Sabtu, 28 Juli 2012

Ramadan dan Dromologi Agama


Ramadan dan Dromologi Agama
Muhammadun ; Analis studi publik pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 28 Juli 2012

BULAN Ramadan menjadi ajang kontestasi televisi dalam adu program kepada pemirsa. Semua program didesain menjadi program yang ‘beragama Islam’. Iklan, si netron, dan film menjadi sangat religius. Para artis yang tadinya tak berjilbab akhirnya juga berjilbab ria dengan beragam warna dan nuansa. Televisi mengonstruksi tayangan menjadi begitu islami walaupun sebenarnya tayangan itu tak memberikan pengaruh dalam keberagaman umat Islam. Namun, itulah fenomena perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat, yang tak bisa dimungkiri umat Islam.

Iya, perkembangan televisi di Tanah Air sekarang mengalami percepatan yang luar biasa, khususnya perkembangan dalam wilayah reality show dan laju bisnisnya lewat berbagai lembaga bisnis dan pesta politik. Sorotan televisi dalam momentum Ramadan membuktikan bahwa televisi menjadi kekuatan politik ekonomi yang sangat krusial untuk mendulang keuntungan sebesar-besarnya. Televisi dan agenda industri jala komunikasi yang siap ‘menyergap’ para penikmat untuk ‘tergiur’ oleh dunia pencitraan beragama yang digebyarkan.

Sebagai lembaga penyiaran audio visual, televisi berperan sangat penting dalam membantu penciptaan bangsa yang maju dan beradab.

Akan tetapi, kecepatan arus informasi televisi di tengah godaan pragmatisme bisnis dan politik menjadikan televisi sering kali terjebak dalam hiperrealitas media. Jean Baudrillard dalam Simulations (1983) menjelaskan bahwa hiperrealitas media merupakan perekayasaan (dalam pengertian distorsi) makna di dalam media. Hiperrealitas media menciptakan satu kondisi sedemikian rupa sehingga di dalamnya kesemuan dianggap lebih nyata daripada kenyataan, kepalsuan dianggap lebih benar daripada kebenaran, isu lebih dipercaya ketimbang informasi, dan rumor dianggap lebih benar ketimbang kebenaran. Kita tidak bisa membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, antara isu dan realitas (Yasraf, 2006: 222).

Berkembangnya hiperrealitas media terlihat jelas dalam gelanggang dunia politik di Indonesia. Berbagai kepalsuan menjelma menjadi isu yang dikonsumsi tanpa henti. Kebenaran justru semakin tertutupi karena bisa menimbulkan malapetaka.

Coba kita lihat kasus-kasus tayangan sinetron religius selama ini. Semua dicitrakan penuh kepalsuan. Pengungkapan kebenaran dibatasi dan keberanian membongkar fakta sebenarnya juga semakin ciut nyalinya. Sementara kepalsuan yang hadir dari berbagai tayangan religius sedemikian rupa, simulasi bisnis berbagai merek tayang penuh sensasi, reality show hanya mengumbar gaya hidup yang absurd. Iring-iringan hiperrealitas menyebarkan berjuta kepalsuan informasi dan menebarkan berjuta kesemuan citra.

Objektivitas dan kredibilitas informasi yang disajikan televisi telah menciptakan disinformasi yang penuh ketidakpastian. Realitas yang disajikan sudah tidak mempunyai basis objektivitas karena setting politik ekonomi telah menciptakan ruang gerak kepalsuan yang semaunya.

Disinformasi itu juga mengakibatkan dereligiositas. Dereligiositas bisa dilihat dari berbagai model kesalehan dan kebaikan yang disajikan di media hanyalah untuk mendulang keuntungan bisnis semata. Itu bukan sebagai iktikad baik untuk mendakwahkan ajaran dengan baik dan penuh manfaat. Dalam sinetron, misalnya, berjilbab, berpeci, dan beribadah hanyalah menyajikan data kepalsuan dan iktikad yang absurd untuk memperbaiki kualitas spiritual pemirsa.

Karena kepalsuan informasi diproduksi berjuta-juta tanpa henti, lahirlah banalitas informasi. Di dalam banalitas informasi, Jean Baudrillard dalam In the Shadow of the Silent Majorities (1983) menjelaskan apa pun diubah menjadi informasi, tontonan, berita, dan data. Tak peduli betapa banalnya berita itu, ia tetap menjadi subjek informasi. Pu blik yang dikepung berjuta-juta tanda dan citra tidak mampu lagi menginternalisasikan dan menyublimasikan makna yang dihasilkannya (Yasraf: 224).

Dromologi agama

Kecepatan teknologi informasi yang dimainkan televise telah menjadikan fakta baru bernama dromologi beragama. Paul Virilio dalam Lost Dimension (1991) menjelaskan, dalam dunia yang dikuasai kecepatan, peran politik ruang (geopolitics) telah diambil alih oleh semacam politik waktu (chrono politics), yang di dalamnya kecepatan, percepatan, dan tempo kehidupan yang semakin cepat telah mengharuskan setiap orang untuk hidup dan bertahan dalam sebuah mesin dunia yang berlari kencang (dromology machine).

Dromologi agama dalam panggung media televisi pada kenyataannya tidak mampu meningkatkan kualitas dan nilai-nilai luhur agama, bahkan semakin menghancurkannya. Manusia beragama berubah menjadi homo animalis atau homo criminalis, yang melakukan berbagai tindak tak manusiawi, kekerasan, dan kejahatan dalam rangka kekuasaan ekonomi-politik mereka. Dalam titik tersebut, manusia beragama justru telah menghancurkan ajaran agama itu sendiri (prinsip, kualitas, nilai, dan makna).

Mereka gagal mencipta homo humanis, yakni manusia beragama yang di dalam setiap aktivitasnya mampu meningkatkan kualitas manusia dan kemanusiaannya serta mampu mengangkat harkat manusia itu sendiri pada posisi yang lebih tinggi. Saatnya televisi kembali kepada khitahnya dalam rangka memberikan informasi dan sarana pendidikan serta mencerdaskan warga.

Ramadan sejatinya merupakan bulan pendidikan. Di tingkat tersebut, peran televisi sangat krusial untuk mentransformasikan ajaran luhur agama bagi masyarakat. Perkembangan informasi yang semakin cepat menuntut penciptaan homo humanis juga semakin cepat dan akurat. Itulah tugas televisi kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar