Otonomi
Daerah dari Presiden?
Ramlan Surbakti ; Guru Besar
Perbandingan Politik
pada
FISIP Universitas Airlangga
KOMPAS,
31 Juli 2012
Rancangan Undang-Undang
Pemerintahan Daerah—untuk mengganti UU No 32 Tahun 2004—yang baru-baru ini
diserahkan pemerintah kepada DPR menawarkan cara pandang baru.
Cara pandang baru di sini
adalah dalam menjabarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibagi atas
daerah-daerah provinsi. Daerah provinsi dibagi lagi atas kabupaten dan kota,
yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah untuk menjalankan otonomi
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah
pusat.
Dari isi Bab II tentang
Kekuasaan Pemerintahan (Pasal 2) dapat disimpulkan, pemerintahan daerah sebagai
”penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut
asas otonomi dan pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam prinsip
dan sistem NKRI, sebagaimana dimaksud UUD 1945” adalah penyerahan sebagian
kekuasaan presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif).
Beberapa ayat dari Pasal 2
membuktikan kesimpulan tersebut. Pertama, Presiden memegang kekuasaan
pemerintahan dalam sistem administrasi NKRI. Sistem administrasi negara
hendaklah dibaca sebagai sistem pelaksanaan kebijakan publik (UU) alias
eksekutif. Kedua, presiden dibantu para menteri untuk menjalankan urusan
pemerintahan.
Ketiga, pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan
berdasarkan asas dekonsentrasi, desentralisasi, dan tugas pembantuan. Keempat,
dalam melaksanakan asas desentralisasi, presiden menyerahkan sebagian urusan
pemerintahan kepadadaerah. Sebagian urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah
itulah yang tampaknya dimaksudkan sebagai otonomi daerah seluas-luasnya.
Kelima, presiden memegang tanggung jawab akhir atas penyelenggaraan
pemerintahan, termasuk penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah.
Bab tentang Penataan Daerah
juga menunjukkan betapa pembentukan daerah otonom adalah kekuasaan presiden.
Setidaknya tiga hal membuktikan hal itu. Pertama, pemerintah pusat menetapkan
desain besar penataan daerah yang berisi estimasi jumlah daerah, strategi
pembentukan, penghapusan, penggabungan dan penyesuaian daerah, serta rencana
pembentukan daerah baru untuk kepentingan strategis nasional (Pasal 19). Kedua,
pemerintah pusat melakukan penataan daerah, yaitu pembentukan, penghapusan,
penggabungan, dan penyesuaian daerah (Pasal 6). Ketiga, setiap pembentukan
daerah baru harus melalui tahap daerah persiapan selama tiga tahun yang diatur
dengan peraturan pemerintah.
Bab V tentang Urusan
Pemerintahan (Pasal 20) yang membagi urusan pemerintahan menjadi tiga kategori
(absolut, konkuren, dan umum) juga menunjukkan RUU ini adalah RUU tentang
kekuasaan eksekutif. Termasuk urusan pemerintahan absolut adalah politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal, justisia, serta agama (Pasal
21). Urusan pemerintahan absolut ini sepenuhnya dipegang oleh pemerintah pusat.
Cara pandang baru
menafsirkan NKRI dengan pemerintahan daerah untuk menjalankan otonomi
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang jadi urusan pusat, selain
sebagai penerapan pendekatan administrasi publik tampaknya juga dilandasi suatu
maksud agar presiden (dan para pembantunya) dapat mengendalikan semua kegiatan
pemerintahan daerah sehingga tercapai tujuan dan sasaran nasional yang
ditetapkan presiden.
Pertanyaan dan Gugatan
Berdasarkan RUU ini,
kekuasaan presiden untuk mengendalikan pemerintahan daerah tak hanya melalui
desentralisasi, dekonsentrasi, dan pembantuan, tetapi juga melalui dua cara
lain. Pertama, daerah otonom provinsi dan kabupaten/kota diberi status sebagai
wilayah administratif. Dengan demikian, kepala daerah juga berperan sebagai
wakil pemerintah pusat di daerah (Pasal 5) sebagaimana diterapkan selama Orde
Baru berdasarkan UU No 5/1974. Kedua, penerapan pengawasan pemerintahan daerah
yang bersifat preventif harus mendapat evaluasi (kata lain dari persetujuan)
menteri untuk rancangan peraturan daerah provinsi, serta mendapat evaluasi dari
gubernur—sebagai wakil pusat di daerah—untuk rancangan perda kabupaten/kota
sebelum disahkan (Pasal 131).
Sejumlah pertanyaan mendasar
perlu diajukan terhadap cara pandang baru ini.
Pertama, apakah pengertian
desentralisasi yang digunakan dalam Pasal 2 Ayat (4) RUU Pemda tersebut (”dalam
melaksanakan asas desentralisasi, presiden menyerahkan sebagian urusan
pemerintahan kepada daerah”) sama artinya dengan pengertian pemerintahan daerah
sebagaimana dimaksud Pasal 18 UUD 1945. Khususnya Ayat (5): ”Pemerintahan
daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang
menjadi urusan pemerintah pusat.”
Jawaban atas pertanyaan ini
terletak pada pengertian ”kekuasaan pemerintahan yang dipegang oleh Presiden”.
Kalau mencermati pembagian kekuasaan negara yang diatur dalam UUD 1945,
kekuasaan pemerintahan yang dipegang presiden adalah kekuasaan menjalankan
undang-undang (eksekutif).
Di pihak lain, kalau mencermati
Pasal 18, 18A, dan 18B UUD 1945 dapat disimpulkan: pengertian otonomi
seluas-luasnya dalam Pasal 18 Ayat (5) niscaya bukan berasal dari kekuasaan
eksekutif presiden. Kalau pemerintahan daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya berasal dari kekuasaan eksekutif presiden, pembentukan
pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota (sebagai daerah otonom,
pembagian urusan pemerintahan, susunan dan tata cara penyelenggaraan
pemerintahan daerah, hubungan kewenangan antara pusat dan daerah serta hubungan
keuangan pusat dan daerah) tak perlu dengan UU. Cukup peraturan pemerintah dan
peraturan presiden.
Apabila otonomi daerah
seluas-luasnya berasal dari presiden sebagai pemegang kekuasaan menjalankan UU,
pemerintahan daerah tidak perlu diberi kewenangan membentuk perda dan peraturan
lain untuk menjalankan otonomi daerah dan urusan pembantuan berdasarkan
prakarsa dan kondisi daerah.
Kalau urusan pemerintahan
yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan DPRD berasal dari kekuasaan
eksekutif presiden, mengapa anggota DPRD dan kepala daerah provinsi dan kepala
daerah kabupaten/kota harus dipilih melalui pemilihan umum? Sudah tentu akan
lebih efisien apabila DPRD dihapuskan (karena tidak ada urusan yang bersifat
substantif yang dapat diatur) dan kepala daerah cukup diangkat saja.
Kedua, sebagai lanjutan
pertanyaan pertama, siapa yang menyerahkan ”otonomi seluas-luasnya kecuali
urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat” kepada setiap daerah
otonom?
Jawaban yang diberikan
pemerintah dalam RUU tersebut adalah presiden sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahan berdasarkan Pasal 4 UUD 1945. Akan tetapi, jawaban yang diberikan
oleh UUD 1945 bukan Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, melainkan
pembentuk UU [Pasal 18 Ayat (1), Ayat (5), dan Ayat (7), Pasal 18A Ayat (1) dan
Ayat (2) UUD 1945]. Kita tahu, lembaga negara yang memiliki kekuasaan membentuk
UU bukan presiden melainkan DPR (Pasal 20), walaupun setiap pembahasan RUU
wajib melibatkan dan mendapatkan persetujuan Presiden. Karena itu, jawaban atas
pertanyaan tadi bukan presiden melainkan negara atau pemerintahan nasional.
Pertanyaan ketiga, siapa
yang dimaksud pemerintah pusat dalam Pasal 18 Ayat (5) UUD 1945? Pertanyaan ini
diajukan karena enam urusan pemerintahan absolut ditetapkan sebagai kewenangan
pemerintah pusat dalam RUU ini. RUU ini mendefinisikan pemerintah pusat (dalam
Ketentuan Umum) sebagai presiden dan wakil presiden, serta para menteri.
Pengertian yang sempit ini
kurang tepat berdasarkan argumentasi konstitusional berikut. Kedaulatan NKRI
ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD, dan bahwa NKRI adalah negara
hukum (Pasal 1 UUD 1945). Hal ini berarti sumber kekuasaan NKRI adalah rakyat
dan kekuasaan NKRI diselenggarakan berdasarkan hukum.
Oleh karena itu, pembagian
kekuasaan dalam NKRI haruslah berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat dan negara
hukum. Adapun yang dijalankan presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif
adalah undang-undang yang dibentuk oleh lembaga legislatif dan dasar hukum yang
digunakan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai kekuasaan yudikatif dalam
”mengadili” perkara adalah undang-undang yang dibentuk oleh lembaga legislatif.
Artinya, ”politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal, yustisia, dan agama” sebagai
enam urusan pemerintahan absolut, tak mungkin sepenuhnya jadi kewenangan
pemerintah pusat, dalam arti lembaga eksekutif. Sebab, penyelenggaraan semua
jenis urusan itu (termasuk urusan pemerintahan absolut) harus berdasarkan kedua
prinsip tadi: kedaulatan rakyat dan negara hukum.
Konkretnya, keenam jenis
urusan pemerintahan absolut tersebut harus diatur dengan UU oleh para wakil
rakyat untuk dapat dilaksanakan oleh presiden sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahan (eksekutif) dan dapat digunakan oleh lembaga yudikatif dalam
mengadili perkara yang menyangkut urusan tersebut. Kalau argumentasi
konstitusional ini benar, yang dimaksud dengan pemerintah pusat dalam Pasal 18
Ayat (5) bukan hanya pemerintah dalam arti sempit (presiden, wakil presiden,
dan para menteri), tetapi pemerintah dalam arti luas, yakni termasuk legislatif
dan yudikatif.
Keliru Memilih Pijakan
Komentar terakhir adalah
berkaitan dengan cara berpikir hukum terbalik dalam pengaturan penataan daerah
dan pengaturan desain besar penataan daerah. Disebut terbalik karena
pembentukan, penggabungan, penghapusan, dan penyesuaian daerah otonom dilakukan
dengan UU (Pasal 6, Pasal 10, dan Pasal 14), tetapi desain besar penataan
daerah dilakukan oleh pemerintah pusat (Pasal 19).
Disebut juga berpikir hukum
terbalik karena undang-undang menjalankan peraturan pemerintah. Baik pola dan
arah desain besar penataan daerah maupun berbagai bentuk penataan daerah
seharusnya diatur secara jelas dalam UU tentang Pemerintahan Daerah.
Selain harus memenuhi
persyaratan administrasi dan persyaratan teknis, pembentukan daerah otonom baru
juga harus melalui tahap daerah persiapan selama tiga tahun. Hanya daerah
persiapan yang dinilai layak oleh pemerintah sajalah yang akan ditetapkan
sebagai daerah otonom baru melalui UU. Pengaturan tentang daerah persiapan ini
sepenuhnya dilakukan pemerintah dengan peraturan pemerintah. Ketentuan seperti
ini tidak saja merupakan tindakan sepihak pemerintah yang ”mendikte” DPR, juga
menutup kesempatan DPR mengajukan RUU terkait pembentukan daerah otonom baru.
Tindakan yang dilandasi oleh niat yang baik sekalipun, tetapi melanggar UUD,
tetaplah merupakan pelanggaran.
Dua kesimpulan dapat
diajukan terhadap RUU Pemerintahan Daerah yang diajukan tersebut. Pertama, RUU
itu bukanlah jawaban yang tepat tentang apa yang dimaksud dengan ”NKRI yang
dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten
dan kota, yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah untuk menjalankan
otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan
pemerintah pusat”. Kedua, RUU Pemerintahan Daerah tersebut berangkat dari
pijakan konstitusional yang keliru dalam menjabarkan susunan dan tata cara
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan hubungan wewenang antara pemerintah
pusat dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dengan memperhatikan
kekhususan setiap daerah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar