Sabtu, 14 Juli 2012

Pertarungan Baru Dimulai


Pertarungan Baru Dimulai
Donny Gahral Adian ; Dosen Filsafat Politik UI
KOMPAS, 13 Juli 2012


Demokrasi adalah pertarungan. Kalah menang soal biasa. Namun, Pilkada DKI kali ini tidak biasa. Bukan karena diikuti oleh kandidat-kandidat luar biasa. Saya menduga, pertarungan politiknya yang bukan pertarungan biasa.

Sudah lama saya merindukan pertarungan politik sebenar-benarnya. Bukan pertarungan antara cukong dan konsultan politik belaka, melainkan pertarungan antara barisan ideologis dan gerombolan oportunis. Pertarungan antara kepekaan dan keahlian. Politik orang melawan politik barang. Pertarungan yang pemenangnya adalah kedaulatan rakyat dan bukan semata siasat.

Agon

Demokrasi adalah kompetisi. Semasa Yunani Kuno, orang menyebut agon sebagai kompetisi antarwarga untuk menunjukkan keutamaan masing-masing. Agon diturunkan dari kompetisi gimnastik, di mana atlet berlomba menunjukkan kehebatan masing-masing di arena. Agon dimotori oleh insting narsistik yang kental. Setiap orang berlomba memamerkan kelebihan dirinya di antara orang banyak. Ada hierarkis di situ. Orang banyak adalah mereka yang melongo, sementara para aristos adalah yang berdiri pongah dengan kepala menengadah.

Apabila demokrasi klasik menuduh kompetisi politik sebagai ajang pamer kebolehan pribadi, pilkada kita justru sebaliknya. Semua kandidat bertiwikrama menjadi filantropis yang bernafsu. Tengok program mereka. Hampir semua menjanjikan pengobatan gratis bagi warga kota.

Hampir semua berjanji menggratiskan sekolah mulai dari TK sampai perguruan tinggi. Bertolak belakang dengan semangat agon, semua kandidat justru mengubur dalam-dalam insting narsistiknya.

Apakah benar demikian? Pertarungan agonistik sejatinya tetap terjadi antarkandidat. Buktinya, puluhan miliar rupiah dikeluarkan untuk membedaki wajah politik masing-masing. Kontes pilkada bisa dibilang hampir mirip kontes kecantikan. Warga bukanlah partisipan yang menggunakan hak politiknya secara aktif. Warga adalah mereka yang duduk di seberang panggung sambil mengagumi kecantikan politik para kontestan. Masing-masing pun bersiap menentukan pilihannya sembari membayangkan, bukan memahami.

Pilkada adalah pesta di seberang jalan. Modal dan iklan adalah balon warna-warni yang memeriahkan pertarungan. Semua kandidat bertingkah filantropis, tetapi terus memompa pundi-pundinya supaya dapat tampil paling berkesan di antara yang lain. Pemilih pun jadi sulit membedakan antara kandidat satu dan lainnya. Semua mengusung program yang hampir sama. Semua mengibarkan panji-panji kerakyatan yang sewarna. Sekilas, tidak ada distingsi fundamental bagi warga untuk menetapkan suaranya.

Para kandidat juga berlatar belakang kelas yang lebih kurang sama. Semua datang dari kelas menengah terdidik yang memiliki jarak sosial dengan sebagian besar konstituennya. Kelas menengah biasanya memiliki kacamata sama dalam melihat kesulitan rakyat kecil: sebagai persoalan untuk dipecahkan dengan rumus yang terberi. Mereka memecahkan, bukan merasakan masalah. Slogan politik yang berseliweran adalah ”profesional”, ”ahli”, ”kompeten”, ”efisien”, ”tiga tahun bisa”, dan sebagainya. Padahal, kita mencari gubernur, bukan direktur perusahaan.

Akibatnya, pertarungan pun terjadi pada tataran teknis dan citra. Semua bicara perkara teknologi sosial untuk menyelesaikan masalah perkotaan. Teknologi sosial itu pun dibungkus citra yang dibangun di laboratorium para konsultan.

Konflik yang Menjanjikan

Pilkada DKI kali ini mengagetkan saya. Saya merasakan sebuah pertarungan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Saya menemukannya di tubuh dua partai politik besar: PKS dan PDI-P. Keputusan PKS untuk menetapkan Hidayat Nur Wahid dan Didik Rachbini adalah lompatan politik yang cukup berani. Keduanya bukan calon bermodal. Hidayat hidup secara asketis, sementara Didik akademisi sederhana. Dibandingkan calon PKS di pilkada sebelumnya, kedua calon PKS ini cukup menjanjikan dari segi ide dan komitmen. Pencalonan keduanya membuktikan bahwa di tubuh PKS masih ada faksi keadilan yang masih ingin mempertahankan idealisme dan marwah partainya.

Pertarungan di tubuh PDI-P tidak kalah ganas. Di internal, barisan ideologis berhadap-hadapan dengan gerombolan transaksionis. Jokowi sendiri adalah keputusan di saat-saat mengkhawatirkan. Seorang wali kota dengan rekam jejak berpolitik yang sangat manusiawi hampir saja luput direkomendasikan. Saat partai mencari figur yang menjanjikan kemenangan, Jokowi tiba-tiba jadi tak menarik. Berbagai alasan diajukan, mulai dari modal finansial yang kembang kempis sampai latar kultural yang dianggap tak sejalan.

Bagi saya, pertarungan internal di kedua partai tersebut menjanjikan pertarungan politik yang kita idamkan bersama. Untuk pertama kalinya kita sungguh-sungguh menghargai suara politik yang kita miliki. Suara bukan kertas suara, melainkan aspirasi politik yang mampu membuat perubahan kolektif secara fundamental. Warga pun bertarung dengan gairah politik yang tak pernah ditemukan dalam sejarah politik pascareformasi. Sekilas naif. Namun, ibarat udara, tidak ada satu pun yang dapat memungkirinya.

Pertarungan agonistik yang terjadi bukan lagi pada tataran kesan, melainkan kepekaan. Pertarungan bukan lagi adu kemolekan, melainkan kemampuan merasakan dan menyelesaikan kesulitan publik. Kita tiba-tiba terhasut untuk percaya pada keajaiban. Pertarungan kali ini adalah polemos ( konflik) yang menjanjikan logos ( kebenaran). Ada janji dan harapan yang menyembul di balik debu pertarungan politik kali ini.

Keserakahan Masih Mengintai

Namun, pertarungan belum selesai. Ini bahkan baru saja dimulai. Modal dan keserakahan masih mengintai ruang politik kita. Transaksionisme masih menunggu di ujung jalan. Rakyat masih rentan dipermainkan iklan. Suara bisa lenyap ke udara melalui rekayasa informasi.

Namun, banyak orang lupa, agon bukan semata-mata adu kebolehan pribadi. Agon adalah pertarungan untuk menunjukkan siapa yang paling mampu berkontribusi untuk keadaban publik. Pemenang adalah dia yang terbaik dalam mewujudkan kebaikan publik. Dia yang kemenangannya dirayakan rakyat dan bukan para cukong, konsultan, dan teknisi informasi. Pertarungan belum selesai. Mata air politik ini masih dapat kering di tengah jalan. Ini bukan pertarungan antara kebaikan dan kejahatan. Ini bahkan bukan perkara etika politik. Pertarungan ini adalah pertarungan ideologis. Pertarungan antara mereka yang percaya pada kekuatan cita dan komitmen dengan mereka yang lebih percaya uang. Terlebih lagi, politik kita seperti terbelah menjadi dua bagian besar. Politik terpisah menjadi perkara keahlian dan kepekaan.

Ada dua kaum yang berpolitik di pilkada kali ini. Mereka yang berpolitik seperti menulis disertasi dan mereka yang berpolitik dengan menghiruprasakan kesulitan orang banyak. Kita tentu berharap yang terbaik. Saya sudah tidak dapat menulis apa-apa lagi kecuali berpesan: mari menangkan pertarungan ini!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar