Penggencetan
dan Wibawa Sekolah
J Sumardianta ; Fasilitator Pendidikan
Karakter
KORAN
TEMPO, 31 Juli 2012
Kasus bullying yang menimpa SMA Don Bosco, Pondok
Indah, Jakarta, adalah puncak dari gunung es kebobrokan sistem persekolahan.
Gunung es ambrol gara-gara orang tua korban berkicau di Twitter. Di zaman ini,
premanisme tidak bisa beroperasi tersembunyi terus di bawah karpet pembiaran
sekolah. Media sosial membuat segala isu sensitif bertiup sekencang puting
beliung.
Sekolah terlalu sibuk mengajar
hingga lupa mendidik murid menjadi manusia berkarakter. Bullying, penggencetan berupa
kekerasan dan pelecehan, telah menjadi tradisi turun-temurun. Kejahatan ini
direncanakan baik. Tahun pertama, mereka dicuci otak. Tahun kedua, mereka mulai
menjadi follower. Tahun
ketiga, mereka sudah jadi hulubalang dan raja. Para pelaku bullying, sesudah menganiaya,
masih berbohong. One crime
leads to another crime.
Kasus bullying (selanjutnya diterjemahkan dengan
penggencetan) merupakan masalah laten sekolah menengah di Jakarta. Penggencetan
sudah menjadi pengetahuan umum, merajalela juga di sekolah-sekolah negeri
favorit. Penggencetan di sekolah ditandai dengan perilaku agresif
berulang-ulang yang dilakukan siswa-siswi yang berkedudukan lebih kuat terhadap
siswa-siswi berposisi lemah.
Penggencetan bisa dikelompokkan
menjadi lima kategori. Pertama, kontak fisik langsung, seperti memukul,
mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mencubit, mencakar, merusak
barang-barang milik korban, menyekap dalam ruangan, memeras dan memalak korban.
Kedua, kontak verbal langsung, seperti mengancam, mempermalukan, merendahkan,
mengganggu, memberi stigma buruk, sarkasme, mengejek, mengintimidasi, memaki,
dan menyebarkan gosip. Ketiga, perilaku non-verbal langsung, seperti tatapan
sinis, ekspresi wajah melecehkan, gestur tubuh mengejek, dan kontur tubuh
mengancam. Keempat, perilaku non-verbal tidak langsung, seperti mendiamkan
seseorang, memanipulasi persahabatan, mengucilkan, mengabaikan, dan mengirim
surat kaleng. Kelima, pelecehan seksual.
Kekerasan dan pelecehan dalam
perpeloncoan merupakan manifestasi relasi kuasa kakak kelas-adik kelas.
Perpeloncoan semula dimaksudkan sebagai latihan mental dan kepemimpinan.
Perpeloncoan, prakteknya, menjadi ajang pewarisan dendam kultural siswa-siswi
senior terhadap junior mereka. Di Yogyakarta, ada SMA negeri yang terpaksa
mengurangi persentase murid lelakinya guna menghentikan kebiasaan tawuran
antarpelajar yang disosialisasi lewat perpeloncoan.
Merajalelanya aksi-aksi
perendahan, penghambaan, pemalakan, dan penindasan antarsiswa di Jakarta
menunjukkan betapa lemahnya pendidikan karakter. Ada pemeo bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa yang sangat kuat karakternya untuk tidak berkarakter.
Sekolah terperangkap materialisme
kurikulum bercorak primitif yang memuja otak kognitif. Pendidikan turun derajat
jadi stupidifikasi, sekadar pelatihan menjadi bodoh. Empati tumpul. Para murid
kurang dikondisikan memahami sungguh-sungguh perasaan orang lain. Empati baru
jalan bila murid dapat menemukan hati mereka dalam emosi, kegembiraan, harapan,
dan kepedihan orang lain. Menangkap perasaan orang lain hanya bisa dilakukan
bila murid tahu rasanya berada dalam posisi orang lain. Budaya tepa selira inilah yang kurang ditumbuhkan sekolah
kepada para peserta didiknya yang baru dalam tahap galau, "alay",
dan "ababil"---anak-anak
baru labil.
Esensi pendidikan itu membuat
orang menjadi lebih baik dan berperilaku terpuji. Pimpinan sekolah dan para
guru belum kunjung paham akan esensi ini. Mereka goyah di tepian rutinitas
mengajar yang monoton. Penggencetan cermin senioritas dan junioritas dari para
guru sendiri. Sebagai kaum urban yang orientasinya mencari nafkah, mereka
menggadaikan kewibawaan kepada murid. Para guru tidak setia kepada kesepakatan
perihal core values,
seperti sikap toleran, hormat, kemandirian, sopan santun, dan penuh perhatian.
Guru takut kepada muridnya sendiri.
Lorong-lorong penghubung
antarkelas di sekolah rupanya menjadi momok bagi murid junior. Mereka baru
berani lewat bila para seniornya sudah berada di ruang kelas. Guru disiplin
jadi serba salah, seperti melawan diri sendiri. Lembaga pendidikan jadi kurang
berwibawa. Mereka mati kutu menghadapi perilaku bengal segelintir peserta
didik.
Mereka yang suka bikin onar
memiliki kepribadian cracker dan leader.
Kalau bukan tipologi pencari celah yang punya daya pengaruh kuat, tidak mungkin
mereka bisa menggerakkan dan mempengaruhi orang lain. Guru gagal memahami
karakter siswanya. Perilaku cracker dan leader cenderung destruktif karena pola
pendampingan guru di sekolah gebyah-uyah.
Pola ombyokan tidak mengakomodasi
potensi spesifik setiap murid.
Sekolah menjadi seperti bebek
lumpuh, terbelenggu kepengecutan dan kepecundangan gurunya sendiri. Sekolah tak
ubahnya minimarket tempat murid bisa datang-pergi kapan saja, karena
mentang-mentang bisa membayar mahal. Baik pelaku maupun korban seperti disuruh
berperang sendiri di pengadilan guna membela martabat masing-masing, karena
kedunguan pengelola sekolah.
Penggencetan di sekolah bisa
dicegah dan diantisipasi bila para guru memperlakukan murid bukan dengan
pendekatan klasikal, melainkan dengan cara personal. Guru, terutama wali kelas,
harus menerapkan model reksa pribadi agar paham satu per satu murid
perwaliannya. Wali kelas punya data terperinci mengenai tipologi murid cracker, leader, dan follower berikut potensi persoalan dan
solusinya.
Masa orientasi siswa baru (MOS),
sumber awal segala bentuk penggencetan, harus dikoordinasi langsung oleh para
guru; tidak dibiarkan lepas kendali karena dikelola para murid senior. MOS
merupakan sarana penanaman nilai-nilai pendidikan karakter seperti integritas,
hormat, tanggung jawab, keadilan, dan kepedulian. MOS bukan koloseum tempat
kaisar mengadu budak gladiator dengan binatang buas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar