Rabu, 25 Juli 2012

Lonceng Peringatan untuk Lembaga Survei


Lonceng Peringatan untuk Lembaga Survei
Teguh Dartanto ; Peneliti, Dosen Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
 KORAN TEMPO, 25 Juli 2012

Gegap-gempita pemilihan Gubernur DKI Jakarta ronde pertama melahirkan kejutan spesial yang tidak disangka-sangka. Berdasarkan hasil hitung cepat berbagai lembaga survei, calon inkumben Fauzi Bowo-Nachrowi (Foke-Nara) kalah angka melawan pasangan Joko Widodo-Basuki (Jokowi-Ahok) sehingga perlu ronde kedua untuk menentukan jawara. Masyarakat Jakarta yang menginginkan perubahan dan pendukung pasangan Jokowi-Ahok tentu akan berbunga-bunga. Sedangkan bagi peneliti sosial-ekonomi seperti saya maupun para pendukung Foke-Nara, hasil hitung cepat menyisakan luka, lara, dan tanda tanya. Kenapa hasil hitung cepat berbeda dengan hasil survei sebelumnya di mana Foke-Nara akan menjadi jawara sedangkan Jokowi-Ahok nomor dua? 

Saya memang mendambakan perubahan. Tetapi, sebagai seorang peneliti, saya berharap hasil survei pra-pilkada tidak jauh berbeda dengan hasil pilkada, sehingga publik mempercayai hasil penelitian dan profesi peneliti. Tidak ada penjelasan secara jujur dan terbuka dari lembaga survei kenapa terjadi salah ramal hasil pilkada DKI. Dalam penelitian sosial, kesalahan prediksi bukanlah sebuah dosa karena memang terdapat ruang berbuat salah yang masih diterima dan termaafkan. Dengan menyatakan tingkat keyakinan 95 persen, maka terdapat ruang berbuat salah dalam menarik kesimpulan sebesar 5 persen. 

Jokowi bukanlah Bandung Bondowoso dalam legenda Loro Jonggrang, yang mampu menyulap angka survei 14-18 persen menjadi 42-44 persen seperti hasil hitung cepat. Faktor utama salah ramal dalam pilkada DKI ada dalam diri lembaga survei itu sendiri. 

Tidak ada yang salah dalam penggunaan multistage stratified random sampling atau stratified-cluster random sampling sebagai metodologi untuk survei pra-pilkada. Kesalahan utama dari survei pilkada DKI Jakarta adalah permasalahan representasi/keterwakilan sampel (sample representative), bias pemilihan sampel (sample selection bias), dan independensi lembaga survei. 

DKI Jakarta, dengan jumlah penduduk yang heterogen, baik dari sisi etnik, agama, pendidikan, pekerjaan, maupun kondisi sosial-ekonomi serta dinamika masyarakat, sangat sulit bagi peneliti untuk memilih responden dalam survei pilkada DKI. Dalam ruang populasi yang heterogen seperti ini, sampel yang diambil harus dalam jumlah besar agar mampu merepresentasikan seluruh elemen demografi dalam masyarakat, sehingga tidak ada sub-populasi yang tidak terwakili dalam survei. Jumlah sampel survei pra-pilkada DKI berkisar 450-1.000 di mana satu responden survei mewakili sekitar 6.500-15.000 pemilih atau dengan kata lain satu responden mewakili sekitar 3-6 rukun warga. Dengan keterwakilan sampel seperti ini, kemungkinan bias dalam penarikan kesimpulan sangatlah besar. Hal ini berbeda untuk survei pilkada di daerah homogen seperti Jawa Timur, Aceh, Sulawesi, di mana jumlah sampel kecil tidak akan menimbulkan bias kesimpulan. Karena itu, lembaga survei banyak sukses menebak hasil pilkada di luar DKI Jakarta. 

Permasalahan bias pemilihan sampel/responden sangat berkaitan erat dengan permasalahan keterwakilan sampel. Dengan representasi satu responden mewakili sekitar 10 ribu pemilih, kesalahan pemilihan responden akan berakibat fatal terhadap kesimpulan. Telesurvei dengan telepon serta survei kuesioner dengan wawancara langsung yang dilakukan pada siang hari hanya akan menangkap responden ibu rumah tangga atau pekerja rumahan, sehingga tidak mampu menggambarkan suara populasi secara keseluruhan. Pengalaman survei lapangan di Jakarta adalah kesulitan mendapatkan responden yang tepat dan mau meluangkan waktu untuk wawancara. Untuk mengatasi hal ini, surveyor kadang mewawancarai ketua RT, RW, atau aparatur pemerintahan yang notabene sangat kooperatif dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan survei. Jika survei ini tidak ada kaitannya dengan pilkada, hasil survei tidak akan menimbulkan permasalahan. Tetapi, dalam kasus pilkada DKI, responden tidak akan obyektif memberikan jawaban, sehingga akan menimbulkan bias kesimpulan.

Independensi lembaga survei merupakan faktor utama salah ramal dalam pilkada DKI. Survei lapangan bukanlah pekerjaan murah dan mudah untuk dilakukan. Dibutuhkan dana dan sumber daya yang cukup besar untuk menghasilkan sebuah survei yang kredibel. Satu kuesioner survei membutuhkan biaya sekitar Rp 50-150 ribu untuk biaya pengumpulan dan pengolahan data, sehingga 1.000 responden membutuhkan dana tidak kurang dari Rp 50-150 juta. Dengan demikian, akan sulit sekali sebuah lembaga survei swasta dengan swadana melakukan survei pilkada yang hasilnya hanya untuk kepentingan publik semata. Karena itu, sebagian besar survei pilkada adalah pesanan dari para calon gubernur/bupati dan bahkan lembaga survei merupakan bagian dari tim sukses. Virus “membela yang bayar” serta kepentingan menggiring opini publik mengakibatkan lembaga survei kadang melakukan kesalahan dalam pemilihan responden untuk memperoleh hasil yang diinginkan agar sesuai dengan pesanan. 

Sebuah Peringatan

Survei opini publik merupakan cara ilmiah, murah, efektif, dan efisien untuk mencari tahu 
bagaimana publik bereaksi terhadap suatu isu, baik kebijakan publik maupun pilkada, pilpres maupun pemilihan legislatif, sehingga survei masih dan akan terus diperlukan di masa yang akan datang. Lembaga survei seharusnya jujur mengevaluasi diri mengenai kesalahan prediksi pilkada DKI, bukan dengan menyalahkan masa mengambang sebagai kambing hitam dari salah ramal. Introspeksi, perbaikan dalam lembaga survei, serta pelibatan mitra bestari (reviewer) dari luar dalam proses survei akan memulihkan kredibilitas peneliti dan hasil penelitian di mata publik. Dengan demikian, para calon legislator, bupati, gubernur, dan presiden yang bertarung dalam pemilihan umum akan bertanya secara ilmiah kepada peneliti, bukan bertanya kepada paranormal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar