Rohingya
dan Suu Kyi
Dion Maulana Prasetya ; Pengajar Ilmu Hubungan Internasional UMM
REPUBLIKA,
26 Juli 2012
Ramadhan
mungkin men jadi bulan yang penuh kedamaian bagi umat Muslim di Indonesia. Kita
bisa dengan aman dan nyaman menikmati santap sahur, bekerja, berbuka puasa,
beribadah tarawih, sampai menyaksikan banalnya acara 'Ramadhan' di televisi
tanpa ada gangguan yang berarti. Namun, kondisi yang jauh berbeda terjadi pada
umat Muslim Rohingya di Myanmar, tepatnya di Provinsi Arakan. Selama enam minggu
terakhir warga Muslim Myanmar menjadi korban dan target kekerasan oleh kaum
mayoritas, seperti yang disampaikan oleh Amnesti Internasional.
Berdasarkan
perkiraan PBB, 800 ribu Muslim Rohingya tinggal di Myanmar saat ini. Sisi yang
mengenaskan adalah ribuan dari mereka berusaha melarikan diri dari Myanmar tiap
tahunnya untuk menghindari aksi kekerasan. Akan tetapi, pilihan untuk melarikan
diri juga bukanlah solusi yang final dan terbaik.
Di
negara tujuan, seperti Bangladesh mereka yang telah selamat 'menyeberang' pada
akhirnya harus dideportasi kembali ke Myanmar. Mungkin hal yang sama akan
dilakukan oleh Pemerintah Indonesia kepada pengungsi Rohingya yang tertangkap
di Bogor pada Kamis (19/07).
Stateless People
Penderitaan
warga Rohingya itu bersumber pada status mereka yang tidak jelas Pemerintah
Myanmar menganggap umat Muslim Rohingya bukanlah warga negara Myanmar.
Pemerintah menganggap mereka adalah imigran ilegal dari Bangladesh. Di sisi
lain, Pemerintah Bangladesh juga menolak mengakui mereka sebagai warga negara.
Bahkan, baru-baru ini Pemerintah Bangladesh memperketat perbatasan untuk
mencegah eksodus besar-besaran etnis Rohingya dari Myanmar.
Penolakan
mengenai status kewargane garaan dapat ditarik jauh ketika Myanmar (kala itu
bernama Burma) masih dikuasai oleh Inggris. Waktu itu Pemerintah Inggris
mendorong warga Bengali bermigrasi ke daerah subur Arakan (saat ini wilayah
Myanmar) untuk bertani. Tidak ada batas negara antara Myanmar dan Bangladesh
kala itu, sehingga penduduk Arakan bisa bebas berpindah ke Bengal, begitu pula
sebaliknya. Fenomena inilah yang menjadi sumber penderitaan umat Muslim
Rohingya, ketika saat ini dua negara bangsa lahir di antara wilayah Arakan dan
Bengal.
Penderitaan
umat Muslim Rohingya bisa jadi berlipat ganda, karena minimnya perhatian, baik
dari dalam negeri maupun lingkungan internasional. Dari dalam negeri, selain
tidak mendapat pengakuan dari pemerintah, kekerasan yang menimpa Muslim
Rohingya juga tidak mendapat perhatian dari ikon demokrasi Aung San Suu Kyi.
Sampai saat ini, perempuan yang telah memperoleh kursi pertamanya di parlemen
itu belum mengeluarkan statemen berkaitan dengan tragedi di Arakan.
Berdasarkan
data yang dikeluarkan oleh President of the Burmese Rohingya Organization UK
(BROUK), sebanyak 650 etnis Rohingya meregang nyawa, 1.200 hilang, dan lebih
dari 80 ribu kehilangan tempat tinggal semenjak kerusuhan terjadi. Pertanyaan
besar yang muncul adalah bagaimana bisa seorang ikon demokrasi yang juga peraih
Nobel Perdamaian tahun 1991, tidak memberikan perhatian khusus terhadap tragedi
semacam ini?
Dilema Suu Kyi
Setidaknya ada satu jawaban yang cukup beralasan untuk
menjawab pertanyaan di atas. Saat ini, ketika hak-hak politik mulai diperoleh,
dilema akan dengan mudah menyerang Suu Kyi. Jika Suu Kyi memberikan perhatian
khusus kepada umat Muslim Rohingya, ia akan kehilangan simpati dari mayoritas
umat Buddha. Hal itu berarti usahanya meraih tampuk kekuasaan akan semakin
berat. Sebaliknya, jika ia mengabaikan
tragedi ini, image Suu Kyi sebagai pembela demokrasi dan kemanusiaan akan
dipertanyakan oleh dunia internasional.
Dilema
ini tentunya menjadi ujian terbesar bagi objektivitas Suu Kyi dalam memandang
kebebasan dan kemanusiaan. Jika Suu Kyi memang memilih untuk mengabaikan Muslim
Rohingya maka bisa dipastikan bahwa nilai-nilai kebebasan dan kemanusiaan yang
dianutnya adalah kebebasan untuk kekuasaan. Suu Kyi tidak akan mau
mempertaruhkan posisinya yang semakin dekat dengan kekuasaan hanya dengan
memberikan perhatian khusus pada etnis Rohingya.
Nilai-nilai
kebebasan dan kemanusiaan semacam itu tidak berbeda dengan nilai-nilai yang
dianut oleh Amerika Serikat (AS). Mereka akan lantang meneriakkan kebebasan dan
kemanusiaan jika itu selaras dengan kepentingannya, dan pura-pura tidak melihat
ketika tidak memberikan keuntungan material baginya.
Standar
ganda AS itu terlihat jelas pada kasus Irak dan yang terbaru Suriah. AS dan
juga sekutunya gencar sekali menyuarakan kebebasan dan demokratisasi untuk
Suriah. Rezim Bashar al-Assad dituduhnya melakukan pembantaian massal terhadap
masyarakat sipil. Oleh sebab itu, AS dan sekutunya juga gencar mendorong DK PBB
untuk melakukan intervensi militer ke Suriah.
Tidak
ada jalan lain bagi Suu Kyi selain harus turun tangan untuk mengatasi
permasalahan ini, atau ia akan kehilangan kepercayaan dari dunia internasional
sebagai aktivis HAM. Suu Kyi harus 'berteriak' sekencang ketika ia menyuarakan
demokratisasi untuk Myanmar. Ia harus membuktikan bahwa nilai-nilai kebebasan
dan kemanusiaan itu bersifat universal, bukan berdasarkan standar Barat.
Selain
Suu Kyi, tentunya peranan ASEAN sangatlah dibutuhkan. Meskipun sampai saat ini
masih memegang prinsip nonintervensi terhadap permasalahan dalam negeri negara
anggotanya, ASEAN harus mengupayakan perdamaian secepatnya di tanah Arakan.
Jangan sampai permasalahan ini semakin menambah daftar ketidakefektifan ASEAN
dalam menyelesaikan konflik, baik di antara negara anggota maupun yang terjadi
di wilayah Asia Tenggara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar