Kamis, 26 Juli 2012

“Joker” dan Psikiatri Forensik


“Joker” dan Psikiatri Forensik
Nova Riyanti Yusuf ; Wakil Ketua Komisi IX DPR, Fraksi Partai Demokrat
 SINDO, 26 Juli 2012


Setelah film the Amazing Spiderman merajai penjualan tiket di bioskop seluruh dunia, penggila film pun menanti kehadiran film Batman, the Dark Knight Rises. Namun, antisipasi di Indonesia dan belahan dunia lain didahului oleh kehebohan berita tentang penembakan sadis pada sebuah premier film Batman, the Dark Knight Rises, di Teater Film Century Aurora 16, Denver, Colorado, 21 Juli 2012.

Marty Natalegawa pun selaku Menteri Luar Negeri Republik Indonesia memberikan keterangan pers terkait penembakan yang menewaskan 12 orang dan 58 orang cedera karena termasuk di antara korban luka adalah tiga warga negara Indonesia. Pelaku insiden berdarah ini adalah seorang pria 24 tahun bernama James Holmes. Dalam berbagai media massa dikatakan dia menyangka dirinya adalah salah satu karakter dalam film Batman, yaitu Joker.
Dua hal menjadi pertanyaan. Pertama, akankah dia dinyatakan menderita gangguan jiwa sehingga diberikan penatalaksanaan psikiatri intensif dan terbebas dari hukuman setimpal layaknya para pelaku tindak kriminal pada umumnya? Kedua, merefleksi kasus ini, sudah adakah sistem hukum yang adekuat dan tepat di Indonesia untuk menangani kasus kriminalitas yang dilakukan penderita gangguan jiwa mengingat potensi terjadi kasus-kasus tersebut?

Imitasi “Joker” 

James Holmes secara resmi akan didakwa pada 30 Juli 2012. Hal ini berdasarkan keputusan yang dibuat pengadilan di Centennial pada sidang perdana James Holmes. Jaksa penuntut umum Carol Chambers akan meminta hukuman mati pada kasus James. Ternyata banyak kalangan di Amerika Serikat juga berharap hukuman serupa untuk James Holmes. Selain tentu perdebatan sengit tentang perlunya pemerintah Amerika Serikat mengawasi peredaran senjata secara lebih ketat.

Sosok James lebih menunjukkan ciri psikotik dengan gangguan reality testing ability (RTA),yaitu ketidakmampuan untuk membedakan antara realita dan fantasi. James menunjukkan penarikan diri dengan mengundurkan diri dari program PhD. James juga diyakini mengimitasi tokoh Joker yang diperankan secara dahsyat oleh Heath Ledger dalam film Batman the Dark Knight sehingga Heath Ledger diganjar piala Oscar sebagai pemeran pembantu pria terbaik.

Heath Ledger menginterpretasikan karakter Joker sebagai sosok badut skizofrenik tanpa rasa empati dan seorang pembunuh massal. Interpretasi dan penghayatan Heath Ledger yang begitu kuat pun harus berakhir tragis dengan kematian akibat overdosis obat-obatan (resep) tidak lama setelah rampung memerankan Joker. Sebuah diskusi memunculkan pemikiran bahwa pembunuh yang mengimitasi mungkin saja dilakukan oleh seseorang yang psikotik.

Saat ini belum ada diagnosis tepat tentang gangguan jiwa yang diderita oleh James sehingga ada beberapa kemungkinan di antaranya gangguan waham menetap (delusional disorder), skizofrenia, dan lain-lain. James mempunyai kemampuan intelektual yang baik sehingga ada sebuah celah kemungkinan ia mampu melakukan tindakan imitasi dan membuat perencanaan sesuai fantasinya. Tentu pendapat ini masih terbuka untuk berbagai argumentasi.

Berbeda dengan kasus pembunuhan berantai yang dilakukan Ryan dari Jombang, James membunuh dalam ruangan bioskop yang gelap, bukan sembari menikmati rasa takut pada diri korban dengan menatap matanya. Pemberitaan mengumumkan bahwa kejaksaan negeri semakin mantap untuk mengeksekusi Ryan didasarkan pada sikap Mahkamah Agung yang menolak permohonan peninjauan kembali (PK) Ryan. Alasan Ryan dalam PK yang menyatakan dirinya mengalami gangguan jiwa psikopat sehingga tidak pantas dinyatakan bersalah dalam kasus ini ditolak mentah-mentah.

Psikiatri Forensik 

Dengan polemik penegakan hukum bagi tindak kriminal dalam konteks gangguan jiwa, pada 2010 Jurnal Internasional Hukum dan Psikiatri menerbitkan sebuah kajian tentang legislasi baru untuk pelaku tindak kriminal dengan gangguan jiwa di Jepang.

Artikel ini mendeskripsikan reformasi hukum bagi Psikiatri Forensik (subspesialisasi ilmu kedokteran jiwa yang menelaah mental manusia dan berfungsi membantu hukum dan peradilan) dalam memberlakukan sebuah peraturan pemerintah pada 2005 yang meregulasi tentang penatalaksanaan dan supervisi medis (medical treatment and supervision act).

Sistem tersebut memayungi bahwa seseorang yang melakukan tindak kriminal serius dalam kondisi gangguan jiwa atau menurunnya tanggung jawab akan dirujuk oleh jaksa penuntut umum ke pengadilan negeri. Dengan tujuan untuk menyediakan penatalaksanaan psikiatri intensif kepada pelaku tindak kriminal dengan gangguan jiwa, disertai dengan perlunya reintegrasi mereka ke dalam masyarakat.

Nanti panel yang terdiri atas seorang hakim dan seorang psikiater forensik yang memenuhi kualifikasi yang akan memegang peran penting dalam prosedur penatalaksanaan. Sesuai persetujuan dari kedua anggota panel tersebut, panel akan membuat keputusan dengan pertimbangan hasil evaluasi psikiatrik. Kemungkinan keputusan bisa berupa rawat inap, rawat jalan (supervisi psikiatri), dan tidak ada perintah untuk dirawat.

Sebelum sistem ini diberlakukan, dalam setting tradisional Jepang, sejumlah pelaku tindak kriminal dengan gangguan jiwa ditangani oleh psikiatri umum tanpa fasilitas khusus untuk mereka. Bahkan lebih mengganggu lagi, lebih dari 80% rumah sakit jiwa adalah rumah sakit swasta tanpa peralatan, staf, dan keamanan khusus untuk menangani pasien dengan rekam jejak tindak kriminal.

Berbeda dengan kondisi sekarang, di mana tidak jauh dari Tokyo juga berdiri National Institute of Mental Health (NIMH), National Center of Neurology and Psychiatry (NCNP), yang menyediakan fasilitas khusus bagi psikiatri forensik dengan kasus pembunuhan, pemerkosaan, pembakaran, dan lain-lain. Bagi pengunjung yang akan mengunjungi fasilitas tersebut ibarat akan memasuki sebuah penjara umum sehingga harus melewati proses pemeriksaan keamanan maksimum termasuk penggeledahan.

Dengan stimulasi berbagai ilustrasi kasus dan mempelajari jurnal-jurnal baik dari negara Jepang, Jerman, dan Australia, kasus pidana dan perdata dalam ranah kesehatan jiwa merupakan substansi yang tidak terelakkan lagi karena Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa tidak lama lagi pasti akan dibahas oleh Komisi IX DPR RI.

Selama ini kita hanya menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai acuan. Mengingat sekarang juga semakin banyak tersangka korupsi (baik korupsi sebagai sebab maupun akibat gangguan jiwa), kebutuhan untuk pendampingan kesehatan jiwa sangatlah penting.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar