Gemuruh
Pembangunan dan Defisit Kesejahteraan
Ahmad Erani Yustika ; Guru Besar Fakultas
Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya;
Direktur Eksekutif Indef
MEDIA
INDONESIA, 30 Juli 2012
TANPA disadari, pembangunan ekonomi nasional makin menjauh dari cita-cita
konstitusi. Pertumbuhan ekonomi nasional dilaporkan terus meningkat, rasio
utang terhadap PDB makin rendah (25%), inflasi lebih bisa dikendalikan (tak
pernah lagi menyentuh dua digit), stabilitas makroekonomi terjaga, peringkat
investasi membaik (investment grade),
indeks kepercayaan konsumen kian tinggi, dan beberapa indikator lainnya
menunjukkan kinerja yang dianggap menggembirakan.
Atas perolehan capaian itu, Indonesia kerap mendapatkan
penghargaan dari luar negeri karena dianggap sukses melakukan reformasi
ekonomi. Namun, pemerintah mendapatkan sambutan dingin dari dalam negeri,
bahkan memperoleh cemooh yang tiada henti, entah itu di media (cetak dan
elektronik), panggung seminar, forum diskusi, maupun obrolan di warung-warung.
Tidak mudah menjelaskan itu semua, tapi sebagian deskripsi berikut ini
barangkali dapat menjelaskan sebagian sumber masalah tersebut.
Defisit Kesejahteraan
Pembangunan ekonomi yang dikerjakan di Indonesia memang telah
menghasilkan pertumbuhan yang lumayan mengesankan, tetapi dengan meninggalkan
residu yang tidak kalah gawat, yakni kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan
pengangguran. Pertama, meskipun dana dan segepok kebijakan ekonomi sudah
diproduksi untuk mengatasi masalah kemiskinan, penurunan jumlah orang miskin tidak
menunjukkan data yang impresif (grafik 1).
Pada 1990, persentase kemiskinan sebesar 15,1% atau setara 27,2
juta penduduk kala itu. Pada 2010, persentase penduduk miskin sebesar 13,33%
(31,02 juta jiwa), dan 2011 turun lagi menjadi 12,49%. Jadi, selama 20 tahun
terakhir bisa dikatakan tidak ada kemajuan dalam mengatasi kemiskinan karena
persentase penduduk miskin tidak banyak mengalami penurunan. Hal itu sebagian
disebabkan pemerintah alpa merumuskan kebijakan langsung (direct policies) yang mengaitkan kelembagaan dengan strategi
pengurangan kemiskinan (poverty reduction).
Lihat grafik 1: Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin 1990-2010.
Kedua, pertumbuhan ekonomi yang stabil dalam beberapa tahun
terakhir justru menjadi lahan yang subur bagi peningkatan ketimpangan
pendapatan. Rasio Gini (yang menjadi alat ukur ketimpangan pendapatan dari
skala 0 sampai 1) menunjukkan peningkatan. Pada 2002, rasio Gini baru 0,32;
tapi pada 2010 telah melesat menjadi 0,38 (makin tinggi berarti kian timpang)
seperti tergambar pada grafik 2. Pada 2011, rasio Gini Indonesia bahkan
mencetak rekor baru menjadi 0,41 (BPS, 2012). Itu berarti untuk pertama kalinya
rasio Gini di Indonesia masuk ketimpangan menengah (jika di bawah 0,4 berarti
ketimpangan rendah). Dalam catatan statistik, semenjak Indonesia melakukan
pembangunan secara sistematis pada 1966, rasio Gini tidak pernah menembus 0,4.
Artinya, proses pembangunan makin dinikmati sekelompok kelas ekonomi saja,
yaitu kelas menengah ke atas. Dengan kata lain, jika kemiskinan absolut menurun
(secara perlahan), kemiskinan relatif malah meningkat (defisit kesejahteraan).
Lihat grafik 2: Pertumbuhan Ekonomi dan Rasio Gini di Indonesia.
Dalam perspektif kelembagaan, kenyataan itu dapat dijelaskan lewat
tiga argumen berikut:
1) Terdapat tendensi kesenjangan antara inflasi dan upah minimum
(provinsi) semakin tipis. Beberapa tahun lalu (misalnya 2001), persentase
kenaikan upah minimum jauh lebih besar ketimbang inflasi. Namun dalam beberapa
tahun terakhir (misalnya 2008), proporsi kenaikan inflasi nyaris sama dengan
kenaikan upah minimum.
2) Pertumbuhan sektor riil (pertanian dan industri) makin
tertinggal bila dibandingkan dengan non-tradable
sector, padahal sektor riil menampung sekitar 55% dari total tenaga kerja;
dan
3) Liberalisasi keuangan hanya menjadi instrumen memutar dana dari
satu saku ke saku lainnya (pemilik modal) tanpa memiliki dampak terhadap
kegiatan ekonomi riil (investasi). Perekonomian memang tumbuh (dengan pemicu
sektor keuangan), tetapi terus berputar pada segelintir pemangku modal/uang.
Sekali lagi, liberalisasi keuangan tidak diimbangi dengan kelembagaan yang
mengatur bagaimana seharusnya dana tersebut dikelola dan dimanfaatkan bagi
kesejahteraan masyarakat. Lihat tabel 2: Struktur Tenaga Kerja di Indonesia.
Ketiga, pengangguran terbuka secara sistematis menunjukkan
penurunan (meskipun amat pelan), tapi jumlah pekerja yang tergolong setengah
menganggur (bekerja kurang dari 35 jam per minggu) masih sangat besar,
diperkirakan mencapai 30 juta jiwa. Lebih mengecewakan lagi, jumlah pekerja
yang masuk ke sektor informal terus tumbuh sehingga saat ini mencapai hampir
65,76% dari total tenaga kerja (BPS, 2011), seperti terlihat pada tabel 2.
Gambaran itu tentu menunjukkan betapa rendahnya kualitas
ketenagakerjaan Indonesia meskipun jumlah pengangguran terus menurun. Keadaan
tersebut akan terus bertahan tanpa perubahan strategi pembangunan dan desain
kelembagaan yang terukur. Fenomena itu terjadi antara lain karena faktor-faktor
berikut: desain insentif yang tidak bekerja di sektor pertanian, mahalnya biaya
izin usaha, perilaku rent-seeking dalam promosi sektor ekonomi, akses
permodalan yang tidak berjalan maksimal, dan ke tiadaan perlindungan hukum
terhadap sektor informal.
Perombakan kebijakan
Pertanyaannya, mengapa perekonomian nasional memproduksi patologi
akut semacam itu? Sekurangnya terdapat beberapa penjelasan untuk menjawab itu.
Pertama, seperti yang telah sedikit yang telah sedikit disampaikan di muka,
pemerintah tidak terlalu menaruh perhatian terhadap sektor pertanian dan
industri, padahal kedua sektor itu tempat sebagian besar penduduk bekerja.
Sampai saat ini, sektor pertanian kurang lebih menampung sekitar 43% tenaga
kerja dan sektor industri menyerap 12% tenaga kerja. Celakanya, kedua sektor
itu tumbuh rendah dalam beberapa tahun terakhir. Seperti terlihat pada tabel 3,
pada 2011 pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 6,5%; tetapi sektor pertanian
hanya tumbuh 3%, sedangkan sektor industri 6,2%. Pertumbuhan sektor industri
pengolahan (IP) itu sudah lumayan tinggi karena sebelumnya sektor tersebut
hanya tumbuh 4,48% dan hanya 2,16% (2009). Implikasinya jelas, pertumbuhan yang
rendah di sektor pertanian dan industri menyebabkan sulit untuk menurunkan
kemiskinan, meningkatkan penciptaan lapangan kerja, dan mengurangi ketimpangan. Lihat tabel 3: Pertumbuhan Ekonomi Sektoral 2006-2011
Kedua, kemampuan pemerintah mengendalikan inflasi memang cukup
bagus, tapi itu hanya inflasi nonpangan dan nonenergi. Catatan statistik
menunjukkan inflasi pangan dan bahan makanan selalu menyumbang sekitar 30% dari
total inflasi. Jika ditambah dengan inflasi energi (listrik dan minyak),
sumbangan inflasi bisa mencapai sekitar 50%-60%.
Oleh karena itu, yang betul-betul relatif dapat dikendalikan
pemerintah hanya inflasi di luar pangan dan energi. Sekadar contoh, dalam lima
tahun terakhir (20052010), harga beras naik 120%, kedelai 85%, telur 100%,
cabai 120%, daging 90%, dan jagung 700%! Problemnya, sekitar 70% penge luaran
penduduk miskin habis untuk pangan sehingga struktur inflasi yang sebagian
besar disumbang kenaikan harga pangan menggerogoti kesejahteraan orang miskin
(bukan golongan kaya). Situasi itu terus berulang setiap tahun, khususnya pada
momen puasa Ramadan dan Lebaran seperti saat ini.
Ketiga, secara umum perekonomian nasional telah digadaikan ke
asing.
Hampir tidak ada sektor ekonomi tanpa penguasaan asing dalam jumlah yang signifikan. Sebetulnya tidak ada hal yang tabu dengan asing, sepanjang sifatnya sekadar sebagai pelengkap, misalnya dalam kegiatan produksi, distribusi, dan investasi.
Hampir tidak ada sektor ekonomi tanpa penguasaan asing dalam jumlah yang signifikan. Sebetulnya tidak ada hal yang tabu dengan asing, sepanjang sifatnya sekadar sebagai pelengkap, misalnya dalam kegiatan produksi, distribusi, dan investasi.
Masalahnya, ketergantungan perekonomian nasional terhadap asing
sudah sedemikian besar sehingga sifatnya tidak lagi komplementer. Lebih
menyedihkan, sektor ekonomi yang mestinya berdaulat sepenuhnya, seperti sektor
pertanian, justru terperangkap dalam jebakan impor yang akut. Sebut saja 53%
garam, 60% kedelai, 30% daging, dan 70% susu harus diimpor. Jadi,
ketidakmampuan pemerintah mengendalikan harga pa ngan sebagian bersumber dari
ketidakmandirian produksi. Potret di sektor pertanian itu terjadi pada hampir
seluruh sektor ekonomi lainnya, entah itu pertambangan, industri, keuangan,
telekomunikasi, ataupun perdagangan.
Dengan deskripsi tersebut, mudah dipahami apabila seakan-akan di
negeri ini pembangunan dikerjakan secara bergemuruh, tapi hasilnya malah
defisit kese jahteraan (pada sebagian besar masyarakat). Surplus kesejahteraan
hanya mengelompok pada sedikit orang sehingga menimbulkan ketimpangan yang tak
terperikan. Jumlah penduduk miskin pada 2010, misalnya, mencapai 31 juta jiwa
dan hampir miskin sebanyak 22,90 juta jiwa.
Pada 2011, jumlah penduduk miskin turun menjadi 30 juta, tetapi
jumlah penduduk hampir miskin malah melonjak menjadi 27,12 juta jiwa (BPS,
2011). Jika pada 2010 jumlah penduduk miskin dan hampir miskin sebanyak 53,9 juta,
pada 2011 meningkat menjadi 57,12 juta jiwa. Tak ada obat mujarab untuk
mengobati luka tersebut, tetapi pemerintah harus merombak perekonomian ke jalur
yang benar, yakni urus kembali pertanian dan industri, hentikan liberalisasi,
promosikan koperasi dan usaha mikro/kecil, kurangi porsi asing, dan giring
sektor keuangan untuk menyantuni sektor riil. Tentu saja itu jalan terjal, tapi
itulah amanah konstitusi yang tak dapat diganjal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar