Miskin
Bukan Hambatan untuk Maju
Luki Aulia ; Wartawan Kompas
KOMPAS,
24 Juli 2012
Tidak pernah terbayangkan
sebelumnya oleh Dade (18) dan Vera (18) bisa kuliah ke luar negeri. Bisa
menyelesaikan pendidikan SMA saja sudah sangat beruntung. Maklum, keduanya
bukan dari keluarga yang berkecukupan.
Dade Daflian Abryantoni
adalah anak penjahit kecil-kecilan di Malang, Jawa Timur. Adapun Vera Dona anak
penjaga toko di Palembang, Sumatera Selatan.
Sekitar tiga tahun lalu,
hampir saja Dade mengurungkan impiannya melanjutkan sekolah ke SMA. Dengan
penghasilan ayahnya, Sunarto, yang tidak menentu sebagai penjahit kecil-kecilan
di rumah, Dade semula memilih bekerja membantu orangtuanya.
Sebagai anak tunggal dari
pasangan Sunarto-Sri Kustya Dewi, Dade merasa bertanggung jawab membantu
ekonomi keluarganya. Apalagi karena sekarang ibunya tidak lagi bekerja sebagai
buruh pabrik rokok karena sudah tidak kuat.
Ketika hampir putus asa,
tiba-tiba datang tawaran beasiswa dari SMA Negeri 10 Malang. Namun, bukan untuk
bersekolah di sana, melainkan tawaran beasiswa Sampoerna Foundation.
”Saya tertarik karena ada
beasiswanya. Ada syarat, harus buat karangan dalam bahasa Inggris. Karena
bahasa Inggris saya tidak bagus, baru bisa selesai dua hari,” kata Dade yang
sebelumnya bersekolah di SMP Negeri 1 Malang.
Pengalaman serupa dirasakan
Vera yang berasal dari Indralaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Penghasilan
kedua orangtuanya sebagai penjaga toko selalu pas-pasan untuk membiayai
kebutuhan sekolahnya ketika masih di SMP Negeri 1 Indralaya.
Kini, dengan bantuan dan
beasiswa tiga tahun di Sampoerna Academy, Vera meraih kesempatan kuliah ilmu
politik di University of Hawaii at Manoa,
Amerika Serikat. Kesempatan itu tidak mudah diperoleh karena ia harus berusaha
keras meraih nilai terbaik dalam SAT dan TOEFL.
”Setelah terpilih, saya
disuruh pilih universitasnya. Akhirnya saya pilih di Hawaii,” kata Vera.
Ayahnya semula khawatir
karena Vera jauh dan akan sendirian. Namun, ibunya mendukung karena bisa kuliah
di luar negeri merupakan kesempatan langka. ”Kini kedua orangtua mendukung.
Mudah-mudahan doa orangtua menjadi berkah,” kata Vera.
Fasih Bahasa Inggris
Sampoerna Foundation membuka
kesempatan sekolah jenjang SMA bagi siswa dari keluarga prasejahtera, tetapi
berprestasi. Sekolah itu didirikan di Malang, Palembang, dan Bogor dengan
jumlah siswa keseluruhan 993 orang. Siswa diseleksi dari keluarga yang
betul-betul miskin, tetapi punya kemauan kuat belajar. Selama tiga tahun, siswa
mendapat beasiswa dan tinggal di asrama.
”Tinggal di asrama untuk
pembentukan karakter, melatih disiplin, kemandirian, dan mempererat rasa
kekeluargaan sesama siswa,” kata Managing
Director Putera Sampoerna Foundation Nenny Soemawinata.
Karena berasal dari keluarga
prasejahtera, banyak siswa yang awalnya kaget dengan kondisi asrama. Misalnya,
ada beberapa siswa yang tak mengenal selimut, tak biasa tidur di tempat tidur
empuk, kuatnya rasa minder atau rasa tidak percaya diri siswa, pemalu, dan tak
fasih berbahasa Inggris.
Namun, semuanya itu berubah
setelah tiga tahun sekolah dan tinggal di asrama. Rasa percaya diri siswa
tumbuh dan berkembang, siswa memiliki disiplin tinggi, jiwa kepemimpinan
tumbuh, hingga fasih berbahasa Inggris. Maklum saja, bahasa Inggris menjadi
bahasa sehari-hari di sekolah itu. Semua mata pelajaran disampaikan dalam
bahasa Inggris kecuali Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan serta Bahasa
Indonesia.
”Bahkan, tugas-tugasnya pun
dikerjakan dalam bahasa Inggris,” kata Dade yang berasal dari Tanjungrejo,
Malang, dan akan melanjutkan pendidikan ke teknik mesin di Lone Star Community College, Amerika Serikat.
Bukan hanya Dade yang akan
melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Tahun ini Sampoerna Academy yang didirikan Sampoerna Foundation meluluskan 226 siswa dari SMA yang ada di
Malang dan Palembang.
Dari 226 siswa tersebut, 15
orang diterima di perguruan tinggi negeri melalui jalur undangan dan 129 siswa
lulus jalur ujian tulis seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri. Selain
itu, 25 siswa juga akan melanjutkan pendidikan ke sejumlah perguruan tinggi di
Amerika Serikat, seperti Texas Tech
University, University of Missouri, University of Minnesota, West Virginia
University, University of Hawaii at Manoa, University of Kentucky, serta Lone Star Community College.
Amerika Serikat menjadi
pilihan karena baru universitas-universitas tersebut yang menjalin kerja sama
dengan Sampoerna Foundation. Dalam
kerja sama itu, Sampoerna Foundation
memberikan beasiswa dan pinjaman biaya hidup bagi mahasiswa selama kuliah.
Setelah lulus menjadi
sarjana dan bekerja, mereka harus mengembalikan pinjaman biaya hidup tersebut
kepada Koperasi Siswa Bangsa yang
didirikan siswa-siswa Sampoerna Academy.
”Pengembalian pinjaman tersebut tanpa bunga dan ditujukan untuk pinjaman
adik-adik kelas mereka agar program pengiriman siswa kuliah ke luar negeri bisa
terus berjalan,” kata Nenny.
Jauh dari Orangtua
Berpisah dari orangtua dan
tinggal nun jauh di Amerika Serikat tentu tak terbayangkan sebelumnya. Namun,
para orangtua merasa bangga kepada anak-anak mereka.
”Ia harus lebih baik
daripada saya,” kata Suwito bersama istrinya, Srinawati. Anak mereka, Evie
Susilowati, akan melanjutkan kuliah di jurusan teknik penerbangan di University of Minnesota. Suwito kini
berdinas di kepolisian Madiun, Jawa Timur.
Rasa bangga juga menyelimuti
orangtua siswa yang lain. Mereka tidak menyangka anak mereka bisa kuliah di
Amerika Serikat tanpa mengeluarkan biaya sedikit pun atau bisa kuliah di
perguruan tinggi terkemuka di Tanah Air.
Mereka merasa yakin, lilitan
kemiskinan tidak bisa dijadikan alasan bagi anak-anak mereka untuk maju,
belajar, dan meraih cita-cita demi kemajuan bangsa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar