Perikanan Budi Daya

Industrialisasi Perikanan Budi Daya
Rokhmin Dahuri ; Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB), Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia
SINDO, 30 Juli 2012


Kendati secara makroekonomi Indonesia mengundang decak kagum sejumlah lembaga pemeringkat internasional, kehidupan riil mayoritas rakyat Indonesia masih susah.Rakyat banyak yang menganggur, setengah menganggur, dan miskin. 

Harga bahan pangan (beras, jagung, kedelai, gula, dan daging) terus melambung, tidak terjangkau oleh daya beli mereka. Dengan begitu, orang yang kelaparan, bergizi buruk pun, kian membeludak. Demikian pula halnya dengan pendidikan dan biaya hidup lainnya. Makanya, akhir-akhir ini peristiwa bunuh diri, membunuh orang lain, dan aksi kriminalitas kian masif.

Ironisnya, sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia, dengan lahan daratan dan laut yang subur, sampai sekarang Indonesia masih belum mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangannya. Impor beras, jagung, kedelai, gula, daging, garam, dan produk hortikultura dari tahun ke tahun bahkan cenderung naik. Tak heran kalau hari-hari ini rakyat dibuat kalang kabut karena impor kedelai dan gula dari AS dan India tersendat akibat kemarau panjang yang melanda kedua negara tersebut.

Para perajin tahu dan tempe pun melakukan demonstrasi di mana-mana. Ini fakta tak terbantahkan bahwa Indonesia memang rentan terlanda krisis pangan. Suatu kondisi yang bisa menjegal kemajuan, kemakmuran, dan kemandirian bangsa Indonesia sebab negara dengan penduduk lebih dari 100 juta orang tidak mungkin bisa maju jika kebutuhan pangannya bergantung pada impor (FAO,1998).

Di tengah era perubahan iklim global, yang membuat cuaca sering anomali dan ekstrem, satu-satunya jalan supaya kita bisa lepas dari ketergantungan pada impor dan mandiri di bidang pangan adalah menggenjot produksi semua komoditas pangan yang bisa diproduksi di dalam negeri (terutama bahan pangan pokok) sehingga supply-nya lebih besar ketimbang kebutuhan nasional.

Untuk itu, selain harus terus meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha pertanian,kita pun mesti mempertahankan, dan kalau bisa, menambah luas lahan pertanian. Permasalahannya, luas lahan pertanian justru dari tahun ke tahun semakin berkurang, sekitar 40.000 hektare (ha) per tahun beralih fungsi menjadi kawasan permukiman, industri, infrastruktur, dan peruntukan pembangunan lainnya.

Sebab itu,akuakultur (perikanan budi daya), khususnya di laut (mariculture), menjadi alternatif yang sangat potensial untuk membangun kedaulatan pangan nasional. Pasalnya, Indonesia memiliki potensi produksi akuakultur terbesar di dunia, sekitar 57,7 juta ton/tahun,dan pada 2010 baru dihasilkan 7 juta ton atau 12% dari total potensi produksinya.

Artinya, peluang untuk meningkatkan produksi pangan dari akuakultur masih sangat besar. Sampai sekarang wilayah laut Indonesia yang telah dimanfaatkan untuk usaha mariculture kurang dari 1%. Lahan pesisir yang cocok (suitable) untuk budi daya tambak seluas 1,22 juta ha yang tersebar di seluruh Nusantara baru diusahakan 500.000 ha alias kurang dari separuhnya. Demikian pula pemanfaatan perairan tawar (danau, sungai, waduk, saluran irigasi, kolam, dan sawah) hingga saat ini masih jauh dari optimal.

Lebih dari itu, akuakultur tidak hanya dapat memproduksikan, udang, kerang, kepiting, teripang, dan jenis fauna lainnya, tetapi juga bisa menghasilkan makro algae (rumput laut), micro algae (fito plankton), dan makrofita (lamun=seagrass) yang merupakan bahan baku untuk industri makanan dan minuman, pakan (feed), ingredients, farmasi, kosmetik, biofuel, kertas, dan beragam industri lainnya.

Seiring dengan terus berkembangnya ilmu bioteknologi, terutama biologi molekuler dan rekayasa genetik (genetic engineering), dalam dua dasawarsa terakhir telah diproduksi bibit padi, jagung, dan kedelai yang bisa hidup,tumbuh, dan berkembang di perairan laut (salt tolerant) (Zilinkas and Lundin, 1995). Terobosan ini membuka peluang untuk menggunakan laut atau ekosistem perairan tawar untuk budi daya berbagai jenis tanaman pangan atau hortikultura yang selama ini ditanam di daratan.

Supaya akuakultur dapat menghasilkan ikan, seafood, dan ratusan produk lain seperti itu dalam jumlah besar dan menguntungkan (profitable) secara berkelanjutan, usaha akuakultur harus dikelola secara industrial yang ramah lingkungan dan inklusif. Ada enam kunci industrialisasi akuakultur yang ramah lingkungan dan inklusif.

Pertama, setiap usaha akuakultur harus memenuhi skala ekonominya. Kedua, penerapan Best Aquaculture Practices (Cara Budi Daya yang Baik) secara disiplin. Mulai dari pemilihan lokasi, penggunaan bibit dan benih unggul (SPF dan SPR), pakan berkualitas, pengendalian hama dan penyakit, pengelolaan kualitas tanah dan air, pond engineering (tata letak dan desain kolam, jaring apung, dan lainnya), serta biosecurity (keamanan hayati). Ketiga, penerapan integrated supply-chain management.

Keempat, terus menerus melakukan inovasi dan automatisasi. Kelima, penerapan prinsip-prinsip pembangunan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Keenam,memberikan akses selebar-lebarnya kepada rakyat kecil untuk dapat menjalankan usaha akuakultur industrial yang ramah lingkungan dan inklusif ini.

Dengan mengaplikasikan usaha akuakultur industrial yang ramah lingkungan dan inklusif tersebut di seluruh wilayah Nusantara, Indonesia diyakini tidak hanya akan berdaulat di bidang pangan, energi, dan farmasi; tetapi juga menjadi eksportir utama sejumlah produk akuakultur dan rakyat menjadi sejahtera menuju Indonesia yang maju dan adil-makmur pada 2025, insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar