Dewan
Komisioner OJK, Selamat Bekerja
Bacelius Ruru ; Komisaris PT
Jababeka
SINAR HARAPAN, 25 Juli 2012
Setelah sekian lama, akhirnya
lengkaplah perangkat kepengurusan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang telah
dinantikan sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, khususnya Pasal 34
yang mengatur tentang pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan
selambat-lambatnya tahun 2002.
Namun, berhubung satu dan lain
hal pada akhirnya terbentuklah lembaga tersebut melalui Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 yang kemudian presiden membentuk Panitia Seleksi Dewan Komisioner
OJK pada awal tahun ini. Usai proses seleksi dan fit
and proper test di DPR, para calon pemimpin serta anggota Dewan Komisioner
OJK dilantik oleh Ketua Mahkamah Agung pada hari Jumat tanggal 22 Juli 2012.
Dengan demikian, perangkat pemimpin OJK sudah lengkap.
Tinggal seterusnya menyiapkan personalia pejabat dan karyawan OJK agar
organisasi itu dapat bertugas mulai 1 Januari 2013, kecuali sektor perbankan
yang direncanakan akan dimulai pada tahun 2014.
Sejarah Pengawasan Perbankan
Pengawasan perbankan di Indonesia
sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Pemerintah kolonial mendirikan De
Javasche Bank untuk melaksanakan fungsi bank sentral, walaupun tugas utamanya
adalah mencetak dan mengedarkan uang.
Setelah kemerdekaan, melalui
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 Bank Indonesia mendapatkan landasan hukum
dalam rangka pelaksanaan tugas dan kewajibannya, walaupun di situ tidak mengatur secara khusus
tentang pengawasan atas kegiatan perbankan.
Kemudian Undang-Undang No 11
Tahun 1953 diganti dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank
Sentral. Aturan baru itu secara
substantif sama dengan undang-undang sebelumnya, namun ada sejumlah perbedaan
yang cukup prinsip.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953, ada
penegasan tentang fungsi penentuan kebijakan moneter yang berada di pemerintah
dan dilaksanakan oleh suatu "Dewan Moneter" yang keanggotaannya
terdiri dari Menteri Keuangan, Menteri Perekonomian serta Gubernur Bank
Sentral.
Mengenai tugas pengawasan perbankan tidak
diatur secara spesifik dalam batang tubuh, walaupun terdapat juga bagian dalam
Penjelasan Umum yang menyebutkan tentang pentingnya fungsi pengawasan atas
sektor perbankan.
Dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 1969 tentang Bank Sentral, terdapat dua "sentra" yang berkaitan
dengan perbankan, yaitu "Lapangan Banteng" dan "Thamrin".
Lapangan Banteng (Kementerian Keuangan) yang memberi izin perbankan, sedangkan
yang mengawasi adalah Thamrin (Bank Indonesia).
Memang konstruksi Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 1969 menempatkan Bank Indonesia (Bank Sentral) bagian dari
pemerintah yang tercermin dari adanya suatu Dewan Moneter yang diketuai Menteri
Keuangan dan beberapa menteri di bidang perekonomian, sedangkan Gubernur Bank
Indonesia hanyalah anggota.
Dengan konstruksi seperti ini
posisi Bank Indonesia menjadi "tidak independen" terutama dalam
rangka penetapan kebijakan moneter serta pengaturan dan pelaksanaan kredit yang
diberikan Bank Indonesia (seperti KLBI atau BLBI) dalam posisi Bank Indoesia
sebagai "lender of last resort".
Kendati demikian, Bank Indonesia
dalam perannya sebagai Bank Sentral harus independen, tetapi sebagai penanggung
jawab keuangan terakhir dari segala kewajiban Bank Indonesia adalah pemerintah
yaitu dari APBN.
Demikian pula kebijakan moneter
yang keliru bisa berdampak secara politis pada pemerintah, sehingga barangkali
itulah yang menjadikan pertimbangan mengapa di dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 1969 ada lembaga yang namanya Dewan Moneter dengan ketua Menteri
Keuangan. Tak heran bila pada waktu itu ada kesan "satu mendominasi
lainnya" yang menimbulkan "sentra" di atas.
Langkah-langkah Koreksi
Keadaan itu berubah di era
reformasi. Pada waktu pemerintahan Presiden Habibie lahirlah Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Sentral yang menempatkan Bank Indonesia berada
di luar pemerintah, dengan pengertian bahwa Bank Indoesia sebagai bank sentral
tidak lagi berada di bawah "kendali" pemerintah (baca: Menteri
Keuangan).
Nantinya lembaga pengawas
perbankan juga akan terpisah dari Bank Indonesia, mulai tahun 2002, walaupun
kemudian dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 pembentukannya akan dilakukan
pada 2010.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
menempatkan Bank Indonesia sebagai lembaga independen, dan mempertanggungjawabkan
pelaksanaan kegiatannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Hapuslah dikotomi
"Lapangan Banteng" dan "Thamrin". Jadi, segala hal
sepanjang menyangkut sektor perbankan dan pengawasannya sudah berada di luar
kewenangan Menteri Keuangan.
Di kemudian hari dengan adanya
OJK, aspek moneter, pencetakan dan peredaran uang ditangani Bank Indonesia,
sedangkan pengawasan dan pengaturannya di tangan OJK.
Sistem pengawasan perbankan
seperti yang dijalankan OJK memang dari polanya hanya dijumpai di beberapa negara.
Inggris dengan Financial Services
Authority (FSA) melakukan pengawasan sekaligus pembentukan aturan.
Demikian pula dengan Monetary Authority of Singapore (MAS)
mengawasi perbankan dan kegiatan di sektor keuangan seperti pasar modal,
asuransi, dana pensiun dan lembaga keuangan lainnya. Tampaknya pola MSA sejalan
dengan OJK.
Ada yang bertanya apakah baik
bila fungsi pengaturan dan pengawasan berada
di satu lembaga yang sama? Jawabannya bisa ya, bisa tidak, tergantung pada
otoritas yang melaksanakan kewenangan tersebut.
Memang kasus yang terjadi
misalnya dengan Barclays Bank
sekarang serta kasus Northern Rock
sebelumnya, menimbulkan pertanyaan apakah dengan fungsi pengaturan dan
pengawasan yang melekat pada satu lembaga(?).
Tapi lepas dari itu, hal ini tidak
untuk diperdebatkan lagi karena sudah ditentukan dalam Undang-Undang tentang
OJK mengenai hal tersebut. Yang perlu mendapatkan perhatian adalah bahwa
lembaga pengawas seperti OJK harus dikelola oleh orang-orang yang respectable
serta mempunyai integritas tinggi dan berani menolak intervensi dari pihak
siapa pun yang tidak mempunyai kaitan dengan kewenangan OJK.
Semasa krisis moneter tahun 1998
terjadi moral hazard yang
berlebihan sebagai akibat kumulasi persoalan etika dan governance. Kasus Northern Rock
dan Barclays Bank berkaitan dengan
faktor negligence dari otoritas
pengawas.
Krisis keuangan tahun 2008
menurut pendapat saya sebagian juga diakibatkan lembaga pengawas seperti SEC dan Federal Reserve Bank tidak menjalankan fungsinya dengan baik sehingga
perusahaan seperti Lehmann Brothers
bebas menerbitkan instrumen yang dikenal dengan sub-prime mortgage yang sebenarnya sifatnya sudah jauh di bawah
"investment grade", tapi
diberi rating investment oleh perusahaan rating
agencies.
Kita harapkan contoh-contoh di
atas tidak terjadi setelah OJK berfungsi. Jangan lagi terulang bahwa di lembaga
ini masih terdapat sisa-sisa "Lapangan Banteng" dan
"Thamrin" mengingat lembaga OJK juga mengatur dan mengawasi pasar
modal, asuransi, dana pensiun dan lembaga keuangan lainnnya seperti Finance Company di samping perbankan.
Persoalan yang terjadi seperti
kasus Antaboga hendaknya dapat ditangani sejak dini mengingat masalah yang
sifatnya lintas batas kini telah berada di bawah satu atap. Hendaknya ego
sektoral tidak terjadi antara para komisioner karena yang harus dilakukan
adalah bagaimana menjaga dan menjadikan sektor keuangan kita motor utama bagi
ekonomi.
Sekali lagi lembaga pengawas
seperti OJK harus mendapatkan kepercayaan (trust)
dari masyarakat. Pengelolanya harus memiliki integritas tinggi, respectable dan berani mengatakan
"tidak" bila ada intervensi yang dapat mengganggu stabilitas sektor
keuangan.
Harus diingat bahwa krisis
keuangan yang terjadi berdampak sangat berat secara politis, ekonomi dan sosial
seperti yang terjadi di Indonesia tahun 1998 serta yang sekarang menimpa
negara-negara di zona euro dan juga Amerika Serikat. Kepada para komisioner OJK, selamat bekerja. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar