Minggu, 29 Juli 2012

Pemimpin yang Berintegritas dan Melayani


Pemimpin yang Berintegritas dan Melayani
Victor Silaen ; Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
SINDO, 28 Juli 2012

Sebelum hari ”H” pencoblosan Pilkada DKI Jakarta 11 Juli lalu, semua lembaga survei mengatakan pasangan Fauzi Bowo atau Foke (bersama Nara) akan menang. Bahkan, ada yang berani mengatakan kemenangan itu terjadi dalam satu putaran dengan perolehan suara di atas 50 persen.

Faktanya, berdasarkan hasil perhitungan KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) DKI Jakarta, yang diumumkan pada 21 Juli, pasangan JB yang menang. Namun, karena raihan suara keduanya hanya 42,60 persen, putaran kedua Pilkada DKI 2012 harus digelar pertengahan September nanti.

Berbeda dengan banyak pihak yang merasa terkejut akan kemenangan pasangan JB yang mengusung tema kampanye “Jakarta Baru” itu, saya sejak semula sudah meyakini pasangan JB akan menang mengalahkan pasangan Foke-Nara (FN). Ada sejumlah alasan mengapa saya memprediksikan demikian.

Pertama, karena media-media sudah sejak akhir tahun silam gencar memberitakan ihwal mundurnya Wakil Gubernur DKI Prijanto dengan alasan hubungan yang “tidak harmonis” dengan Fauzi Bowo.

Untuk kejadian seperti ini, biasanya publik akan cenderung menunjuk Foke, sang atasan, sebagai penyebabnya. Bahkan, Prijanto sampai menangis ketika menjelaskan alasan dia mundur di depan wartawan, di rumahnya, 25 Desember 2011.

Kedua, karena pada 24 Februari 2012, Prijanto melaporkan dugaan korupsi Gubernur Fauzi Bowo ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketika mengadukan ke KPK dia didampingi anggota DPD DKI Jakarta AM Fatwa dan Ketua Umum Solidaritas Antikorupsi dan Makelar Kasus Jurisman.

Terdapat 10 dugaan korupsi yang ia laporkan, didasarkan pada hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap proyek-proyek di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Audit BPK itu menyimpulkan ada kerugian negara dan dugaan praktik korupsi dalam pelaksanaan proyek-proyek di Provinsi DKI Jakarta. Tak pelak, kejadian itu disambar oleh banyak media.

Ketiga, karena Foke maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta 2012–2017 dengan dukungan utama dari Partai Demokrat (PD), yang kini dilanda badai korupsi. PD yang menjadi pemenang pemilu 2009 tengah merosot pamornya. Dengan ketiga faktor kelemahan ini saja sebenarnya sudah dapat diprediksi bahwa Foke sulit akan melenggang sebagai pemenang di ajang Pilkada DKI 2012 ini.

“Media Darling”

Tentang pasangan JB, mengapa sejak awal saya prediksi menang? Pertama, karena keduanya, terutama Jokowi, sejak jauh-jauh hari sudah menjadi “figur yang disukai media” atau yang disebut media darling. Hal itu bukan semata karena Jokowi ramah, melainkan dia punya banyak hal positif yang enak diberitakan.

Jadi, untuk Jokowi adagium bad news is good news kurang berlaku. Sebutlah antara lain soal kepeduliannya sebagai kepala daerah kepada wong cilik di Kota Solo. Keseriusannya mendorong produksi lokal mobil Esemka.

Kemudian kinerjanya yang sangat baik sehingga masuk 25 nomine wali kota terbaik di dunia. Namun, mungkin ini yang paling penting: bahwa ia pada 2010 mendapat penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award.

Mengenai calon wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, rekam jejaknya hampir sama dengan Jokowi. Ahok disukai media karena banyak hal positif pada dirinya yang punya nilai berita. Sebagai Bupati Belitung Timur periode 2005–2010, ia diakui berkinerja baik (meski hanya menjabat selama dua tahun) sehingga disukai rakyatnya.

Pada 2007, Gerakan Tiga Pilar Kemitraan (yang terdiri dari Masyarakat Transparansi Indonesia, Kadin, dan Kementerian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara) menganugerahi Ahok sebagai Tokoh Antikorupsi dari unsur penyelenggara negara.
Ahok dinilai berhasil menekan semangat korupsi pejabat pemerintah daerah, yang ditandai penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis bagi warga Belitung Timur. Dia juga terbuka untuk berkomunikasi kepada warganya, termasuk untuk melayani sms-sms yang masuk ke ponselnya.

Jadi, keduanya adalah tokoh dengan integritas jelas, sehingga wajar jika pasangan JB mampu meraih suara terbanyak dari warga Jakarta. Keunggulan itu tak sebanding lurus dengan kekuatan modal dan kecanggihan strategi kampanye, pasangan FN jelas unggul segala-galanya.

Peran Sukarelawan

Namun, ada satu hal yang agaknya tidak (atau kurang) dipunyai pasangan FN dan sebaliknya dimiliki pasangan JB, yakni: para sukarelawan yang tulus mendukung, dan mereka bertebaran di mana-mana dan siap mempromosikan sisi-sisi positif JB kepada siapa saja yang mereka temui.

Tanpa diberi uang, para sukarelawan itu siap mengadakan sendiri baju kotak-kotak yang menjadi trade-mark JB untuk mereka kenakan. Baju kotak-kotak ini sungguh dahsyat dampaknya sebagai strategi kampanye. Tanpa diberi tahu pun orang akan langsung mengidentikkan si pemakai baju itu dengan Nomor 3 atau JB.

Para sukarelawan itu, meski banyak yang tak terdaftar resmi sebagai anggota Tim Sukses JB, juga gencar mengampanyekan JB di media-media sosial. Mereka menciptakan tulisan-tulisan yang menarik, juga gambar-gambar yang kreatif, termasuk rekaman film singkat dalam Youtube yang kemudian digandakan dalam bentuk CD (compact disk).

Masih banyak faktor yang bisa dibahas terkait kemenangan JB di putaran pertama Pilkada DKI 2012 ini. Satu hal yang patut kita sadari adalah: ini kemenangan rakyat, bukan kemenangan partai (meski peran PDI Perjuangan dan Partai Gerindra tentu tak dapat dinafikan).

Rakyat sudah lama merindukan pemimpin yang berintegritas dan melayani. Pemimpin yang tak suka disuap maupun menyuap, dan yang tak suka berbohong, semisal mengklaim proyek Banjir Kanal Timur sebagai hasil kerja sendiri, padahal hasil kerja pihak lain.

Sementara itu, pemimpin melayani adalah orang yang jabatannya tinggi tetapi rela turun ke bawah sesering mungkin demi mendengar suara-suara dari kaum yang tak terdengar (the voices of the voiceless).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar