Senin, 30 Juli 2012

Dua Wajah Rokok


Dua Wajah Rokok
Anto Prabowo ; Wartawan Suara Merdeka,
Peneliti di Lembaga Studi Pers-Informasi (LeSPI)
SUARA MERDEKA, 30 Juli 2012


ARTIKEL Petrus Widijantoro, ”Menafsirkan Uskup Soegija Merokok” (SM, 13 Juli 2012) sangat menarik. Memanfaatkan popularitas film ”Soegija”, Petrus mencoba membela keberadaan keretek. Namun, pada bagian akhir, dia spekulatif.  Dia menulis,” Seandainya Romo Soegija hidup pada zaman sekarang, saya berpikir Beliau tetap mempertahankan kebiasaan merokok, tak peduli popularitasnya meredup di kalangan umat ...”

Saya pikir, jika hidup di zaman sekarang, kita tidak tahu apakah Beliau memilih merokok atau tidak.  Yang jelas, pada era Uskup Soegijapranata hidup, pandangan terhadap rokok sangat positif.

Harian Daily Express, London (10 Desember 2008) menampilkan laporan ”When Smoking was Good”.  Lead-nya, ”Di zaman produsen rokok tidak diizinkan untuk menampilkan produk-produk legal mereka, sulit untuk percaya bahwa ada suatu masa ketika merokok tidak hanya ditoleransi, tapi juga didorong, bahkan oleh tenaga medis.”

Iklan produk rokok tahun 1970-an menjadi ilustrasi laporan itu.  Iklan rokok Embassy misalnya, menyebutkan, ”Inhale to your heart’s content”;  Lucky Strike, ”Her singing coach advised a light smoke”; dan rokok Camels, ”More doctors smoke Camels than any other cigarette”.

Buku Magic Medicines of the Indians (Weslager, 1974) sangat memandang positif tembakau. Kandungan tanaman ini dikenal bisa memudahkan konsentrasi, menghangatkan yang kedinginan, menimbulkan rasa kenyang. Bahkan asapnya untuk menyembuhkan penderita tuberkulosis (Tb) dan rematik, mencegah infeksi, dan lainnya. Namun berbagai riset klinis kemudian menyatakan bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan. Nikotin dan tar adalah dua dari ribuan kandungan yang dinilai jadi biang keladi bahaya itu.

Pandangan Subatomik

Apakah hal-hal positif dari tembakau (dan cengkih) itu sesungguhnya tidak ada, atau sengaja ditenggelamkan? Tidak adakah pandangan yang lebih komprehensif, yang mempertimbangkan konteks, bilamana rokok berbahaya dan kapan ia justru bermanfaat?

Ahli kimia organik Indonesia, Dr Getha Zahar (73), penemu divine keretek dan metode balur untuk mengeluarkan radikal bebas dari dalam tubuh, mengemukakan, titik leleh nikotin adalah -79 derajat Celcius,  berat jenisnya 1, sama dengan air. Maka nikotin bersifat higroskopis dan mudah larut, tidak mungkin jadi penyebab kecanduan.

Dari surut pandang subatomik (elektron, proton, netron), unsur-unsur organik (C, H, O, N) yang menyusun nikotin bersifat stabil, kecil peluangnya menghasilkan radikal bebas yang membahayakan tubuh.

Tembakau, menurut Dr Gretha, bisa dibebaskan dari radikal bebas logam berat, baik pada tingkat budi daya maupun pengelolahan hasil. Pada kondisi demikian, tembakau  jadi bahan baku untuk menghasilkan rokok yang sehat.

Peneliti dan penulis AS, Wanda Hamilton, dalam bukunya Nicotine War (2010) memaparkan hasil-hasil riset mutakhir tentang manfaat nikotin untuk pemulihan kerusakan otak, penghasil pembuluh darah baru untuk mengatasi gagal jantung, menghentikan pertumbuhan tuberkulosis, terapi trauma syaraf tulang belakang, simtom radang usus besar, dan lainnya. Ini melengkapi data tentang manfaat klasik nikotin sebagaimana disebut sebelumnya di atas.

Pihak farmasi, menurut Hamilton, sangat tahu itu. Maka mereka memproduksi ”penghantar nikotin” dalam bentuk koyo, inhaler, sirup, ataupun permen karet. Keuntungan mereka akan berlipat-lipat, manakala ”penghantar nikotin utama”, yaitu rokok, bisa dilenyapkan dari muka bumi.

Ada dua wajah rokok. Yang satu positif, yang lain negatif. Bak malaikat dan setan. Mana yang benar? Tidak mungkinkah kita menghasilkan data yang mandiri, komprehensif, sekaligus jujur, pada kondisi apa rokok itu berbahaya, dan pada kondisi apa pula ia menjadi berguna bagi kesehatan?

1 komentar: