Memutus
Rantai Tawuran Pelajar
Doni Koesoema A ; Pemerhati Pendidikan
KOMPAS,
31 Juli 2012
Memprihatinkan! Mengawali
tahun ajaran baru dan bulan puasa, tawuran di beberapa sekolah negeri Jakarta
muncul lagi.
Tawuran menunjukkan lemahnya
kepemimpinan, kultur sekolah, dan ketidakhadiran negara (dalam bentuk
ketidakberdayaannya aparat kepolisian) dalam menyikapi persoalan serius ini.
Pendidikan karakter dalam konteks tawuran tidak bisa diatasi dengan imbauan,
pembuatan kesepakatan damai antarsiswa atau sekolah, tetapi dengan pendekatan
yang lebih komprehensif dan komitmen dari banyak pihak. Maka, kultur pendidikan
karakter yang nyaman dan aman (caring
community) di sekolah tidak bisa ditawar lagi!
Tanggung Jawab Minim
Tradisi tawuran di SMA yang
sudah terjadi bertahun-tahun menunjukkan minimnya kesadaran dan tanggung jawab
pemimpin sekolah terhadap lembaga pendidikan yang dikelolanya. Memang, di sisi
lain tawuran pelajar sering terjadi selepas jam sekolah, bahkan pada sore hari,
sehingga secara lokalitas sudah di luar batas pagar sekolah.
Mengapa terjadi
terus-menerus? Berkelanjutannya aksi tawuran ini karena para pemimpin sekolah
kurang memiliki rasa tanggung jawab atas persoalan penting di sekolahnya. Tidak
bisa pemimpin sekolah hanya berujar, ”Kejadian itu di luar lingkup sekolah,
maka kami tidak ikut bertanggung jawab!” Sikap seperti ini mengerdilkan
tanggung jawab pemimpin pendidikan dalam membentuk karakter siswa.
Pendekatan ritual, yang
menekankan pembuatan kesepakatan damai antarpihak sekolah yang berselisih,
tidak akan efektif karena perubahan untuk pembentukan karakter tidak cukup
hanya mengandalkan selembar kertas yang ditandatangani bersama. Yang dibutuhkan
adalah pembelajaran bersama antarsekolah dan antarsiswa tentang pentingnya
membangun sikap damai dan menghargai individu itu sebagai makhluk bermartabat,
bukan benda atau barang yang bisa dirusak setiap saat.
Kultur Sekolah Lemah
Selain unsur kepemimpinan,
pendidikan karakter yang efektif akan terjadi ketika setiap individu dalam
lembaga pendidikan merasa aman dan nyaman bersekolah. Tanpa perasaan itu,
prestasi akademis siswa akan menurun. Siswa juga tidak dapat belajar dengan
baik karena selalu dihantui rasa waswas, apakah mereka akan selamat saat
berangkat atau pulang sekolah.
Perasaan aman dan nyaman
akan muncul bila setiap individu yang menjadi anggota komunitas sekolah merasa
dihargai, dimanusiakan, dan dianggap bernilai kehadirannya dalam lingkungan
pendidikan. Masalahnya adalah, budaya kekerasan telah merambah ke seluruh
lapisan masyarakat kita, menggerus kultur sekolah dengan wujud yang berbeda.
Misalnya, ketika lembaga pendidikan menerapkan sistem katrol nilai, di sini
telah terjadi ketidakadilan dan pelecehan terhadap kinerja individu. Mereka
yang gigih belajar dan mendapatkan nilai baik, tidak berbeda dengan yang tidak
gigih belajar, malas, karena mereka dikatrol sehingga nilainya juga baik.
Kultur sekolah ini
sesungguhnya bertentangan dengan prinsip penghargaan terhadap individu. Individu
telah dimanipulasi sebagai alat pemenangan nama baik sekolah melalui sistem
katrol. Dengan demikian, sekolah seolah-olah memberi citra bahwa pendidikan di
sekolah itu baik dan ini terbukti dari kelulusan atau kenaikan kelas 100
persen.
Menghargai individu sesuai
dengan harkat dan martabatnya, serta menghargai sesuai dengan jasa dan usahanya
dalam belajar, merupakan sebentuk praktik keadilan. Praksis keadilan yang
terjadi dalam lingkungan pendidikan akan membuat individu itu nyaman dan
semakin termotivasi dalam meningkatkan keunggulan akademik. Ketika kebanggaan
pada kualitas akademis berkurang, siswa mencari pembenaran dengan penghargaan
diri palsu di luar, termasuk tawuran.
Ketidakhadiran Negara
Fenomena tawuran menjadi
indikasi jelas bahwa negara tidak hadir, bahkan cenderung membiarkan dan
mengafirmasi kekeliruan pemahaman bahwa bila suatu tindak kejahatan dilakukan
bersama-sama, maka hal ini dapat dibenarkan.
Ketika aparat kepolisian
hanya diam saja berhadapan dengan kegarangan siswa yang membawa golok, rantai,
dan bambu runcing di jalanan, saat itulah sebenarnya aparat kepolisian
menelanjangi diri dan menunjukkan bahwa negara absen.
Pendidikan karakter yang
efektif mensyaratkan peran serta komunitas di luar sekolah sebagai rekan
strategis dalam pengembangan pendidikan. Karena itu, peran serta komunitas,
seperti media, orangtua, aparat kepolisian, pejabat pemerintah, dalam upaya
mengikis perilaku tawuran sangatlah diperlukan. Negara seharusnya tetap hadir
dan menjadi pendidik masyarakat untuk menaati ketertiban dan hukum.
Untuk mengatasi persoalan
tawuran dan menghentikan rantai kekerasan, kiranya ada beberapa solusi.
Pertama, kehadiran negara
sangat diperlukan agar pendidikan karakter yang dicanangkan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan semakin efektif. Untuk mengatasi tawuran pelajar,
ketegasan aparat sangat diperlukan karena kebiasaan tawuran itu membahayakan
diri dan orang lain. Kepolisian harus bekerja sama dengan sekolah untuk
mengembangkan budaya tertib hukum dan taat aturan. Sikap reaktif, menangkap
pelajar yang terlibat tawuran, memang dibutuhkan, tetapi sikap preventif-edukatif
melalui kerja sama dengan pihak sekolah lebih penting karena akan mengatasi
persoalan pada akarnya.
Kedua, sikap tegas
pemerintah. Pemerintah juga perlu bersikap tegas terhadap unsur kepemimpinan
sekolah, baik itu di sekolah negeri maupun swasta. Pimpinan sekolah yang
sekolahnya selalu terlibat tawuran perlu diganti karena kepemimpinan mereka
terbukti tidak efektif.
Namun, pemerintah juga perlu
hati-hati mengganti unsur kepala sekolah karena di dalam lingkungan sekolah pun
bisa jadi ada persaingan tidak sehat yang memanfaatkan tawuran sebagai usaha
memancing di air keruh demi kepentingan pribadi.
Peran Komunitas Sekolah
Ketiga, pendidikan karakter
akan efektif kalau seluruh komunitas sekolah merasa dilibatkan. Ini berarti,
mulai dari penjaga keamanan, tukang kebun, pegawai kantin sekolah, guru,
karyawan nonpendidikan, staf guru, kepala sekolah, dan lain lain, harus
mengerti tugas dan tanggung jawab mereka, terutama yang terkait dengan
pengembangan kultur cinta damai dalam lembaga pendidikan.
Perilaku kekerasan terhadap
fisik orang lain merupakan bentuk nyata tidak dihargainya individu sebagai
pribadi yang bernilai dan berharga. Pendidikan mestinya mengajarkan bahwa
setiap individu itu berharga dan bernilai dalam dirinya sendiri.
Siapa pun tidak pernah boleh
memanipulasi dan mempergunakan bahkan merusak tubuh orang lain dengan alasan
apa pun. Tawuran pelajar merupakan tanda bahwa penghargaan terhadap tubuh di
lingkungan pendidikan kita masih lemah. Padahal, penghargaan terhadap tubuh ini
merupakan salah satu pilar keutamaan bagi pengembangan pendidikan karakter yang
utuh dan menyeluruh. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar