Darurat
Tahu dan Tempe
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior
Kompas
KOMPAS,
28 Juli 2012
Lega rasanya Komnas HAM saat
menyimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM berat tahun 1965-1966 setelah
pecahnya Gerakan 30 September. Lebih lega lagi, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono memerintahkan Kejaksaan Agung menindaklanjuti kesimpulan itu.
Kejaksaan Agung bisa
membentuk gugus tugas untuk keperluan itu. Adalah kewajiban pemerintah selaku
penyelenggara negara menyelesaikan isu pelik ini once and for all tanpa ditunda
lagi.
Tugas pertama pemerintah
meminta maaf kepada para korban sekaligus merehabilitasi yang sudah dan masih
jadi tahanan. Kedua, pemerintah membayar ganti rugi atas dasar asas
kemanusiaan.
Belanda beberapa bulan silam
meminta maaf dan membayar ganti rugi kepada para korban di Rawagede, Karawang,
Jawa Barat. Lebih dari 400 korban dibunuh pasukan Belanda di desa itu pada 9
Desember 1947.
Meminta maaf dan membayar
ganti rugi atas pelanggaran HAM sudah jadi praktik biasa yang dilakukan negara
di tingkat nasional dan internasional. Sampai kini sejumlah jenderal
purnawirawan kita terkena sanksi PBB dan bilateral karena pelanggaran HAM di
Timor Timur.
Setelah urusan rehabilitasi
dan ganti rugi selesai, ada baiknya pemerintah memprakarsai pendirian forum
rekonsiliasi agar semua yang terlibat bermaafan. Tujuannya, jangan sampai
bangsa terjebak lagi ke dalam jurang dendam sejarah.
Keluarga para korban butuh
closure (bab penutup) yang mengakhiri beban ”dosa warisan” yang cukup menyiksa
mereka. Padahal, mereka kurang mengerti sejarah politik orangtua masing-masing.
Harus dibedakan antara
peristiwa dalam periode 30 September sampai 5 Oktober 1965 dan pembantaian
massal yang berlangsung setelah itu. Ada sejumlah versi mengenai penculikan dan
pembunuhan keji sejumlah jenderal kita.
Ada versi yang mengatakan
itu upaya kudeta PKI. Ada juga yang menyebut itu masalah internal TNI AD. Ada yang bilang itu kudeta
prematur yang dirancang gagal,
ada juga yang bicara sebaliknya.
Perbedaan versi kita
serahkan kepada sejarawan dan mereka yang berkepentingan menemukan kebenaran
akhir. Setidaknya, kini kita tahu peristiwa itu tidak berdiri sendiri karena
dipengaruhi oleh konteks politik global dan persaingan politik antara Bung
Karno, PKI, dan TNI AD.
Lebih penting mengurai
kembali hal ihwal apa yang terjadi setelah pecahnya Gerakan 30 September. Sejak
akhir tahun 1965 dimulailah pembuatan daftar, penangkapan, penyiksaan, dan
pembantaian terhadap sesama saudara sebangsa.
Pembantaian berlangsung
praktis di seluruh wilayah Republik. Buku-buku sejarah secara khusus
menyebutkan pembantaian sistematis dan berskala besar terjadi di Jawa dan Bali.
Pembantaian berlangsung pada
saat Soekarno masih menjadi presiden kita. Ia berulang-ulang mengungkapkan
keprihatinan dan mengambil sejumlah prakarsa—antara lain membentuk tim—untuk
menyelidiki, tetapi sudah tak berdaya lagi.
Semua perbuatan keji itu,
yang terangkum dalam kata ”pelanggaran HAM berat” versi Komnas HAM, jelas
dilakukan aparat negara. Sempat disebut mereka yang melakukan, antara lain,
struktur Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang dibentuk
pada 5 Oktober 1965.
Aparat negara tidak bekerja
sendiri, tetapi dibantu pula oleh organisasi-organisasi anti-PKI. Bahkan, dalam
banyak kasus, rakyat biasa pun ikut serta dalam sejumlah pembantaian.
Jumlah korban yang dibantai
tak pernah diketahui secara persis. Namun, menurut sejumlah kepustakaan dan
penelitian, kisarannya dari ”ratusan ribu” sampai ”sedikitnya satu juta”.
Jumlah yang dipenjarakan
juga kurang diketahui persisnya. Lebih mengenaskan lagi adalah penderitaan
psikologis dan sosial yang dialami jutaan keluarga para korban sampai kini.
Sekali lagi, tanpa perlu
berprasangka buruk, hasil penyelidikan Komnas HAM dan respons presiden layak
diacungi jempol. Kita tinggal menunggu apa langkah-langkah selanjutnya.
Pelajaran terpenting,
pembantaian terhadap bangsa sendiri bukan hanya diakibatkan oleh kompleksitas
politik dalam negeri, melainkan itu juga merupakan konsekuensi dari persaingan
ideologis dan militer antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Politik ”perang dingin”
menimbulkan korban berskala raksasa. Sedikitnya 20 juta orang tewas akibat
perang saudara di dunia komunis, pembantaian seperti di sini, perang di antara
negara tetangga beda ideologi, perang gerilya, proxy wars, terorisme, dan sebagainya.
Puluhan ribu hulu ledak
nuklir strategis dan taktis diproduksi kedua negara adidaya, Perancis, Inggris,
atau China. Belum lagi persenjataan konvensional NATO dan Pakta Warsawa.
Entah berapa ratus miliar
dollar AS dihabiskan selama perang dingin untuk senjata. Ironisnya, kini
mentalitas perang dingin itu timbul kembali dengan ”ideologi” baru, yakni
kepentingan ekonomi.
Kepentingan ekonomi itulah
yang memicu persaingan baru AS-China di Asia Pasifik, yang tampak jelas dari
instabilitas di Laut China Selatan belakangan ini. Kita lagi-lagi jadi korban
yang ditarik ke sana kemari oleh kedua negara besar itu.
Mereka bermain bukan lagi
atas nama ideologi, melainkan atas nama pasar. Kita tak punya ketahanan pangan,
jadi korban ”perang dingin baru” karena pengimpor komoditas-komoditas
strategis.
Tahun 1965 Republik ”hamil
tua” akibat persaingan ideologis antara Bung Karno, PKI, dan TNI AD. Kini kita
ibarat pasien masuk ruang gawat darurat gara-gara tahu dan tempe! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar