Sabtu, 28 Juli 2012

Darurat Tahu dan Tempe


Darurat Tahu dan Tempe
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 28 Juli 2012


Lega rasanya Komnas HAM saat menyimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM berat tahun 1965-1966 setelah pecahnya Gerakan 30 September. Lebih lega lagi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Kejaksaan Agung menindaklanjuti kesimpulan itu.

Kejaksaan Agung bisa membentuk gugus tugas untuk keperluan itu. Adalah kewajiban pemerintah selaku penyelenggara negara menyelesaikan isu pelik ini once and for all tanpa ditunda lagi.

Tugas pertama pemerintah meminta maaf kepada para korban sekaligus merehabilitasi yang sudah dan masih jadi tahanan. Kedua, pemerintah membayar ganti rugi atas dasar asas kemanusiaan.

Belanda beberapa bulan silam meminta maaf dan membayar ganti rugi kepada para korban di Rawagede, Karawang, Jawa Barat. Lebih dari 400 korban dibunuh pasukan Belanda di desa itu pada 9 Desember 1947.

Meminta maaf dan membayar ganti rugi atas pelanggaran HAM sudah jadi praktik biasa yang dilakukan negara di tingkat nasional dan internasional. Sampai kini sejumlah jenderal purnawirawan kita terkena sanksi PBB dan bilateral karena pelanggaran HAM di Timor Timur.

Setelah urusan rehabilitasi dan ganti rugi selesai, ada baiknya pemerintah memprakarsai pendirian forum rekonsiliasi agar semua yang terlibat bermaafan. Tujuannya, jangan sampai bangsa terjebak lagi ke dalam jurang dendam sejarah.

Keluarga para korban butuh closure (bab penutup) yang mengakhiri beban ”dosa warisan” yang cukup menyiksa mereka. Padahal, mereka kurang mengerti sejarah politik orangtua masing-masing.

Harus dibedakan antara peristiwa dalam periode 30 September sampai 5 Oktober 1965 dan pembantaian massal yang berlangsung setelah itu. Ada sejumlah versi mengenai penculikan dan pembunuhan keji sejumlah jenderal kita.

Ada versi yang mengatakan itu upaya kudeta PKI. Ada juga yang menyebut itu masalah internal TNI AD. Ada yang bilang itu kudeta prematur yang dirancang gagal, ada juga yang bicara sebaliknya.

Perbedaan versi kita serahkan kepada sejarawan dan mereka yang berkepentingan menemukan kebenaran akhir. Setidaknya, kini kita tahu peristiwa itu tidak berdiri sendiri karena dipengaruhi oleh konteks politik global dan persaingan politik antara Bung Karno, PKI, dan TNI AD.

Lebih penting mengurai kembali hal ihwal apa yang terjadi setelah pecahnya Gerakan 30 September. Sejak akhir tahun 1965 dimulailah pembuatan daftar, penangkapan, penyiksaan, dan pembantaian terhadap sesama saudara sebangsa.

Pembantaian berlangsung praktis di seluruh wilayah Republik. Buku-buku sejarah secara khusus menyebutkan pembantaian sistematis dan berskala besar terjadi di Jawa dan Bali.
Pembantaian berlangsung pada saat Soekarno masih menjadi presiden kita. Ia berulang-ulang mengungkapkan keprihatinan dan mengambil sejumlah prakarsa—antara lain membentuk tim—untuk menyelidiki, tetapi sudah tak berdaya lagi.

Semua perbuatan keji itu, yang terangkum dalam kata ”pelanggaran HAM berat” versi Komnas HAM, jelas dilakukan aparat negara. Sempat disebut mereka yang melakukan, antara lain, struktur Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang dibentuk pada 5 Oktober 1965.

Aparat negara tidak bekerja sendiri, tetapi dibantu pula oleh organisasi-organisasi anti-PKI. Bahkan, dalam banyak kasus, rakyat biasa pun ikut serta dalam sejumlah pembantaian.

Jumlah korban yang dibantai tak pernah diketahui secara persis. Namun, menurut sejumlah kepustakaan dan penelitian, kisarannya dari ”ratusan ribu” sampai ”sedikitnya satu juta”.

Jumlah yang dipenjarakan juga kurang diketahui persisnya. Lebih mengenaskan lagi adalah penderitaan psikologis dan sosial yang dialami jutaan keluarga para korban sampai kini.

Sekali lagi, tanpa perlu berprasangka buruk, hasil penyelidikan Komnas HAM dan respons presiden layak diacungi jempol. Kita tinggal menunggu apa langkah-langkah selanjutnya.

Pelajaran terpenting, pembantaian terhadap bangsa sendiri bukan hanya diakibatkan oleh kompleksitas politik dalam negeri, melainkan itu juga merupakan konsekuensi dari persaingan ideologis dan militer antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.

Politik ”perang dingin” menimbulkan korban berskala raksasa. Sedikitnya 20 juta orang tewas akibat perang saudara di dunia komunis, pembantaian seperti di sini, perang di antara negara tetangga beda ideologi, perang gerilya, proxy wars, terorisme, dan sebagainya.

Puluhan ribu hulu ledak nuklir strategis dan taktis diproduksi kedua negara adidaya, Perancis, Inggris, atau China. Belum lagi persenjataan konvensional NATO dan Pakta Warsawa.

Entah berapa ratus miliar dollar AS dihabiskan selama perang dingin untuk senjata. Ironisnya, kini mentalitas perang dingin itu timbul kembali dengan ”ideologi” baru, yakni kepentingan ekonomi.

Kepentingan ekonomi itulah yang memicu persaingan baru AS-China di Asia Pasifik, yang tampak jelas dari instabilitas di Laut China Selatan belakangan ini. Kita lagi-lagi jadi korban yang ditarik ke sana kemari oleh kedua negara besar itu.
Mereka bermain bukan lagi atas nama ideologi, melainkan atas nama pasar. Kita tak punya ketahanan pangan, jadi korban ”perang dingin baru” karena pengimpor komoditas-komoditas strategis.

Tahun 1965 Republik ”hamil tua” akibat persaingan ideologis antara Bung Karno, PKI, dan TNI AD. Kini kita ibarat pasien masuk ruang gawat darurat gara-gara tahu dan tempe! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar