Demokrasi
dan Horor Korupsi
Gunarto ; Guru Besar Fakultas
Hukum,
Wakil
Rektor II Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang
SUARA
MERDEKA, 28 Juli 2012
PEGIAT demokrasi dengan penuh
kebanggaan menempatkan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia.
Tak ada negara demokrasi manapun di dunia, yang begitu liberal menerapkan
sistem demokrasinya melebihi Indonesia, termasuk Amerika sekalipun. Sebab, di
Indonesia, tidak hanya kepala daerah dan anggota legislatif yang dipilih
langsung, tetapi juga gubernur, bupati/ wali kota, dan bahkan sampai
kepala desa. Karena itu, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mengatakan,’’
Inilah negara demokrasi terbesar di dunia yang menerapkan sistem demokrasi
secara liberal sampai tingkat paling bawah’’.
Sistem demokrasi liberal itu
dibangun di atas paradigma bahwa keterlibatan rakyat secara langsung merupakan
manifestasi aspirasi dan kepercayaan mutlak yang karena itu dapat disebut
legitimasi paling sahih dalam sistem pengelolaan kekuasaan. Maka tak heran jika
suara rakyat, dalam sistem demokrasi dianggap suara Tuhan (vox populi, vox dae).
Tetapi seiring bergulirnya
demokrasi ini, kita disuguhi bencana perilaku korupsi di tingkat kekuasaan yang
begitu besar. Sudah tak terhitung kepala daerah, menteri, ataupun anggota
legislatif (pusat/daerah) terjerat oleh penyakit kekuasaan itu. Sampai hari
ini, korupsi masih menjadi momok berita sehingga menimbulkan ketidakpercayaan.
Bahkan, anggota DPR Akbar Faishal menyebut mengarah pada negara gagal karena
sudah tak ada kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara negara.
Kita harus menyadari bahwa
sesungguhnya demokrasi bukan tujuan melainkan cara atau jalan untuk menuju
tujuan bernegara, yang salah satu dimensinya bermuara pada adanya perlindungan
kolektif terhadap tiap warga negara. Tetapi idealisme demokrasi justru tidak
berbanding lurus dengan realitas. Demokrasi kita bersifat sangat kapitalistik,
dikendalikan oleh kekuatan daya dukung kapital.
Kapitalisasi demokrasi terjadi
karena beberapa sebab. Pertama; disparitas ekonomi yang terlalu mencolok. Ada
sebagian masyarakat memiliki basis ekonomi begitu mapan, sementara sebagian
besar lainnya justru hidup dalam himpitan ekonomi. Ruang disparitas ini menjadi
alasan untuk mengompensasi suara atau dukungan politik dengan imbalan uang.
Kedua; perbedaan/ kesenjangan
pendidikan. Harus diakui populasi masyarakat pemilih, di Jawa sekalipun,
didominasi oleh pemilih dengan standar pendidikan sekolah dasar. Rendahnya
pendidikan ini menyebabkan terbatasnya pemahaman pentingnya menerapkan
demokrasi dengan baik dan benar.
Ketiga; kesenjangan informasi
yang bisa diakses pemilih baik mengenai sistem demokrasi maupun figur yang akan
mereka pilih. Persoalan ketiga ini sangat erat kaitannya dengan persoalan
pertama dan kedua. Masyarakat yang miskin secara ekonomi, cenderung miskin pula
secara pendidikan dan sumber-sumber informasi.
Kembali ke Hukum
Namun sejarah tidak perlu
berputar kembali. Sejarah harus tetap berjalan menuju destinasi kemajuan dan
kemapanan peradaban. Karena itu perlu langkah fundamental untuk pembenahan.
Pertama; revitalisasi nilai-nilai hukum, seperti kejujuran, kebenaran, dan
keadilan yang tidak semata-mata tertulis tetapi juga tumbuh menjadi kesadaran
bersama.
Kedua; pembenahan sistem dan
aparatur hukum yang benar-benar mumpuni sebagai gawang keadilan dan kejujuran
moral untuk menjaga kepentingan bersama demi terwujudnya cita-cita sosial.
Ketiga; menumbuhkan budaya sadar hukum secara sosial untuk mengikis menjamurnya
kultur kapitalistik sehingga terwujud kultur hukum yang hidup dan dinamis di
tengah masyarakat yang patuh terhadap hukum.
Keempat; karena dalam sistem
modern produk hukum merupakan hasil kerja politik (sistem demokrasi) maka juga
harus diiringi perubahan sistem politik secara mendasar yang tidak membuka ruang
bagi tumbuhnya perilaku korupsi dan menjamin terwujudnya transparansi. Jadi,
legislator yang dipilih dari proses politik tidak terbebani kepentingan
kapitalistik, selain hanya terfokus pada tujuan sosial yang akan mereka
tuangkan dalam karya-karya hukum di lembaga legislatif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar