Rohingya
Syafiq Basri Assegaff ; Konsultan Komunikasi,
Dosen
Komunikasi di Universitas Paramadina, Jakarta
INILAH.COM,
27 Juli 2012
“Di depan mata saya, ayah dibunuh
tentara Burma. Seluruh desa kami diluluhlantakkan. Kami semua lari
menyelamatkan diri. Saya belum tahu bagaimana nasib ibu saya,” kata Khatun
kepada BBC News di pengungsian dekat Teknaf, Banglades tenggara, yang
berbatasan dengan Burma (alias Myanmar).
Khatun adalah salah seorang
Muslim Rohingya yang berhasil lolos ke Banglades, akibat kerusuhan berdarah
yang terjadi di propinsi Rakhine, bagian barat Burma – yang mayoritas
penduduknya beragama Budha -- Juni 2012 lalu. Warga minoritas Muslim Rohingya
di desa itu diserang kelompok mayoritas. Sekitar 80 orang terbunuh. Ribuan
lainnya kabur entah ke mana.
Khatun (30 tahun) tidak sendiri.
Rekannya, Sayeda Begum juga bernasib serupa.
“Suami saya dibunuh saat ada
kerusuhan. Polisi Burma hanya menembaki umat Muslim, dan tidak pada yang Budha.
Sementara tentara hanya duduk menonton dari atas atap, dan tidak berusaha
mencegah,” kata Begum.
Sejak kerusuhan Juni itu, ribuan
pengungsi mencoba masuk Bangladesh, dengan perahu sepanjang laut Bay of Bengal
dan menyeberangi Sungai Naf, yang memisahkan kedua negara. Mereka
terapung-apung di air selama enam hari, “Dan saya tak bisa memberi makan
anak-anak saya selama berhari-hari,” tambah Khatun sambil menangis tersedu.
Sulit mengetahui secara detail
apa yang terjadi. Dunia (Barat khususnya) seolah menjadi tuli, buta dan bisu,
nyaris tak ada berita mengenai kebiadaban terhadap minoritas satu juta Muslim
Rohingya di Burma. Konon wartawan pun tak mudah mendapat akses ke area itu.
Pemerintah Burma menyangkal bahwa tentaranya bertanggungjawab atas pelanggaran
HAM tersebut.
Tetapi menurut LSM Inggris, sejak
10 Juni hingga 28 Juni lalu, setidaknya 650 orang Rohingya dibunuh, 1.200
hilang, dan lebih dari 80 ribu terpaksa kabur atau mengungsi entah ke mana,
lari demi menghindarkan diri mereka dari kerusuhan, pemerkosaan dan penembakan.
Mayoritas, sekitar 53 juta, penduduk
Myanmar beragama Budha , dan sisanya adalah minoritas Kristen (2,9 juta),
Muslim (2,27 juta), dan sekitar 300 ribu Hindu. Tetapi kaum Muslim Rohingya
yang secara berulang diperlakukan sewenang-wenang selama sejarah Burma.
Kendati begitu, di tengah pelanggaran
HAM berat (yang juga diakui oleh Amnesty International) itu -- dan meski PBB
menyebutkan bahwa kaum Muslim Rohhingya adalah minoritas paling teraniaya di
dunia -- sejauh ini PBB belum bereaksi, dan tidak banyak komunitas
internasional yang melakukan tindakan untuk menghentikannya.
Sementara pengamat menganggap
pembunuhan itu telah berlangsung secara sistematis dan dilembagakan sepanjang
sejarah Burma. Muslim Rohingya -- yang terdiri dari berbagai etnis, India,
Banglades, Cina, Arab, Persia dan Burma sendiri – tampaknya selama ini dianggap
punya ‘dosa besar’, yakni karena mereka adalah pekerja keras, sehingga banyak
yang berhasil dalam perdagangan dan di dunia pendidikan.
Diskriminasi yang paling kentara
adalah bahwa, pemerintah Myanmar hingga hari ini menolak mengakui
kewarganegaraan orang Rohingya dan mengklasifikasikan mereka sebagai ‘migran
ilegal’, meskipun mereka telah tinggal di negeri itu selama beberapa generasi.
Sesungguhnya prosekusi Muslim
Rohingya berawal saat Perang Dunia II, ketika tentara Jepang menginvasi Burma,
yang ketika itu merupakan koloni Inggris. Dikabarkan bahwa pada 28 Maret 1942,
sekitar 5.000 Muslimin dibantai di perkotaan Minbya dan Mrohaung.
Akibatnya mereka bermigrasi ke
Banglades dan Malaysia, demi kehidupan yang lebih layak. Saat ini ada sekitar
300 ribu Muslim Rohingya tinggal di Banglades, sekitar 24 ribuan di Malaysia
dan sekitar 100 ribu hidup di perbatasan Thailand-Myanmar.
Yang aneh adalah, mengapa berita
tragedi Rohingya baru terdengar sekarang? Ke mana media arus utama Barat yang
selama ini sangat getol memberitakan pelanggaran HAM di Indonesia, Irak, atau
Suriah? Di mana media, yang sangat gencar memberitakan penembakan penonton film
Batman?
Kita juga bertanya, ke mana Dalai
Lama dan Aung San Suu Kyi? Padahal kita menyaksikan belakangan ini, Suu Kyi
sibuk menerima hadiah Nobel -- yang diberikan padanya pada 1991 dan sempat
tertunda dua dekade. Kita mendapat kesan pemimpin oposisi Burma itu, seolah
tidak peduli pada kekejaman yang menimpa orang-orang Rohingya.
Konon kekejaman itu bermula saat
muncul tuduhan (yang tidak terbukti) adanya seorang Muslim yang memperkosa dan
membunuh seorang wanita Budha di Rakhine, Mei silam. Tetapi tidak jelas siapa
yang bertanggung-jawab, karena tidak ada pengadilan untuk kasus itu.
Yang terang, akibat kejadian itu,
pada 4 juni lalu, 10 lelaki muslim dibunuh dalam bus di distrik Taungup oleh
massa yang marah. Sesudah itu, kerusuhan makin meruyak. Di mana-mana polisi
beraksi bersama massa mayoritas. Mereka menyerbu kaum minoritas Muslimin, dan
kekerasan pun bereksalasi ke berbagai wilayah lain. Maka kita pun mendengar
tragedi yang dialami Khatun dan Begum, serta ribuan Muslimin tak berdosa
lainnya.
Sebagai respon terjadap berbagai
kekerasan itu, pemerintah Myanmar menyatakan keadaan darurat di seluruh
Rakhine. Bagai kata pepatah ‘buruk muka cermin dibelah,’ pemerintah Myanmar
menyatakan, bahwa sikap pemerintah itu adalah reaksi terhadap “kekacauan dan
serangan teroris’.
Dalam pidato yang disiarkan
televisi, Presiden Thein Sein mengatakan bahwa aksi kekerasan dapat mengancam
langkah negaranya menuju demokrasi dan stabilitas.
Walhasil, masa depan Muslim
Rohingya tampaknya tetap suram. Mirip nasib bangsa Palestina, kaum Muslim
Rohingya memerlukan bantuan kemanusiaan segera dari seluruh dunia. Tidak peduli
apakah mereka warga negara Burma atau bukan, mereka adalah manusia yang berhak
hidup layak dan menjalankan agamanya sesuai keyakinan mereka.
Maka kita pun berharap bahwa
tokoh Budha sekaliber Dalai Lama segera turun tangan dan menekan pemerintah
Myanmar agar menghentikan pembantaian orang Rohingya. Tidak ada satu agama pun
di dunia yang menyetujui kekerasan terhadap umat Islam Burma, dan bukankah
ajaran Budha termasuk agama yang tidak menolerir tindakan serupa itu?
Harapan berikutnya adalah kepada
pemerintah RI. Sebagai negara paling berperan di ASEAN, dan negara berpenduduk
Muslim terbesar di dunia, Indonesia mesti segera bertindak, jika perlu, dengan
ancaman untuk mengeluarkan Myanmar dari ASEAN.
Jangan sampai kita kalah lantang
dibandingkan Iran, yang sejak awal terjadinya tragedi itu segera ‘berteriak’
mengecam sikap pasif Barat atas pelanggaran HAM dan kekerasan terhadap Muslim
Rohingya itu.
Tetapi, beranikah pemerintah kita
bersikap lebih ‘galak,’ sehingga makin diperhitungkan di dunia internasional? ●
Surat LBH Buddhis Indonesia No. 014 – 27 Juli 2012 : LBH BUDDHIS INDONESIA MENGUTUK KERAS TINDAKAN PEMERINTAH MYANMAR DAN UMAT BUDDHA MYANMAR TERHADAP MUSLIM ROHINGYA KARENA TIDAK SESUAI AKIDAH AGAMA BUDDHA YANG PENUH WELAS ASIH DAN CINTA KASIH - www.lbhbuddhis.com
BalasHapus