Puasa
dan Kepedulian Sosial
Ahmad Syafii Maarif ; Mantan Ketua
Umum PP Muhammadiyah
KOMPAS,
27 Juli 2012
Salah satu aspek terpenting
ajaran Islam yang sering ditelantarkan sepanjang sejarah oleh umatnya adalah
kepedulian sosial terhadap mereka yang kurang beruntung. Padahal, ini adalah
bagian dari prinsip keadilan, yang merupakan sisi lain dari mata uang yang sama
dari doktrin monoteisme (tauhid).
Puasa Ramadhan selama satu
bulan, yang datang sekali dalam setahun, dalam perspektif ini adalah lonceng peringatan
keras bagi orang beriman agar masalah keadilan jangan sekali-kali dilecehkan.
Fenomena seorang Muslim menjadi penganut Marxisme dapat ditelusuri penyebab
utamanya, yakni karena penguasa dan elite masyarakatnya telah mengabaikan
dimensi kepedulian sosial yang demikian tajam diperintahkan Al Quran, khususnya
surat-surat yang diwahyukan pada periode Mekkah (610-622).
Pada periode ini, Al Quran
tidak hanya berbicara masalah iman dan tauhid, sebagaimana masih diajarkan di
madrasah dan pesantren. Akan tetapi, Al Quran sudah langsung membidik sistem
oligarki Quraisy dengan piramida kekuasaannya yang eksploitatif terhadap
masyarakat mayoritas yang terpinggirkan.
Kekuasaan dan
Keadilan
Karena pada periode Mekkah
itu posisi politik Nabi Muhammad SAW masih sangat lemah, bidikan terhadap
segala bentuk ketidakadilan itu masih berupa ajaran verbal yang belum mungkin
dieksekusi. Baru pada periode Madinah (622-632), saat kekuasaan telah berada di
tangan Nabi Muhammad, ajaran tentang keadilan itu ditegakkan dan dilaksanakan
secara berani dan konsekuen. Sebab, beriman kepada Allah yang Tunggal tanpa
diikuti tegaknya keadilan dan mekarnya kepedulian sosial dalam bingkai
kemanusiaan, yang juga tunggal, tidak ada artinya bagi perjalanan sejarah
peradaban umat manusia. Sewaktu orang Quraisy ditanya tentang siapa yang
menciptakan alam semesta, jawaban mereka adalah Allah!
Dalam ungkapan yang lebih
lengkap, ikuti ayat Al Quran ini: ”Dan jika engkau bertanya kepada mereka
[orang Quraisy]: ”Siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan memudahkan
[perjalanan] matahari dan bulan?” Niscaya mereka menjawab: ”Allah”. Maka
mengapa mereka bisa dipalingkan [dari kebenaran]. Surat ini, menurut sebagian
besar pendapat para ahli tafsir, diturunkan pada periode Mekkah. Masih ada
beberapa ayat Makkiyah (turun pada periode Mekkah) lainnya yang mengandung
substansi serupa.
Penduduk Mekkah, terutama
golongan elite, berdasarkan testimoni Al Quran ternyata percaya bahwa pencipta
alam semesta adalah Allah. Namun, kepercayaan itu sama sekali tak ada kaitannya
dengan masalah keadilan dan kepedulian kaum berpunya terhadap penduduk miskin
dan terkapar.
Dalam ungkapan Al Quran,
sikap peduli terhadap kaum telantar yang berselimutkan debu disebut sebagai al-‘aqabah (jalan mendaki dan sulit).
Kita ikuti: “Tetapi dia tidak menempuh al-‘aqabah
itu. Tahukah engkau apa itu al-‘aqabah?
[Yaitu] membebaskan hamba sahaya [dari perbudakan]. Atau memberi makan pada
hari kelaparan. [Kepada] anak yatim yang ada hubungan kerabat. Atau orang
miskin yang terkapar di atas debu.”
Munculnya sifat orang kaya
yang kedekut (sangat kikir) ini
karena mereka percaya bahwa harta bendanya itu akan membuat dia kekal. Harta
adalah segala-galanya bagi mereka kaum kaya itu. Perhatikan lukisan Al Quran
ini: ”Kerakusanmu kepada harta benda teramat sangat.”
Ayat-ayat Makkiyah adalah
ibarat ledakan gunung berapi untuk menghancurkan pilar-pilar oligarki yang
berlaku sewenang-wenang dan pongah atas mayoritas penduduk Mekkah yang tak
berdaya. Padahal, mereka tak berdaya karena korban dari sistem yang tidak
menghargai martabat manusia biasa.
Revolusi Arab dan
Pemicunya
Revolusi yang meledak di
negeri-negeri Arab-Muslim, sejak tahun lalu, adalah karena kerakusan penguasa
terhadap kekuasaan dan harta yang melampaui batas di atas penderitaan rakyatnya
yang didera ketidakadilan dan kemiskinan. Bahkan, tidak jarang melalui fatwa
para ulama resmi dan dukungan Barat. Maka, berlakulah perselingkuhan antara
kekuasaan dan fatwa agama. Alangkah kejinya, alangkah biadabnya!
Umumnya para penguasa ini
tentu berpuasa di bulan Ramadhan dan mungkin telah menunaikan ibadah haji
berkali-kali. Tetapi puasa ya puasa, haji ya haji: tidak ada kaitannya dengan
upaya sungguh-sungguh untuk menegakkan keadilan dan menggalakkan kepedulian
sosial. Maka, tidaklah mengherankan jika kesenjangan sosial-ekonomi di sana
termasuk yang tertinggi hampir di seluruh dunia Islam.
Indonesia, bangsa Muslim
terbesar ini, setali tiga uang dengan negeri-negeri Muslim Arab yang kini masih
dalam suasana revolusi dan sedang gagap dalam memetakan masa depannya. Jika
Nabi Muhammad SAW berkuasa semata-mata untuk mengibarkan panji-panji tauhid
yang terkait rapat secara organik dengan tegaknya keadilan dan keperdulian
sosial sebagai salah satu hikmah puasa, maka sebagian besar penguasa Muslim
berbuat sebaliknya. Mereka memang mengaku percaya kepada nabi akhir zaman ini,
tetapi hampir sepanjang sejarah telah melecehkan semua nilai luhur itu. Dan,
pemicunya tak lain karena kerakusan terhadap harta dan kekuasaan yang sudah
berada di luar kendali iman dan moral.
Akhirnya, perintah kewajiban
berpuasa di bulan Ramadhan bagi seluruh umat beriman tertuang dalam Al Quran:
”Wahai segenap orang yang beriman! Diwajibkan kepada kamu berpuasa sebagaimana
telah diwajibkan kepada umat sebelum kamu, dengan harapan kamu akan meraih
posisi takwa.”
Takwa di sini tak dapat
diterjemahkan hanya sebagai takut kepada Allah. Ia bermakna adanya kesadaran
mendalam dan tulus dalam hati orang yang berpuasa bahwa Allah senantiasa
mengawasi tingkah lakunya dari jarak yang tanpa batas.
Pemihakan pada keadilan dan
kepedulian sosial adalah buah langsung dari perilaku takwa itu di samping
nilai-nilai spiritual lainnya. Semestinya elite Muslim di negeri Pancasila ini
mau melakukan introspeksi secara tajam dan berani terhadap fenomena kekuasaan
yang tecermin dalam ungkapan pertanyaan berikut. Bukankah kekuasaan politik
pasca-proklamasi sebagian besar tergenggam di tangan para haji yang juga
berpuasa, tetapi mengapa tonggak-tonggak keadilan dan kepedulian sosial masih
saja dibiarkan goyah dan kurang terurus?
Siapa tahu, puasa tahun 1433
Hijriah ini akan mampu membangunkan kesadaran yang mendalam dan tulus itu, demi
perbaikan moral bangsa Indonesia yang masih berada di bawah bayang-bayang awan
kelabu. Semoga Allah belum bosan membimbing bangsa ini ke arah jalan yang lurus
dan benar. Selamat berpuasa! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar