Pemimpin
yang Berintegritas dan Melayani
Victor Silaen ; Dosen FISIP
Universitas Pelita Harapan
SINDO,
28 Juli 2012
Sebelum hari ”H” pencoblosan
Pilkada DKI Jakarta 11 Juli lalu, semua lembaga survei mengatakan pasangan
Fauzi Bowo atau Foke (bersama Nara) akan menang. Bahkan, ada yang berani
mengatakan kemenangan itu terjadi dalam satu putaran dengan perolehan suara di
atas 50 persen.
Faktanya, berdasarkan hasil
perhitungan KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) DKI Jakarta, yang diumumkan
pada 21 Juli, pasangan JB yang menang. Namun, karena raihan suara keduanya
hanya 42,60 persen, putaran kedua Pilkada DKI 2012 harus digelar pertengahan
September nanti.
Berbeda dengan banyak pihak yang
merasa terkejut akan kemenangan pasangan JB yang mengusung tema kampanye
“Jakarta Baru” itu, saya sejak semula sudah meyakini pasangan JB akan menang
mengalahkan pasangan Foke-Nara (FN). Ada sejumlah alasan mengapa saya
memprediksikan demikian.
Pertama, karena media-media sudah
sejak akhir tahun silam gencar memberitakan ihwal mundurnya Wakil Gubernur DKI
Prijanto dengan alasan hubungan yang “tidak harmonis” dengan Fauzi Bowo.
Untuk kejadian seperti ini, biasanya
publik akan cenderung menunjuk Foke, sang atasan, sebagai penyebabnya. Bahkan,
Prijanto sampai menangis ketika menjelaskan alasan dia mundur di depan
wartawan, di rumahnya, 25 Desember 2011.
Kedua, karena pada 24 Februari
2012, Prijanto melaporkan dugaan korupsi Gubernur Fauzi Bowo ke Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketika mengadukan ke KPK dia didampingi anggota
DPD DKI Jakarta AM Fatwa dan Ketua Umum Solidaritas Antikorupsi dan Makelar
Kasus Jurisman.
Terdapat 10 dugaan korupsi yang
ia laporkan, didasarkan pada hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
terhadap proyek-proyek di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Audit BPK itu
menyimpulkan ada kerugian negara dan dugaan praktik korupsi dalam pelaksanaan
proyek-proyek di Provinsi DKI Jakarta. Tak pelak, kejadian itu disambar oleh
banyak media.
Ketiga, karena Foke maju sebagai
calon gubernur DKI Jakarta 2012–2017 dengan dukungan utama dari Partai Demokrat
(PD), yang kini dilanda badai korupsi. PD yang menjadi pemenang pemilu 2009
tengah merosot pamornya. Dengan ketiga faktor kelemahan ini saja sebenarnya
sudah dapat diprediksi bahwa Foke sulit akan melenggang sebagai pemenang di
ajang Pilkada DKI 2012 ini.
“Media Darling”
Tentang pasangan JB, mengapa
sejak awal saya prediksi menang? Pertama, karena keduanya, terutama Jokowi,
sejak jauh-jauh hari sudah menjadi “figur yang disukai media” atau yang disebut
media darling. Hal itu bukan semata
karena Jokowi ramah, melainkan dia punya banyak hal positif yang enak
diberitakan.
Jadi, untuk Jokowi adagium bad news is good news kurang berlaku.
Sebutlah antara lain soal kepeduliannya sebagai kepala daerah kepada wong cilik
di Kota Solo. Keseriusannya mendorong produksi lokal mobil Esemka.
Kemudian kinerjanya yang sangat
baik sehingga masuk 25 nomine wali
kota terbaik di dunia. Namun, mungkin ini yang paling penting: bahwa ia pada
2010 mendapat penghargaan Bung Hatta Anti
Corruption Award.
Mengenai calon wakilnya, Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok, rekam jejaknya hampir sama dengan Jokowi. Ahok
disukai media karena banyak hal positif pada dirinya yang punya nilai berita.
Sebagai Bupati Belitung Timur periode 2005–2010, ia diakui berkinerja baik
(meski hanya menjabat selama dua tahun) sehingga disukai rakyatnya.
Pada 2007, Gerakan Tiga Pilar
Kemitraan (yang terdiri dari Masyarakat Transparansi Indonesia, Kadin, dan
Kementerian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara) menganugerahi Ahok sebagai
Tokoh Antikorupsi dari unsur penyelenggara negara.
Ahok dinilai berhasil menekan
semangat korupsi pejabat pemerintah daerah, yang ditandai penyelenggaraan
pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis bagi warga Belitung Timur. Dia juga
terbuka untuk berkomunikasi kepada warganya, termasuk untuk melayani sms-sms
yang masuk ke ponselnya.
Jadi, keduanya adalah tokoh
dengan integritas jelas, sehingga wajar jika pasangan JB mampu meraih suara
terbanyak dari warga Jakarta. Keunggulan itu tak sebanding lurus dengan
kekuatan modal dan kecanggihan strategi kampanye, pasangan FN jelas unggul
segala-galanya.
Peran Sukarelawan
Namun, ada satu hal yang agaknya
tidak (atau kurang) dipunyai pasangan FN dan sebaliknya dimiliki pasangan JB,
yakni: para sukarelawan yang tulus mendukung, dan mereka bertebaran di
mana-mana dan siap mempromosikan sisi-sisi positif JB kepada siapa saja yang
mereka temui.
Tanpa diberi uang, para
sukarelawan itu siap mengadakan sendiri baju kotak-kotak yang menjadi trade-mark JB untuk mereka kenakan. Baju
kotak-kotak ini sungguh dahsyat dampaknya sebagai strategi kampanye. Tanpa
diberi tahu pun orang akan langsung mengidentikkan si pemakai baju itu dengan
Nomor 3 atau JB.
Para sukarelawan itu, meski
banyak yang tak terdaftar resmi sebagai anggota Tim Sukses JB, juga gencar
mengampanyekan JB di media-media sosial. Mereka menciptakan tulisan-tulisan
yang menarik, juga gambar-gambar yang kreatif, termasuk rekaman film singkat
dalam Youtube yang kemudian digandakan dalam bentuk CD (compact disk).
Masih banyak faktor yang bisa
dibahas terkait kemenangan JB di putaran pertama Pilkada DKI 2012 ini. Satu hal
yang patut kita sadari adalah: ini kemenangan rakyat, bukan kemenangan partai
(meski peran PDI Perjuangan dan Partai Gerindra tentu tak dapat dinafikan).
Rakyat sudah lama merindukan
pemimpin yang berintegritas dan melayani. Pemimpin yang tak suka disuap maupun
menyuap, dan yang tak suka berbohong, semisal mengklaim proyek Banjir Kanal
Timur sebagai hasil kerja sendiri, padahal hasil kerja pihak lain.
Sementara itu, pemimpin melayani
adalah orang yang jabatannya tinggi tetapi rela turun ke bawah sesering mungkin
demi mendengar suara-suara dari kaum yang tak terdengar (the voices of the voiceless). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar