Mengapa
Rakyat Meusak Aset BUMN Perkebunan?
Bahrul Ilmi Yakup ; Advokat dan
Konsultan Hukum;
Ketua
Asosiasi Advokat Konstitusi
KOMPAS,
31 Juli 2012
Pembakaran perumahan
karyawan dan kebun tebu milik PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Cinta
Manis di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, kembali terjadi (Kompas,
19/7/2012). Sebagian kalangan menunjuk konflik hak atas tanah sebagai akar
masalahnya. Benarkah demikian?
Secara historis, konflik
BUMN di sektor perkebunan memang berasal dari konflik hak atas tanah. Sebab,
latar belakang BUMN perkebunan sebagian besar memang hasil nasionalisasi
perusahaan perkebunan milik Belanda, yang disebut afdeling, oleh Presiden Soekarno melalui UU No 86/1958 yang
disahkan 31 Desember 1958 tetapi berlaku surut ke 3 Desember 1957.
Peta Konflik
Awalnya, Belanda memperoleh
lahan afdeling tersebut dengan cara
menduduki bahkan merampas tanah rakyat atau kerajaan lokal yang kalah perang,
baik dengan memberi kompensasi seadanya atau tidak. Selanjutnya, Belanda
mempekerjakan rakyat pribumi sebagai kuli di perkebunan tersebut dengan
perlakuan diskriminatif (kurang manusiawi) dibandingkan pekerja Belanda.
Tindakan Belanda tersebut menyemaikan bara dendam di kalangan rakyat lokal
terhadap Belanda. Oleh karena itu, konflik perkebunan pada zaman Belanda
memperhadapkan rakyat melawan Belanda.
Dendam rakyat sepertinya
akan terobati dengan tindakan Presiden Soekarno menasionalisasi perusahaan
perkebunan Belanda pada pengujung 1958. Namun, ternyata nasionalisasi tidak
menuntaskan konflik perkebunan. Sebab, nasionalisasi tidak dilanjutkan dengan
upaya penyelesaian konflik hak atas tanah perkebunan secara adil melalui
program land reform yang dibingkai UU
No 5/1960 tentang UU Pokok Agraria.
Kondisi ini menjadi lebih
parah pada zaman Orde Baru, yang dengan dukungan tentara menerapkan politik
agraria tiga tingkat dan sangat merugikan rakyat (Tri Chandra Aprianto, 2006).
Pertama, Orba melakukan
proses ideologisasi, yaitu melabelkan tanah untuk kepentingan umum atau demi
pembangunan. Oleh karena itu, rakyat yang hendak merebut tanah dari BUMN
perkebunan dicap sebagai anti- pembangunan, bahkan dapat diasosiasikan dengan
komunisme.
Kedua, memberi stigma anti-pemerintah
terhadap rakyat yang memberi argumentasi lain dari pandangan pemerintah dalam konflik
agraria.
Ketiga, menggunakan
pendekatan kekerasan terhadap konflik tanah yang muncul.
Politik agraria tiga tingkat
tersebut sangat merugikan rakyat, menyebabkan konflik agraria tak
terselesaikan, sehingga jadi laten dan terus membara di bawah permukaan.
Konflik ini mulai meledak pada era reformasi ketika rakyat merasa memperoleh
kebebasan menyatakan pendapat dan bertindak. Karena itu, pada era reformasi,
konflik tanah terjadi di hampir semua perusahaan perkebunan di sejumlah daerah,
baik BUMN maupun bukan.
Cepat, Cermat, dan Tegas
Kendati konflik tanah
perkebunan memiliki latar belakang historis, tetapi harus dicermati bahwa tak
semua konflik perkebunan murni konflik hak atas tanah. Cukup banyak konflik
perkebunan telah ditunggangi elite tertentu untuk kepentingan politik atau
ekonomi temporer, seperti untuk kepentingan pilkada dan pemilu legislatif.
Untuk itu perlu tindakan
cepat, cermat, dan tegas dalam menghadapi konflik perkebunan. Pengelola BUMN
perkebunan harus cepat dan cermat melakukan pemetaan atas substansi konflik
yang muncul. Kalau memang substansinya adalah konflik agraria, pengelola BUMN
perkebunan sebaiknya segera membentuk forum yang melibatkan Badan Pertanahan,
tokoh masyarakat informal, dan ahli hukum adat setempat.
Dalam menangani konflik
agraria yang melibatkan hak atas tanah adat, fatwa tokoh masyarakat informal
dan ahli hukum adat lebih netral dan berwibawa ketimbang pejabat formal,
seperti kepala desa dan camat. Sebab, sering terjadi kepala desa dan camat
sudah sarat kepentingan, menyebabkan mereka tidak lagi netral dan dihargai
rakyat.
Dari pemetaan tersebut
biasanya akan segera diketahui apakah ada elite yang menunggangi konflik
perkebunan untuk kepentingan sesaat. Pada umumnya, konflik agraria murni tidak
disertai dengan tindakan radikal, seperti pembakaran, perusakan, dan
penjarahan. Oleh karena azalinya, rakyat Indonesia tidak berkarakter beringas.
Tindakan beringas dan
radikal yang muncul dalam konflik agraria lazimnya didesain dan diprovokasi
oleh elite tertentu. Oleh karena itu, pihak kepolisian seharusnya berani
mengambil tindakan tegas terhadap pelaku perusakan aset BUMN perkebunan. Sebab,
BUMN perkebunan menjalankan fungsi negara dalam bidang ekonomi (OECD Guidlines on Corporate Governance of
State-Owned Enterprises, 2005; UUD
1945 Pasal 33 jo TAP MPRS No XXIII Th 1966).
Program Kemitraan
Salah satu instrumen untuk
mengelola konflik BUMN perkebunan dengan rakyat lokal adalah memaksimalkan
pemanfaatan dana Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang diatur
Peraturan Menteri BUMN No 05/MBU/2007.
Cakupan PKBL lebih luas
dibandingkan corporate social responsibilities (CSR) perusahaan swasta. Sebab,
PKBL bertujuan mewujudkan tiga pilar utama pembangunan yang telah dicanangkan
pemerintah, yaitu (1) pengurangan jumlah pengangguran, (2) pengurangan jumlah
penduduk miskin, dan (3) peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Persoalannya, apakah dana
PKBL selama ini telah dimanfaatkan secara tepat sasaran? Dalam banyak kasus,
dana PKBL telah disalahgunakan. Akibatnya, rakyat lokal semakin merasa
teralienasi oleh kegiatan BUMN perkebunan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar