Rabu, 25 Juli 2012

Isbat Lancar, Becermin ke Mesir


Isbat Lancar, Becermin ke Mesir
Agus Mustofa ; Penulis Buku Serial Tasawuf Modern 
 JAWA POS, 25 Juli 2012


SAAT bermukim di Kairo, Mesir, saya sempat merasakan datangnya awal Ramadan, awal Syawal, dan Lebaran Haji pada 2010. Penetapan awal puasa, Idul Fitri, dan Idul Adha di sana sangat ''lancar, aman, dan terkendali''.

Karena itu, saya kira sangat pantas kalau kita belajar dari mereka. Apalagi, kita tahu, Mesir dengan Al Azhar-nya menjadi salah satu kiblat dunia dalam keilmuan Islam. Siapa tahu, kita bisa memperoleh inspirasi dalam menyelesaikan ''masalah abadi'' yang sangat khas Indonesia ini.

Hampir setiap terdengar perbedaan penetapan waktu ibadah di Indonesia, sejumlah kalangan di Mesir menanggapi dengan ''senyuman aneh''. Mereka, rupanya, tidak bisa mengerti kenapa persoalan yang di Mesir sangat simpel tersebut menjadi ''hiruk pikuk'' di Indonesia. Di mana letak masalahnya?

Menyongsong Ramadan, di Kairo suasananya sangat hangat. Tidak hangat oleh isu penetapan permulaan puasa, melainkan oleh semangat menyambut datangnya bulan mulia. Hampir di setiap jalan dan gang-gang mereka menyambutnya dengan lampu tradisional berwarna-warni yang dikenal dengan sebutan Fanus. Jauh-jauh hari mereka sudah tahu bahwa Ramadan akan jatuh tanggal sekian karena sistem kalendernya memang sudah mapan.

Meski demikian, pemerintah memang juga mengadakan sidang isbat untuk menetapkan awal puasa. Namun, sidang itu berjalan sangat lancar, hampir-hampir tak ada masalah berarti. Pengumuman penetapan awal puasa di Mesir, tampaknya, hanya menjadi ritual atau ''selebrasi'' bagi permulaan ibadah bersama. Bukan ''perjuangan hidup dan mati'' ala sidang isbat di Indonesia, yang sampai ada walk-out segala.

Sore itu, saya sedang bertamu di rumah Minister Counselor KBRI Pak Burhanuddin Badruzzaman. Obrolan kami, salah satunya, adalah tentang penetapan awal ibadah di Mesir. Dengan tertawa dia mengatakan bahwa di Mesir tak pernah ada ribut-ribut soal hilal. Juga, tidak ada ribut-ribut soal perbedaan awal puasa maupun Idul Fitri. Apalagi soal Lebaran Haji. ''Orang sini memandang kejadian di Indonesia itu sebagai kejadian aneh bin ajaib,'' ujarnya lantas tertawa.

Kenapa di Mesir soal tersebut bisa sedemikian mapan? Ada tiga hal yang mendasari. Yang pertama, mereka menyerahkan persoalan kepada ahlinya. Masalah penyaksian hilal diserahkan kepada lembaga astronomi yang berkompeten. Hasil perhitungan mereka sudah dipakai dasar untuk menyusun kalender Hijriah Mesir. Karena itu, penguasaan terhadap masalah hilal tersebut memang sudah menjadi ''makanan sehari-hari'' mereka.

Meski demikian, menjelang akhir Syakban, lembaga astronomi Mesir tetap melakukan pengamatan di beberapa lokasi, termasuk observatorium terbesar di pinggiran Kota Kairo: Helwan. Tak ada masyarakat awam yang boleh melakukan hal itu karena bisa menimbulkan keraguan atas hasilnya. Berbeda dari di Indonesia yang siapa saja boleh melakukannya, asalkan di bawah sumpah. Karena itu, ketika hal tersebut benar-benar terjadi -ada penduduk yang mengaku melihat hilal dan masyarakat di kawasan tersebut memutuskan tarawih malam itu juga-, malah muncul masalah tambahan.

Yang kedua, lembaga Darul Ifta' di Mesir sangatlah berwibawa. Itu adalah lembaga fatwa semacam MUI di Indonesia. Isinya para ulama fikih Al Azhar yang ketika itu diketuai Dr Ali Jum'ah. Dia digelari Mufti Agung Mesir. Fatwanya sangat didengar umat. Dengan berdasar pada hasil pantauan para ahli astronomi itulah Darul Ifta' memberikan fatwa tentang kapan puasa mestinya dimulai. Dengan demikian, tidak ada perbedaan tafsir atas data astronomi yang dihasilkan. 

Sidang isbat dilakukan di kantor Darul Ifta' dengan dihadiri sejumlah tokoh pengambil keputusan. Prosesnya berlangsung sangat singkat dan tidak bertele-tele. Hampir-hampir seperti seremonial belaka. Tidak ada adu argumentasi yang berlangsung sengit seperti di sini.

Setelah mendengarkan lantunan ayat suci Alquran, grand mufti langsung membacakan pengumuman lebih dulu menyebutkan landasan keputusan tersebut. Yakni, berdasar pada data hilal dari lembaga astronomi yang diterima serta sejumlah ayat dan hadis yang menjadi rujukan. Acara pun selesai. Kemudian ditutup dengan lantunan ayat suci Alquran kembali.

Hadir dalam sidang isbat tersebut, antara lain, adalah grand syekh Mesir yang diposisikan sebagai sesepuh umat Islam, gubernur Kairo yang mewakili presiden Mesir, menteri kehakiman terkait dengan ketetapan tersebut sebagai produk hukum, dan menteri agama yang membawahkan bidang itu. Selebihnya adalah para ulama dan duta besar wakil dari berbagai negara sahabat. Semua undangan tersebut hanya menjadi saksi atas penetapan awal Ramadan.

Faktor ketiga yang membuat pengumuman penetapan itu sedemikian lancar adalah kepemimpinan serta pemerintahan yang kuat. Dalam kondisi normal, pengumuman itu dilakukan lembaga fatwa Darul Ifta'. Tetapi, jika terjadi perbedaan, pemerintah akan turun tangan untuk menyatukan segala perbedaan. Sebab, selain ibadah personal, puasa Ramadan dan Idul Fitri merupakan ibadah yang bersifat sosial secara kolektif. Pemerintah berkepentingan untuk mengatur masyarakat agar suasana tetap kondusif.

Saya dan Pak Burhanuddin waktu itu sempat berandai-andai, membayangkan betapa indahnya ya jika proses seperti itu bisa terjadi di Indonesia. Kita bakal benar-benar bisa beribadah Ramadan dengan hati yang bersih. Dan menikmati indah Idul Fitri dengan hati yang suci...! Insya Allah.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar