Suara
Rakyat, Suara Siapa?
Masdar Farid Mas’udi ; Rois PBNU
KOMPAS,
27 Juli 2012
Rakyat! Alangkah saktinya
kata-kata ini. Semua bangsa beradab menyebut dengan khusyuk kata-kata itu dalam
konstitusi negara mereka. Suara rakyat adalah suara
Tuhan. Fox populi fox dei, demikian keyakinan manusia pada abad modern dewasa
ini. Jika suara Tuhan adalah suara kebenaran, suara rakyat adalah kebenaran itu
sendiri.
Dalam Si Shu, kitab suci
Konghucu, dikatakan: ”Tuhan mendengar seperti rakyat mendengar, Tuhan melihat
seperti rakyat melihat”. Artinya, telinga dan mata rakyat adalah telinga dan
mata Tuhan. Iman kepada Tuhan berarti iman kepada rakyat; mengabdi kepada Tuhan
pun hanya bisa dimengerti dalam pengabdian kepada rakyat.
Kita bangsa Indonesia
menganut akidah yang sama, ”akidah kerakyatan”. Dalam teks konstitusi kita,
secara harfiah kata-kata ”rakyat” adalah yang terbanyak disebut. Tidak kurang
dari 200 kali, paling banyak dibandingkan semua kata kunci yang lainnya.
Pancasila kita juga
menempatkan ”rakyat” sangat istimewa. Dengan menyebutnya di sila keempat
(”Kerakyatan yang dipimpin...”) dan sila kelima (”Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”), berarti rakyatlah sangkan paran atau alfa-omega hidup
kebernegaraan kita.
Rakyat yang
dipalsukan
Namun, siapakah sesungguhnya
sang ”rakyat” yang punya kedudukan begitu tinggi dalam hampir semua konsep
ideologi dan sistem kenegaraan di muka bumi ini, juga di negeri kita,
Indonesia? Siapakah gerangan ”rakyat” itu? Di mana tempat tinggal dan apa
kerjanya sehingga ia layak menjadi sasaran seluruh jihad kenegaraan dan
pemerintahan bangsa Indonesia?
Apakah rakyat itu termasuk
saudara sebangsa dari kalangan yang tunawisma, tunakerja, dan kaum miskin papa
yang tinggal di kolong-kolong jembatan, di kampung-kampung kumuh; yang tidur di
bedeng atau gubuk-gubuk kardus di pinggir rel, yang setiap saat boleh
”ditertibkan” dengan kasar oleh aparat berseragam dengan menggunakan pentungan?
Kalau iya, kenapa mereka
begitu jauh dari kepedulian negara kita? Bahkan, tak jarang (aparat) negara
memperlakukan mereka layaknya sampah yang hanya pantas untuk disingkirkan,
dilempar jauh ke pinggiran.
Seperti mata uang dan semua
yang berharga dan istimewa selalu rentan dipalsukan dan dimanipulasi oleh
tangan-tangan jahil, juga rakyat yang begitu berharga dan begitu istimewa.
Begitu banyak pihak—oknum ataupun lembaga—yang menyebut diri dengan label
rakyat, mengaku mewakili rakyat, melayani rakyat, melindungi rakyat, dan
berjuang untuk kesejahteraan rakyat. Namun, kenyataannya?
Ada yang bertanya: bagaimana
hukumnya orang yang mencari nafkah untuk diri dan keluarganya, mendapatkan
kekayaan dan fasilitas mewah dengan atas nama rakyat, padahal kenyataannya
tidak demikian? Label rakyat di situ hanya dipalsukan!
Maka, kita pun melihat dan
merasakan paradoks di negeri ini, antara yang diikrarkan dan dibuktikan. Negara
berjanji untuk hadir dan bekerja bagi keadilan (sila kelima) dan sebesar-besar
kemakmuran rakyat (UUD Pasal 33 Ayat 3). Namun, sejauh ini yang dimakmurkan,
dari waktu ke waktu, adalah para pejabat dan kroninya. Lebih-lebih pada era
reformasi dewasa ini. Sementara yang namanya rakyat selalu dibelakangkan. Hanya
kebagian sisa. Itu pun kalau masih ada.
Perlukah kita kembali bicara
tentang sesuatu yang begitu sederhana, yang kita asumsikan semua kita sudah
memahaminya, yakni: siapa sesungguhnya ”rakyat” itu. Apa beda dengan pejabat?
Atau pejabat yang terhormat itulah rakyat yang sebenar-benarnya?
Siapa rakyat itu?
Rakyat berasal dari bahasa
Arab, raiyat, artinya gembala. Di seberang raiyat (rakyat) ada ra’iy, alias si
penggembala, pamong (Jawa) atau dalam konteks perbincangan kita adalah pejabat.
Filosofi hubungan gembala-
penggembala bukan untuk merendahkan yang satu dan meninggikan yang lain, tetapi
untuk menegaskan tanggung jawab yang satu (penggembala/pejabat) terhadap yang
lain (gembala/rakyat). Maka, penggembala yang baik bukan yang mendominasi,
melainkan yang selalu siap melayani, melindungi, dan mengutamakan kepentingan
gembalanya. Jika perlu dengan mengorbankan kepentingannya sendiri.
Penggembala tidak identik
dengan pemilik gembala; pejabat bukan tuan yang boleh bertindak dan
memperlakukan rakyat sesuka hatinya. Sang pemilik rakyat sebagai gembala tidak
lain adalah Allah, Tuhan Sang Maha Pencipta. Pejabat hanya Amil, alias aparat
Allah yang dipikuli amanat untuk melindungi dan memberdayakan rakyat
gembalanya.
Sebagai Amil, mereka berhak
dapat gaji, sebagai upah atas kerja mereka melayani rakyat, maksimal 1/8 (12,5
persen) dari seluruh anggaran negara yang dipungut dari sedekah-pajak
rakyatnya. Lebih dari itu, apalagi sampai 60 persen dari APBN, jelas tak halal
dan merupakan kezaliman.
Rakyat tidak identik dengan
warga atau penduduk. Tidak ada kartu tanda rakyat (KTR); yang ada kartu tanda
penduduk (KTP/paspor), termasuk di dalamnya para pejabat. Warga atau penduduk
secara apriori tidak mengenal hierarki, berbeda dengan rakyat vis a vis
pejabat.
Secara formal, posisi
pejabat ada di atas rakyat, tetapi secara moral rakyat ada di atas pejabat.
Rakyat, seperti disebut berkali- kali dalam konstitusi, adalah sumber moralitas
dan muara seluruh kerja negara
yang dijalankan oleh dan jadi tanggung jawab pejabat negara dan aparatnya.
Prioritaskan yang
lemah
Namun, rakyat (terpisah dari
pejabat) begitu banyak jumlahnya. Di negeri kita bisa 200-an juta jiwa.
Pertanyaannya, mana yang mesti diutamakan saat sumber daya—terutama anggaran—
negara terbatas? Jawabannya: mulailah dari lapisan rakyat yang paling rakyat,
yang ada di lapis paling bawah. Agama dan konstitusi, UUD 1945, menyebut mereka
”kaum fakir-miskin” atau kaum dluafa wal mustadl’afien (lemah dan terlemahkan).
Tanpa sadar kita pun
cenderung mengidentikkan rakyat dengan apa yang disebut wong cilik, yang lemah,
tertinggal dan terpinggirkan; bukan para pejabat atau mereka yang digdaya dan
kaya raya. Inilah yang terungkap dalam nomenklatur jujur kita ketika menyebut
makanan rakyat, pasar rakyat, transportasi rakyat. Pasti yang dimaksud rakyat
di sini bukan kaum gedongan yang di atas, melainkan mereka yang terdampar di
lapis bawah. Rakyat jelata! Itulah yang harus jadi prioritas kerja negara.
Agama tidak membenci atau
mengutuk orang kaya—bahkan sekaya-kayanya seperti Nabi Sulaiman—asal diraih
dengan cara halal, bukan dengan manipulasi atau korupsi. Namun, negara pasti
akan kehilangan keberkatan bila membiarkan rakyatnya yang miskin tenggelam
dalam kemiskinan. Tidak peduli apakah itu negara sekuler atau negara agama.
Al Quran menegaskan:
”Tahukah engkau si pendusta agama? Ialah yang menghardik anak yatim nan
telantar dan tidak sungguh-sungguh dalam memecahkan derita kaum fakir-miskin”.
Kiranya Tuhan segera
menyadarkan bangsa kita, terutama para pemimpinnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar