Uang
Tuna Suara
Fatih Gama Abisono ; Mahasiswa S-2
Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM
KOMPAS,
30 Juli 2012
Praktik perdagangan suara
merupakan fenomena yang semakin jamak dalam dasawarsa terakhir di tingkat
lokal, terutama setelah ada pilkada langsung.
Perdagangan suara (vote trading) melibatkan berbagai aktor,
mulai dari politisi pemburu jabatan sebagai pembeli suara, para broker sebagai
perantara pasar suara, dan para pemilih sebagai penyedia atau bahkan berperan
aktif sebagai penjual suara.
Bekerjanya perdagangan suara
ini mirip logika kerja sistem pasar: digerakkan oleh permintaan (demand side) dan penawaran (supply side). Ada permintaan karena para
politisi ingin menang dan ada para pemilih yang ingin mendapatkan uang instan.
Dalam pasar suara, para
kandidat menggunakan jasa perantara, baik tim sukses resmi maupun bayangan,
atau memanfaatkan para elite penggalang suara di akar rumput. Para broker
menjalankan fungsi ganda: representasi kandidat dalam membeli suara dan
sekaligus pemilih untuk menjual suara.
Uang menjadi alat pertukaran
utama karena karakter konvertibilitasnya membuat mudah ditransformasikan dari
sarana pertukaran ekonomi menjadi sarana pertukaran politik. Dalam praktiknya,
perdagangan suara tidak selalu menggunakan uang dalam arti harfiah, bisa juga
dikonversi menjadi beras, minyak goreng, aspal, genteng, dan sebagainya.
Modus Perdagangan Suara
Perdagangan suara terjadi
karena beberapa faktor. Pertama, praktik ini biasa digunakan para kandidat yang
putus asa karena tidak memiliki modalitas politik lain, seperti modal personal
atau sosial, yang meyakinkan untuk menang. Modalitas politik yang terbatas
membuat kandidat mengambil jalan pintas: ”mengguyur” pemilih dengan uang.
Faktor kedua adalah
keyakinan kandidat dan tim suksesnya bahwa kompetisi politik adalah kegiatan
transaksional. Dalam logika ini, pemilih akan memberikan suara kepada penawar
harga tertinggi. Maka, para kandidat pun menjadi tidak terlalu ”percaya diri”
untuk tidak ikut-ikutan melakukan ”penawaran harga tertinggi”.
Faktor ketiga melacak akar
kultural perdagangan suara. Misalnya, di beberapa daerah ada adat yang
mengharuskan tamu memberi hadiah sebagai penghormatan terhadap tuan rumah.
Tradisi lokal inilah yang digunakan kandidat untuk memberikan hadiah sebagai
bagian dari kampanye rumah ke rumah.
Selama ini penjelasan
tentang pasar politik uang dalam rezim pemilihan langsung lebih fokus pada sisi
permintaan, bukan penawaran. Padahal, perilaku memilih masyarakat mengalami
perubahan dalam sepuluh tahun terakhir di mana faktor-faktor yang
mendeterminasi pilihan dalam momen elektoral, mulai dari kedekatan pemilih
dengan partai, politik aliran, ataupun patronase politik, mengalami pergeseran
dan dipertanyakan kembali.
Dalam praktik perdagangan
suara, uang bukan hanya menjadi instrumen untuk mendapatkan dukungan pemilih,
melainkan juga menjadi modus utama pemilih untuk membuat penawaran. Bisa jadi
modusnya adalah semata- mata ekonomis, untuk mendapatkan ”uang lelah” karena
sudah menghadiri kampanye dan datang ke TPS. Bisa juga modus yang lebih
”politis” di mana suara yang ditawarkan merupakan bentuk kompensasi atau ganti
rugi atas kondisi mereka. Dengan demikian, penawaran adalah cara bagi warga
miskin mengklaim sumber daya yang dikuasai oleh politisi dan melalui momen
elektoral dipaksa mendistribusikan kembali kepada mereka.
Pertanyaan yang muncul
berikutnya adalah sejauh mana efektivitas vote
buying dalam menentukan suara pemilih?
Hasil Survei
Keterbatasan ini
sesungguhnya sudah mulai terbaca dalam sejumlah kajian dua tahun terakhir ini.
Setidaknya bisa dirujuk dari survei yang dilansir PolMark Indonesia dalam pilkada di empat daerah awal tahun 2011 dan
dari studi etnografi yang dilakukan penulis dalam konteks Pilkada Yogyakarta
2011.
Kedua studi tersebut
menunjukkan politik uang tidak sepenuhnya efektif menjamin kandidat bisa
memenangkan pilkada. Survei PolMark menemukan, 40 persen responden menolak
praktik politik uang. Sementara sisanya, 60 persen, diasumsikan menerima uang
dari para kandidat.
Walaupun jumlah yang menolak
uang belum sebesar yang menerima uang, survei itu justru memperlihatkan hanya
13 persen pemilih yang akhirnya memilih kandidat yang memberi uang. Artinya,
mayoritas pemilih cenderung menerima uang yang diberikan tetapi selanjutnya
mengambil posisi politik berbeda dengan harapan pemberi uang.
Artinya, praktik perdagangan
suara memiliki limitasi karena menghadapi kepatuhan penjual (pemilih) yang
tidak pasti (Charles Schaffer: 2007).
Kepatuhan yang tidak pasti tersebut berhubungan dengan fakta bahwa sekalipun
bekerja dalam transaksi komersial, kandidat membeli suara tanpa lisensi.
Analoginya, para kandidat seperti membeli barang di pasar gelap (black market) yang tak dilindungi secara
legal. Dengan demikian, kandidat biasanya tidak memiliki jaminan bahwa pemilih
yang menerima tawaran materi mereka akan patuh dan membalasnya saat di bilik
suara.
Pengamanan kepatuhan suara
pemilih menjadi masalah inheren. Para pembeli berhadapan dengan hukum dan norma
yang menempatkan suara bukan sebagai komoditas yang sah. Maka, gagasan
pertukaran ekonomi yang sederhana dalam perdagangan suara sulit dipertahankan.
Sebab, kandidat tidak bisa bergantung pada norma-norma sosial dan hukum yang
menjamin pertukaran yang adil.
Pada sisi pemilih,
ketidakpatuhan digerakkan oleh adanya public
distrust terhadap para pembeli suara atau kandidat. Pengalaman pemilih dari
arena pemilihan yang satu menuju yang lain menunjukkan bahwa pasca berlangsung-nya
pilkada banyak kandidat yang mengabaikan aspirasi warga.
Limitasi kedua dari praktik pembelian
suara adalah konteks sosiokultural. Hal ini bisa digunakan untuk memahami
efektivitas praktik perdagangan suara. Dalam konteks budaya yang berbeda,
praktik-praktik pembelian suara membawa makna yang berbeda pula. Itu artinya
aksi pemberian uang kepada pemilih bisa jadi tidak menyamakan
tujuan kandidat dengan makna
yang dibangun pemilih/warga. Pemilih memiliki caranya sendiri dalam membangun
makna sosial atas uang yang diterima.
Kajian yang dilakukan
Schaffer (2007) di sejumlah negara menunjukkan rentang variasi makna simbolik
uang yang diterima pemilih, mulai dari ganti rugi, penghinaan, ancaman, hingga
tanda cacat moral.
Akhirnya, pemaknaan uang
yang bervariasi tersebut menunjukkan model perdagangan suara tak dapat bekerja
secara linier, sederhana, dan seragam. Maka, mengandaikan transaksi dalam pasar
suara bekerja dalam sistem pertukaran ekonomi yang normal tidak cocok dengan
praktiknya. Inilah pasar spekulatif yang justru tidak sepenuhnya mengikuti
matematika pelaku pembeli suara. Dalam logika pasar gelap, kepatuhan pemilih
tidak bisa dipegang dan bahkan dalam konteks sosial-kultural tertentu,
pemberian uang justru kontraproduktif terhadap upaya kandidat untuk menang,
Uang pun menjadi tuna suara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar