Indonesia
Nirkoba
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
KOMPAS,
31 Juli 2012
Indonesia nirkoba artinya
Indonesia tanpa narkoba. Mungkin saja kondisi idaman ini menjadi kenyataan.
Sama mungkinnya menjadi
Indonesia narkoba di mana penduduk Indonesia terlibat dalam sindikat pemakai,
pengedar, bandar, dan pelindung. Mungkin lagu dolanan anak-anak bisa mencegah
negeri ini menjadi bubrah.
Kemungkinan hancurnya negeri
ini terbaca dari data sehari-hari sekitar kita. Seorang bapak yang musisi
dangdut tertangkap sebagai pemakai. Juga anak perempuannya pada kesempatan dan
tempat yang berbeda. Di sebuah rumah sewaan yang berada di permukiman ditemukan
ribuan pil ekstasi. Alamat resmi institusi pemberantas malah jadi alamat
penadah barang haram jadah. Ada pula kampung yang dinobatkan tempat penampung
segala jenis narkoba segala harga, one
stop shoping.
Rasanya setiap saat—bisa
pagi, siang, malam, pokoknya 24 jam sehari—kalau ada niat razia, ada saja yang
tertangkap tangan. Jutaan pil beredar leluasa secara luas untuk melibas yang
waras jadi parasit memilukan. Segala usaha mengingatkan bahaya narkoba—termasuk
diucapkan dalam setiap pesawat terbang yang mau mendarat—malah memberantas
harapan untuk bisa menumpas habis. Seakan hanya menunggu waktu dan ketika
kebinasaan sebuah negeri terjadi, mungkin tak ada waktu lagi untuk meratapi dan
menyesali.
Tulisan ini juga memberikan
apresiasi dan hormat melekat kepada para pemberantas narkoba, yang tanpa kenal
lelah dan menyerah. Mereka ini ibarat malaikat tanpa sayap, yang tahu bangsanya
sedang sekarat.
Kemungkinan lain adalah
Indonesia ’nirkoba’. Kata ’nirkoba’ agak maksa karena menyingkat dari
singkatan. Namun, kata ’nirkoba’ sebenarnya punya saudara yang lebih dulu
eksis, yaitu ’nirwana’, keadaan melenyap sama sekali atau juga ’nirlaba’, yang
tak mengedepankan keuntungan.
’Nir’ berasal dari bahasa
Kawi yang artinya hilang atau tidak dengan. Kata ’nirdaya’, misalnya, dalam
bahasa nenek moyang kita punya arti tidak berdaya, atau lemah. Dan, untuk
menciptakan Indonesia nirkoba, kita harus ’nirbita’ alias tidak takut, harus
berani, bahkan nekat. Terutama karena segala jenis pil dan
”saudara-saudara”-nya bukan jenis alami seperti air hujan atau buah dari
tanaman. Ada yang membuat secara sengaja, memproduksi sebesar yang bisa disebar.
Permainan Telur Pecah
Waktu kecil dulu saya
bermain dolanan yang dinamai dog-endogan.
Arti harfiahnya telur-teluran. Permainan yang disertai nyanyian di mana
anak-anak meletakkan tangan mencengkeram secara bertumpuk ke atas. Pada akhir
nyanyian, telur bagian bawah pecah. Hanya dengan begitu, telur bagian atas akan
bisa pecah—yang sebenarnya dicegah lewat lirik dalam yang dinyanyikan bersama.
Telur bagian bawah yang pecah tak lagi menyangga bagian atas dan yang pecah tak
bisa utuh kembali. Dengan kata lain, harus merelakan ada korban di bawah kalau
mengarah ke atas sampai tuntas.
Dalam menciptakan suasana
terjadinya Indonesia nirkoba pun demikian. Seorang anak yang tertangkap
memakai—atau mengedarkan, atau memproduksi— narkoba menyeret orangtuanya karena
dianggap kurang bertanggung jawab mengawasi atau tidak melaporkan.
Orangtua atau telur di
atasnya ini juga bisa berarti atasannya. Kalau ada murid terkena, gurunya bisa
dimintai pertanggungjawaban, dan dikenai sanksi. Kalau guru yang melakukan, ya,
kepala sekolah kena juga. Kalau wakil menteri yang jungkies, ya, menterinya ikut meringis. Kalau napi dalam penjara
tertangkap berarti sipir ikut menanggung. Kalau sipir melakukan itu, berarti
kepala regu tak boleh sembunyi. Kalau kepala regu terlibat, berarti kepala
keamanan tak bisa lepas tangan. Kalau kepala keamanan yang tertangkap, berarti
kalapas tak bisa bebas begitu saja. Kalau kalapasnya? Kan, tetap ada atasannya.
Jenjang dan hierarki ada
dalam tatanan sosial kita. Dengan demikian satu dengan lainnya saling menjaga
untuk tidak terjadi atau melaporkan, bukan sebaliknya: melindungi!
Tak ada salahnya belajar
dari anak-anak. Sebab, merekalah sesungguhnya pemilik surga tanpa narkoba.
Meski dalam permainan semata, mereka serius melakukannya. Serius dan
bersungguh-sungguh secara bersama, sesuai aturan main. Satu saja mbalelo,
permainan menjadi kacau.
Mereka pun tak pandang bulu.
Tangan siapa pun yang jadi telur akan pecah. Tak peduli tangan anak-cucu
presiden atau raja: bila sampai paling atas pun akhirnya pyaaar, telur pun
pecah, sesuai bunyi dalam lirik. Semua anak bertepuk tangan, senang, dan
melanjutkan permainan baru.
Kata baru perlu dirindu
mengingat pemberantasan narkoba di negeri ini malah menghabisi harapan.
Bagaimana tidak, bapak yang musisi dangdut dan anaknya sama-sama tertangkap
dalam kesempatan berbeda. Bagaimana tidak, kalau di rumah sewaan sederhana di
tengah permukiman bisa ditemukan ribuan pil ekstasi atau alamat resmi institusi
pemberangus narkoba dijadikan alamat penadah barang haram jadah, sementara
jumlah tangkapan makin gegap. Seolah kapan pun—pagi, siang, malam, 24 jam
sehari—diadakan razia pasti ada yang terkena.
Mengingat narkoba tak turun
dari langit seperti air hujan dan juga bukan buah yang tumbuh dengan
sendirinya, pastilah masih ada pembuat, penyelundup, yang bisa menutup negeri
Indonesia sampai benar-benar tancep kayon alias tamat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar